Budaya Pus Am

Sebenarnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Sedikit khawatir bila tulisan ini akan menuai kontraversi seperti jambul Khatulistiwanya Syahrini, karena artikel yang akan saya angkat menyangkut adat-istiadat masyarakat luas di daerah tempat tinggal saya. Setelah saya mempertimbangkan lebih lanjut, saya harus menulis artikel ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu hal senantiasa memiliki dua sisi yang bertolak belakang: baik dan buruk, positif dan negatif, menguntungkan dan merugikan.

Masyarakat di daerah barat daya provinsi Kalimantan Tengah mengenal budaya pus-am sejak zaman nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut yang meliputi kabupaten Sukamara, kabupaten Lamandau, dan sebagian kabupaten Kotawaringin Barat. Ada pula masyarakat di wilayah selatan kabupaten Ketapang yang terletak di provinsi Kalimantan Barat. Lalu, apakah yang dimaksud dengan budaya pus am itu?

Lebih tepatnya pus am atau kerap juga dilafalkan pusam dalam aksen cepat, adalah suatu kebiasaan masyarakat di wilayah yang telah saya sebutkan di atas, di mana mereka enggan memedulikan suatu persoalan yang mungkin dianggap penting oleh lawan bicaranya. Secara harfiah pus dapat diartikan ‘biar saja’ dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi masyarakat cenderung mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang berarti ‘masak bodoh’. Masyarakat di perbatasan Kalbar dan Kalteng seringkali melafalkannya, “pus am!” atau “pus am bah!” dengan intonasi meninggi pada kata ‘am’ dan memanjang pada pengucapan kata ‘bah’ menjadi ‘baaah!’ 

Kata ‘am’ dan ‘bah’ itu sendiri tidak memiliki makna yang berarti. Kedua kata tersebut hanya menjadi penghias kalimat, atau penekan kalimat yang mengindikasikan kasar-halusnya suatu pengucapan. Bunyi ucapan tersebut memang tidak nyaman didengar dan terkesan kasar. Akan tetapi kebiasaan mengucapkan kata-kata pus am telah mendarah daging di masyarakat sehingga menjadi tradisi. Saya kerap dibuat jengkel tatkala mendengar seseorang mengatakan pus am kepada saya. Seringnya saya mendengar kata-kata tersebut akhirnya saya menjadi terbiasa dan bersikap sabar ketika menyikapinya. Beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah saya alami dengan budaya pus am antara lain sebagai berikut:

Pertama, waktu itu saya baru menjadi seorang guru di sebuah SMA. Murid-murid saya tidak berpakaian rapi layaknya pelajar. Dan saya menegur mereka, “Tolong dimasukkan pakaiannya ya, supaya kelihatan rapi!” Namun mereka membalas ucapan saya dengan pernyataan, “Pus am, Pak! Apa guna rapi-rapi?” sambil berlalu meninggalkan saya tanpa mengindahkan teguran saya. Melihat hal itu, saya hanya menggeleng-geleng kepala.

Kedua, pernah suatu ketika saya menyuruh salah seorang siswa untuk menjenguk temannya yang beberapa hari tidak masuk sekolah. “Sudah beberapa hari Rafta tidak masuk sekolah, bisakah kamu mampir ke rumahnya sepulang sekolah nanti? Barangkali dia sakit,” pinta saya waktu itu. Tak disangka jawaban murid yang saya mintai tolong itu seperti ini, “Pus am bah! Apa guna juga menjenguk dia? Biar ja amun dia sakit.” Ujarnya dengan nada datar. Mulut saya ternganga mendengar jawaban tersebut. Apakah dia tidak memiliki solidaritas, pikir saya.

Ketiga, saat sedang ujian berlangsung salah seorang siswa tak kunjung mengisi lembar jawabannya. Sementara waktu ujian akan segera habis. Secara kebetulan saya sedang mengawas. Tentu saja begitu saya melihat kejadian itu, saya langsung menegur siswa yang bersangkutan. “Tolong lembar jawabanmu segera diisi, karena waktu ujian sudah mau habis. Maaf, saya tidak bisa memberi perpanjangan waktu untuk itu,” ucap saya dengan hati-hati. Lagi, mata saya harus membelalak lebar mendengar tanggapan si empu kertas. “Alah, pus am bah, Pak! Mau waktunya habiskah, mau diperpanjangkah nggak urus. Biar nggak dapat nilai juga!” 

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang di daerah tempat tinggal saya memiliki pola pikir yang begitu pendek. Mereka tidak mau memedulikan apa yang orang lain khawatirkan meskipun hal tersebut berkaitan erat hubungannya dengan mereka. 

Kejadian lain yang pernah saya alami, suatu hari saya melihat seorang anak balita kira-kira berusia dua tahun berjalan kaki mengikuti ibunya keluar masuk hutan untuk mencari rebung. Panas matahari begitu terik, bocah itu tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Bocah itu meraung-raung kesakitan sambil terus mengejar sang ibu yang berjalan jauh di depan. Saya tidak tega melihatnya, apalagi kaki si bocah dipenuhi luka parut akibat bergesekan dengan semak berduri dan ranting pepohonan yang tidak bersahabat dengannya. “Aduh Bu, ini anaknya kasihan luka-luka. Ayo saya antar ke puskesmas,” tawar saya seraya menggendong si bocah. Sang ibu dengan sikap acuh tak acuh, hanya menoleh ke arah saya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya jauh ke dalam hutan. “Pus am, Pak! Suruh dia jalan lagi!” teriaknya tiba-tiba dari kejauhan. Ya, saya maklum penduduk lokal memang terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Karena itulah mereka memiliki fisik yang sangat kuat. Tapi untuk anak seusia itu? Terlalu dini rasanya. Atau jiwa saya yang terlalu lembut?

Di lain waktu pernah pula seorang teman meminjam beberapa barang milik saya antara lain jam tangan, jaket, dan sepatu. Entah disengaja atau tidak, semua barang yang dipinjam oleh teman saya itu ditinggalkannya di kamar hotel ketika ia berjalan-jalan ke kota dengan kekasihnya. Setelah saya memintanya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, dengan enteng teman saya ini menjawab, “Pus am bah! Ambil aja sendiri ke hotel sana!” Grr… Benar-benar menjengkelkan punya teman seperti itu. 

Ada banyak sekali kejadian berujung pus am yang saya alami. Kebanyakan pus am-pus am itu lebih bermakna ‘Sorry ya, aku nggak peduli’. Sampai akhirnya saya memahami mengapa tradisi pus am telah mendarah daging di masyarakat sejak zaman bahari. Konon dahulu kala di pedalaman pulau Kalimantan pada masa kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, para kompeni tidak pernah sampai ke area pedalaman. Sehingga penduduk di pedalaman tidak terlalu menderita seperti halnya penduduk di kota yang notabene banyak mengalami penyiksaan. Penduduk pedalaman berjiwa bebas. Mereka berperang bukan untuk melawan penjajah, melainkan suku lain yang dianggap musuh oleh suku mereka. Begitu negara Indonesia merdeka dan pulau Kalimantan masuk ke dalam wilayah NKRI, penduduk di pedalaman tidak begitu mengerti makna sebuah kemerdekaan. Mereka kurang menjiwai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila seperti tenggang rasa, toleransi, musyawarah, dan jiwa nasionalisme. Saking kurang memahaminya, pernah saya mengunjungi suatu dusun di pelosok Kalbar pada bulan Agustus untuk melihat perayaan dirgahayu RI di sana. Setibanya di sana saya sangat kaget, karena saya merasa tiba-tiba bukan berada di negara sendiri. Sepertinya saya sudah tersesat ke Republik Polandia. Karena apa? Sang saka merah putih dikibarkan terbalik di setiap halaman rumah para penduduk dusun. Saat saya memberitahu warga bahwa pemasangan bendera di dusun mereka semua terbalik, lagi-lagi warga hanya menanggapi perkataan saya dengan kata, “Pus am!”

Apa saya terus tinggal diam menyikapi orang-orang di sekitar saya untuk melestarikan budaya pus am? Awalnya saya maklum, dan hanya bisa menerima perlakuan yang tidak mengenakkan ini secara sepihak. Seiring bergulirnya waktu akhirnya saya mencoba untuk menentangnya. Tentu saja bukan dengan cara yang ekstrim dan anarkis. Cara saya adalah menempatkan diri saya sebagai bintang drama Korea. Haha… mungkin ini lucu kedengarannya. Silakan Anda baca kembali cerita kejadian-kejadian yang telah saya alami di atas. Bayangkan kalau Anda sedang menyaksikan adegan drama Korea di mana para tokoh-tokohnya sedang cekcok satu sama lain. 

Setiap ada murid yang penampilannya tidak rapi, saya tetap menegur mereka untuk merapikannya tak peduli bila mereka mengatakan pus am kepada saya. Bila mereka tak mengindahkan perkataan saya, maka aksi drama Korea saya adalah menghalangi langkah mereka sebelum mereka berlalu meninggalkan saya. “Hey, biar saya saja yang merapikan pakaian kalian! Orang tua kalian tidak pernah mengajari bagaimana cara berdandan ya? Ayo, sini saya ajarkan sekalian! Penampilan saya sepuluh kali lebih rapi daripada Lee Min Ho. Kalian tahu itu?” Sengit saya seraya bergerak menghampiri mereka.

Setiap kali melihat murid yang tidak peduli terhadap keadaan temannya, saya membujuk mereka dari hati ke hati, “Ayolah, kalian tidak sedang putus cinta kan? Apa kamu tahu kalau dia selama ini sebenarnya sangat perhatian terhadapmu? Kamu pasti tidak tahu kan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan selama ini untukmu? Jadi, saya mohon jenguklah dia di rumahnya. Dia pasti akan sembuh setelah melihat kedatanganmu! Ayo, kita jenguk dia sama-sama!” 

Dan setiap kali saya mendapati teman yang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang mereka pinjam dari saya, maka aksi drama Korea saya selanjutnya adalah: “Bisa tolong tunjukkan kartu identitasmu? Silakan tunggu sebentar, tidak lama lagi polisi akan tiba di sini. Baru saja saya melaporkan kalau ada anggota teroris yang mengidap penyakit demensia di sini.”

Haha… Ini konyol sekali, kan? Mungkin ini terlalu frontal. Akan tetapi memang demikianlah karakteristik penduduk di daerah saya. Karakter mereka tidak berbeda dengan karakter orang Korea dalam drama. Saat seseorang bersikap frontal terhadap kita, maka cara jitu yang bisa mengatasinya adalah membalas tindakan secara frontal kembali. Bukan hanya diam menerimanya begitu saja secara sepihak. Karena itulah mengapa saya bersikap layaknya para aktor Korea.  

Usaha saya selama ini tidak sia-sia. Sebagai seorang guru yang berpacu dengan arus globalisasi, saya harus memiliki sikap kontemporer. Di mana jiwa pendidik yang bersemayam di dalam diri saya tidak harus selamanya ortodoks yang senantiasa mengikuti sikap kharismatis Oemar Bakri, sang guru teladan yang fenomenal itu. Katakan saja saya adalah seorang guru yang sensasional, tetapi justru sikap seperti inilah yang cocok diterapkan dalam mendidik putra-putri generasi muda di daerah saya. Dengan berbagai metode pendekatan sensasional yang saya lakukan terhadap orang-orang di sekeliling saya, pada saat ini budaya pus am telah berbalik memberi kesan yang jauh lebih baik daripada empat belas tahun sebelumnya. 

Ketika seorang teman belum mengembalikan uang yang dipinjamnya, sang pemberi pinjaman berkata: “Pus am bah! Enggak apa-apa, nggak dikembalikan juga. Saya ikhlas kok!” Oh, tidakkah ini sangat dermawan? 

Ketika seorang teman membayarkan makanan yang kita makan, kita bermaksud mengganti biaya yang telah dibayarkannya. Maka teman itu akan berkata, “Nggak usah diganti! Pus am bah, biar saya yang bayar!” 

Dengan demikian dari dua contoh kejadian di atas, perkataan pus am telah mengalami pergeseran makna menjadi: “Sudahlah, biar saja tidak apa-apa!” dengan penekanan yang sangat halus. Itulah pengalaman saya dalam kurun empat belas tahun terakhir mengenai budaya pus am di daerah saya. Tak diduga budaya dalam drama Korea bisa memberikan manfaat dalam kehidupan saya. Percayalah, di mana ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya ya. Salam…

Contoh Makalah Penelitian Bidang Ekologi 2

                ` MAKALAH 

KEMBALIKAN HUTANKU

KEMBALIKAN OKSIGENKU

​​

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur, dan lain sebagainya. Serta menempati daerah yang cukup luas. Wilayah Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas dan beraneka ragam jenisnya dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi akibat pembakaran hutan, penebangan liar, dan lain sebagainya.

Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang.

Membahas tentang penebangan dan pembakaran hutan di desa Balai Riam dan sekitarnya, penebangan dan pembakaran hutan yang terjadi akibat ulah masyarakat di desa Balai Riam yang tidak ingin mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk membuka lahan sehingga mereka melakukan penebangan dan pembakaran hutan secara semau mereka tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari penebangan dan pembakaran hutan.

 Hutan-hutan yang ditebang tersebut membuat ekosistem menjadi tidak seimbang. Mengapa? Karena hutan adalah tempat hidup berbagai macam flora dan fauna yang ada di hutan tersebut. Selain itu juga berakibat hilangnya tempat tinggal hewan yang ada di hutan. Itulah mengapa hewan-hewan sering muncul di pemukiman penduduk dan terkadang hewan yang muncul tersebut disebabkan karena mereka lapar kemudian mencari makan di pemukiman penduduk. Dampak buruknya jika mereka tidak menemukan makanannya bisa terjadi penyerangan hewan kepada manusia. Itulah mengapa sering terjadi hewan menyerang manusia karena mereka kehilangan tempat tinggal sekaligus makanan mereka.

 Selain dampak tersebut, ada dampak lainnya yaitu longsor dan kabut asap. Meskipun di desa Balai Riam belum ada terjadi tragedi tanah longsor, tapi kabut asap pernah terjadi di desa Balai Riam, dan kabut asap terparah terjadi pada tahun 2015 tepatnya terjadi pada bulan Agustus di mana bencana kabut asap melanda desa Balai Riam selama hampir 1 bulan mengakibatkan aktivitas belajar mengajar di SMA Negeri 1 Balai Riam menjadi terganggu dan instansi lain pun juga sempat terganggu oleh kabut asap,juga ada instruksi untuk meliburkan seluruh instansi dikarenakaan kabut asap yang semakin pekat.

 Hutan-hutan di desa Balai Riam semakin hari semakin jumlahnya berkurang akibat pembukaan lahan untuk lahan sawit dan karet. Padahal jika diamati lebih lanjut sawit dan karet belum berdampak signifikan bagi masyarakat sendiri. Tapi dikarenakan sebagai ladang penghasilan mereka mengabaikan kelestarian hutan di desa Balai Riam, dengan terus melakukan penebangan dan pembakaran hutan untuk membuka lahan yang lebih luas untuk ditanami sawit dan karet.

 Kesadaraan penduduk akan pentingnya hutan merupakan salah satu hal yang penting karena dengan kesadaran tersebut masyarakat dapat menjaga dan melestarikan hutan tanpa paksaan dari pihak manapun sehingga hutan-hutan di desa Balai Riam menjadi terawat dan terjaga kelestariannya hingga dapat lagi dimanfaatkan masyarakat untuk mensejahterakan hidupnya. Inovasi ini timbul atas keprihatinan kami kebakaran hutan yang terjadi di desa Balai Riam. Media yang kami ciptakan sebenarnya adalah media yang efektif dalam mengatasi kebakaran hutan yang ada di sekitar lingkungan perumahan. Kita sering menggunakan air dalam memadamkan api padahal air belum signifikan bisa memadamkan api. Atas dasar itulah kami mencoba inovasi baru untuk membuat sebuah media yang amat sederharna untuk memadamkan api.
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja yang menyebabkan penebangan dan pembakaran hutan tersebut?

2. Apa dampak negatif yang ditimbulkan dari penebangan dan pembakaran hutan tersebut?

3. Bagaimana cara mengatasi pembakaran hutan di desa Balai Riam?

4. Apa manfaat inovasi yang kami buat?

5. Apakah inovasi yang kami buat berbahaya bagi lingkungan atau tidak?

6. Bagaimana kinerja larutan yang kami buat?
C. Tujuan Penelitian

1. Memahami hal-hal yang menyebabkan penebangan dan pembakaran hutan.

2. Mengetahui akibat dari penebangan dan pembakaran hutan.

3. Agar masyarakat desa Balai Riam dapat membantu mengatasi dan mencegah terjadinya penebangan dan pembakaran hutan

4. Menemukan solusi atas kebakaran hutan dengan efektif.
D. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Peniliti dapat memahami manfaat sekaligus kerugian dari penebangan dan pembakaran hutan di desa Balai Riam. Serta menemukan solusi atas permasalahan tersebut.

.

b. Bagi sekolah 

Sebagai acuan untuk membantu pelestarian hutan yang ada di desa balai riam khususnya di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Balai Riam.
c. Bagi masyarakat

Masyarakat dapat memanfaatkan hasil inovasi yang ditemukan.

BAB II

MATERI

A. Deskripsi Data

1. Faktor-faktor yang menyebabkan pembakaran hutan di desa balai riam:

a. Faktor Internal

 Kesadaraan dalam diri masyarakat di desa Balai Riam masih rendah. Mengapa? Kurang kesadaraan dalam diri masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan terutama hutan. Ini bisa dilihat di hutan yang terdapat di desa Balai Riam semakin menipis, berbeda dengan pada tahun 2004 hutan di desa Balai Riam masih lebat dan masih asri. Kicauan burung tiap pagi sangat terdengar jelas. Berbeda dengan sekarang jarang terdengar kicauan burung tiap pagi dan hutan yang lebat pun jarang terlihat lagi.

b. Faktor Eksternal

 Berdirinya perusahaan di wilayah desa Balai Riam berdampak juga dengan lingkungan terutama hutan. Dampak positifnya adalah dengan berdirinya perusahaan tersebut, masyarakat pun mempunyai lapangan pekerjaan. Biasanya masyarakat di desa Balai Riam menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Sehingga perekonomian masyarakat pun meningkat pula. Dampak negatifnya adalah dengan berdirinya perusahaan, masyarakat berlomba-lomba ingin menanam tanaman komoditi yang bisa menjadi penghasilan sampingan yaitu karet dan sawit. Karet dan sawit pasti memerlukan tempat apalagi masyarakat berlomba-lomba untuk mempunyai sawit dan karet lebih banyak. Lahan yang luas pun sangat diperlukan untuk membuka perkebunan tersebut. Mayoritas masyarakat melakukan pembakaran hutan ketimbang menebangnya. Mengapa? Karena jika ditinjau dari segi dana pembakaran lebih efisien ketimbang menebang. Karena menebang lebih banyak memakan waktu dan biaya yang cukup besar daripada membakar lahan. Padahal jika ditinjau dari aspek kesehatan pembakaran lebih berisiko terhadap masyarakat karena asap dari pembakaran hutan mengandung karbonmonoksida yang tidak baik untuk kesehatan masyarakat. Belum lagi dari aspek keseimbangan ekosistem banyak mahluk hidup selain manusia yang dirugikan dari pembakaran hutan. Tempat tinggal dan sumber makanan mereka terancam lenyap akibat pembakaran hutan. 

 

2. Dampak pembakaran hutan

A. Terganggunya aktivitas sehari-hari. 

 Asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara otomatis menggangu aktivitas manusia, apalagi bagi yang aktivitasnya di luar ruangan.

B. Menurunnya produktivitas. 

 Terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran hutan dapat memengaruhi produktivitas dan penghasilan.

C. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan. 

 Selain itu bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencaharian).

D. Meningkatnya hama. 

 Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak keseimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian binatang kehilangan habitat yang kemudian memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti: gajah, kera, beruang, dan lain-lain.

E. Terganggunya kesehatan. 

 Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas, Sox, Nox, Cox, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernapasan (Ispa), sesak napas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
3. Cara Mengatasi kebakaran hutan

A. Memperingatkan warga sekitar hutan untuk tidak membakar rumput atau puing-puing. Sebagian warga yang tinggal di sekitar hutan terkadang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hutan, khususnya tentang penyebab kebakaran hutan. Sebagian dari mereka membakar rumput atau puing-puing reruntuhan di dekat hutan ketika musim kemarau datang. Musim kemarau yang diiringi dengan angin kencang bisa dengan mudah menyebarkan api dari puing-puing tersebut membakar hutan sekitar.

B. Melakukan aktivitas pembakaran minimal dengan jarak yang telah ditentukan. 

 Jarak minimal yang harus diperhatikan untuk melakukan pembakaran terhadap sampah atau puing-puing adalah minimal 50 kaki dari bangunan dan 500 kaki dari hutan.

C. Memastikan api tersebut mati setelah melakukan pembakaran.

 Terhadap rumput dan puing-puing sebelum warga meninggalkan tempat pembakaran. Dan membersihkan area pembakaran tadi dari bahan-bahan yang mudah terbakar.

D. Jangan melakukan aktivitas pembakaran ketika cuaca berangin.

 Ketika cuaca berangin,pohon-pohon di hutan akan bergoyang dan akan membuat api semakin membesar, yang akibatnya bisa membahayakan hutan itu sendiri.

E. Dengan ditemukannya inovasi ini pembakaran hutan dapat diminalisir karena larutan yang bekerja sangat efektif hingga ke titik api yang ada di dalam tanah.
4. Apa manfaat inovasi yang kami buat?

 Inovasi yang kami buat sebenarnya untuk masyarakat adalah media yang amat sederhana yang menggunakan bahan alami yang mudah ditemukan. Tujuan kami menciptakan media ini untuk digunakan pada kebakaran hutan karena air belum tentu signifikan untuk memadamkan api hingga ke titik api yang ada di dalam tanah. Sedangkan media yang kami buat bisa menjangkau titik api yang ada di dalam tanah.
5. Apakah larutan yang kami buat berbahaya bagi lingkungan atau tidak?

 Pada dasarnya media yang kami buat berasal dari larutan yang alami misalnya jeruk nipis, soda kue, cuka, dan NaCl. Jadi larutan yang kami buat tidak berbahaya bagi lingkungan dikarenakan berasal dari bahan alami tanpa mengandung zat kimia berbahaya yang ada di larutan kami, dan tidak merusak PH keasaman tanah.
6. Bagaimana kinerja larutan yang kami buat?

 Larutan yang kami buat sudah di uji coba, dan hasilnya efektif untuk memadamkan api dalam skala sedang. Selain itu mampu menjangkau titik api yang ada di dalam tanah.

B. Metodelogi Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian secara kuantitatif dan penelitian secara kualitatif.

2. Waktu dan Tempat penelitian

Desa Balai Riam, 11 Agustus-28 Agustus 2016

3. Metode Penelitian

a. Penelitian dengan langsung terjun ke tempat lokasi (Observasi). 

b. Penelitian secara objektif atau mengamati kejadian yang pernah terjadi sebelumnya di desa Balai Riam.
C. Alat dan Bahan

a. Alat:

-Satu buah gelas Aqua;

-Satu buah Korek Api (Mancis);

-Satu buah Pisau;

-Satu buah Sendok;

-Satu buah Wajan Kecil Aluminium;

-Satu buah Kompor Kecil;

-Satu liter Minyak Tanah.

b. Bahan

– 8 Buah Jeruk Nipis (diperas)
– Satu buah botol Cuka yang memiliki kadar asam 25%
– Satu bungkus Soda Kue
– Satu botol NaCl (Cairan Infus)

– beberapa buah bara api 
D. Cara Kerja:

a. Siapkan semua bahan yang akan digunakan.

b. Siapkan 8 buah jeruk nipis, kemudian potong 8 buah jeruk nipis masing-masing menjadi 2 bagian. Kemudian peraslah semua potongan jeruk nipis tersebut ke dalam gelas Aqua.

c. Kemudian tuangkanlah sedikit NaCl ke dalam gelas Aqua.

d. Kemudian tuangkanlah sedikit cuka ke dalam gelas Aqua. 

e. Kemudian robeklah satu bungkus soda kue, setelah itu masukkanlah ke dalam gelas Aqua tersebut.

f. Jika semua larutan telah tercampur siapkanlah wajan aluminium kecil.

g. Masukkanlah beberapa bara api ke dalam wajan aluminium tersebut.

h. Tuangkan sedikit minyak tanah ke dalam wajan aluminium, kemudian nyalakan dengan korek api.

 i. Jika api sudah menyala lalu siramlah larutan ke dalam wajan aluminium tersebut.
E. Reaksi yang terbentuk akibat berbagai campuran larutan

1. Soda kue

 Penggunaan soda kue dalam kehidupan sehari-hari seperti pembuatan kue, roti, kacang telur, dan lain-lain bila dipanaskan, soda kue (NaHCO3) akan menghasilkan gas CO2 sehingga bahan makanan dapat mengembang, seperti reaksi berikut ini:

2NAHCO3> Na2O + H2O+2 CO2

 NaHCO3 yang pertama disiapkan oleh proses Solvay, merupakan reaksi kalsium karbonat, natrium klorida, amonia, dan karbondioksida dalam air. Ini diproduksi pada skala sekitar 100.000 ton/tahun (data 2001).

 NaHCO3 dapat diperoleh dengan reaksi antara karbondioksida dengan larutan natrium hidroksida. Reaksi awal menghasilkan natrium bikarbonat:

CO2+ NaOH> Na2 CO3+ H2O

 Lebih lanjut penambahan karbondioksida menghasilkan natrium bikarbonat, yang pada konsentrasi cukup tinggi akan mengendap larutan:

Na2CO3+CO2+H2O> 2NaHCO

2. Asam cuka

 Asam asetat (CH3COOH) atau asam etanoat lebih dikenal dengan nama asam cuka yang merupakan salah satu contoh dari asam karboksilat. Asam cuka dalam reaksinya menghasilkan ion H+.. Asam cuka yang beredar di pasaran pada umumnya memiliki kadar 25% karena apabila kadarnya terlalu tinggi, sifat asamnya terlalu besar sehingga akan membahayakan tubuh. Reaksi penguraian asam cuka sebagai berikut:

CH3COOH> CH3COO-+ H+

3. Jeruk nipis

 Asam sitrat (C6H8O7) merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah tumbuhan genus Citrus (jeruk-jerukan). Rumus kimia asam sitrat adalah C6H8O7 (strukturnya ditunjukan pada table informasi di sebelah kanan). Fungsi dari asam sitrat adalah:

-Membuat suasana larutan menjadi asam;

-Menetralkan larutan yang bersifat basa;

-Untuk direaksikan dengan zat lain.

 Larutan jeruk ini termasuk ke dalam larutan asam karena terasa masam, bersifat korosif, dan larutan dalam air dapat menghantarkan arus listrik. Jika diidentifikasi larutan jeruk dengan menggunakan kertas lakmus, maka kertas lakmus berubah menjadi warna merah. Untuk menggunakan pH meter, larutan jeruk dengan sifat asam mempunyai pH antara 0 hingga 17 dan dinyatakan sebagai kadar ion hidrogen.

 Unsur-Unsur senyawa yang terkandung dalam jeruk. Terdapat unsur senyawa dalam air jeruk, yaitu:

-Limonen

-Linalin asetat

-Geranil asetat

-Fellandren dan Sitral

4. NaCl (Natrium Klorida)

 Natrium klorida juga dikenal dengan garam dapur atau halit, adalah senyawa kimia dengan rumus molekul NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling memengaruhi salinitas laut dan cairan ekstaselular pada banyak organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. 

Alat pemadam api sederharna ini mereaksikan antara soda kue dengan cuka, jeruk nipis dan NaCl. Garam klorida seperti NaCl dan garam karbonat seperti soda kue bila bereaksi dengan suatu asam akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2).

 Reaksi antara soda kue dengan cuka akan menghasilkan garam asetat, air dan gas karbondioksida. Sedangkan reaksi antara Jeruk nipis dengan NaCl akan menghasilkan garam sitrat, dan clorin.

 Reaksi antara soda kue dengan cuka adalah sebagai berikut:

NaHCO3 + CH3 COOH > CH3 COONa + H2O+CO2

 Reaksi antara Jeruk nipis dengan NaCl adalah sebagai berikut:

C6H8O7 + NaCl > C6H8O7Na +Cl
F. Penyebab api padam

 Di atas 60°C,maka secara bertahap akan terurai menjadi sodium soda, air , dan karbondioksida. Pada suhu 200°C:

2NaHCO3 > Na2 CO3 + H2O+ CO2

 Kebanyakan bicarbonates ini mengalami reaksi dehidrasi. Lebih lanjut Pemanasan mengubah soda menjadi oksida (sekitar 1000°C):

Na2CO3 > Na2 O + CO2

 Hasil reaksi penguraian NaHCO3 digunakan sebagai pemadam api. Larutan soda kue , cuka, jeruk nipis dan NaCl akan memproduksi karbondioksida yang berfungsi mengeliminasi kandungan oksigen pada api sehingga dapat memadamkan api. Kemudian saat melakukan percobaan kami menemukan sebuah perbedaan antara memadamkan api menggunakan media air atau menggunakan media larutan yang kami buat. Perbedaan yang bisa kami lihat terletak pada hilangnya asap, pada media air asap hilang dengan lambat sedangkan pada media larutan kami, asap hilang dengan cepat. Mengapa kami mengatakan demikian? Karena asap adalah bagian dari potensi munculnya sebuah api ke permukaan jadi apabila terjadi sebuah kebakaran hutan dan kita memadamkan api tersebut apinya hilang tapi asapnya masih ada bisa jadi di bawah tanah titik api belum mati. Apabila titik api masih ada kebakaran hutan pun pasti bisa terjadi dan pemadaman seolah-olah tidak efektif.
G. Hal-hal yang dapat diperhatikan dalam membuat alat pemadam api sederhana

1. Alat pemadam sederhana ini hanya cocok untuk memadamkan api skala sedang atau skala kecil dengan bahan bakar padat seperti kayu, kain, dan lain-lain.

2. Jangan terlalu dekat dengan sumber api ketika menggunakan alat pemadam api ini dan pastikan anda mengarahkan ke titik api bukan ke lidah api.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Kita harus menjaga kelestarian dan ekosistem yang ada di hutan di desa Balai Riam dengan cara tidak melakukan penebangan liar dan pembakaran hutan secara berlebihan agar ekosistem menjadi tidak rusak. Apabila kita masih mau flora dan fauna yang ada di desa Balai Riam masih dapat dilihat oleh anak dan cucu kita nanti, bukan cuma mendengar kisah dan cerita saja. Selain itu tindakan penebangan dan pembakaran hutan sekarang akan mendapat ancaman pidana baik secara materi maupun kurungan penjara. Jadi cermatlah terhadap perbuatan yang masyarakat lakukan. Karena setiap perbuatan mempunyai pertanggung jawaban masing-masing.

 Inovasi ini bekerja dengan sangat baik dan sangat membantu masyarakat dalam proses pemadaman api saat terjadi kebakaran hutan. Inovasi ini harus dipublikasikan kepada masyarakat agar masyarakat di pulau Kalimantan dan pulau lainnya yang rawan terjadi kebakaran hutan, dapat mengatasi kebakaran hutan seefektif mungkin.

-Soda kue atau NaHCO3 bersifat amfoter agak alkalis.

-Cuka (asam asetat) bersifat asam lemah dan dapat bereaksi dengan garam karbonat atau garam sitrat.

-Jeruk nipis(asam sitrat) bersifat asm lemah dan dapat bereaksi dengan garam karbonat atau garam sitrat.
B. Saran

Agar pembakaran hutan tak ada lagi, saran kami adalah:

A. Penegakan hukum harus lebih tegas

 Apabila penegakan hukum lebih tegas, masyarakat tak akan melakukan pembakaran hutan secara berlebihan. Karena mereka akan memikirkan dampak yang terjadi akibat perbuatan yang mereka lakukan.

B. Jangan membakar hutan secara berlebihan!

 Jangan membakar hutan secara berlebihan jika ingin membuat wilayah untuk rumah atau untuk tanaman komoditi seperti karet dan sawit. Tebanglah pohon yang tua. Siramlah air di pohon yang ditebang tersebut agar tetap tumbuh dan tergantikan dari penebangan hutan yang dilakukan.

 Dalam pratikum ini saya hanya ingin membuktikan bahwa inovasi bisa muncul darimana saja. Media untuk memadamkan api pun belum tentu air digunakan selamanya bisa jadi ada di alam ini media lain yang bisa digunakan untuk memadamkan api yang lebih efektif. Mohon maaf apabila di dalam penelitian ilmiah kami ada yang kurang, mohon dimaafkan karena kami juga baru mencoba untuk membuat sebuah inovasi terbaru yang bisa kami dapatkan dari alam ini.
C. Referensi

-resepkimiaindustri.blogspot.com/2015/04/asam-sitrat.html?m=1

-https://fembrisma.wordpress.com/science-1/asam-basa-dan-garam/

-noviantinurlaila.blogspot.com/2012/12/ketahui-lah-jeruk.html?m=1

-nurul-pemanfaatanbahankimi.blogspot.co.id/2012/03/asam-basa-dan-garam-bagi-kehidupan.html?m=1 

 

Inilah Bimbel Gue!

image

Kali ini gue mau cerita soal bimbingan belajar (bimbel) gue yang udah gue diriin sebelas tahun lamanya. Pembaca mungkin banyak yang nggak percaya kalo bimbel gue udah berdiri selama itu. Sehebat apa sih bimbel yang gue punya, dan kok bisa bertahan begitu lama? Well, simak cerita gue selengkapnya aja! Sorry kalo tulisan gue kali ini nggak ada unsur komedinya. Gue mau serius cerita sama kalian semua. Araseo? (Ceileh, sok jago Bahasa Korea ya gue :)).

Seperti yang udah gue ceritain dari postingan gue terBAHEULA, bimbel gue ini gue dirikan secara nggak diduga. Ini semua di luar planning gue. Tahun 2004 gue hijrah ke Kalimantan, awalnya bukan buat ngediriin bimbel. Melainkan buat cari kerja jadi karyawan perusahaan minyak kelapa sawit. Niatnya sih waktu itu gue mau ngelamar jadi operator di perusahaan yang namanya PT. KSK (Kalimantan Sawit Kusuma), perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Kalimantan. Tapi Om gue ngelarang keras lantaran gue pake kacamata minus. Emangnya kalo pake kacamata minus gak boleh kerja gitu? Kenyataannya gue perhatiin banyak banget karyawan PT. KSK yang pake kacamata. Gak tahu kali ya cowok yang pake kacamata minus itu tampangnya manis-manis (kaya gue, Afghan Syahreza, sama Pradikta Wicaksono 😎 ). Sampe sekarang gue gak tau pasti kenapa Om gue waktu itu ngelarang keras gue ngelamar ke sana. Sampe akhirnya gue ikut kerja sama paman gue yang lain, paman yang jadi Bapak Pembangunan (alias developer) di kabupaten tempat tinggal gue. Meskipun begitu, gue nggak dapet bagian yang enaknya kok. Gue jadi kuli. Beneran gue jadi kuli! Aneh? Tugas gue ngegali tanah buat bikin kuburan gue sendiri nimbun pondasi mesjid yang lagi dibangun di Desa Pangkalan Muntai. Sumpah, ternyata berat banget! Gue harus nyangkul tanah yang kerasnya minta ampun (berhubung lagi musim kemarau), terus dibawa ke mesjid pake angkong yang jaraknya 200 meter dari lokasi penggalian. Yang bikin gue berat adalah kerasnya si tanah. Gue heran, kok bisa tanah lempung jadi sekeras batu? Pake formalin kali ya? 😅 Alhasil tangan gue lecet semua dan kapalan (ini baru cowok sejati 💪). Tapi gue gak betah kerja di sana. Kampung tempat kerja gue sepi banget, dan gue gak punya passion di bidang seni bangunan. Haha… gak bakat jadi tukang kali ya 👷🏰 .

Akhirnya seminggu kemudian gue balik ke rumah bibi gue. Kebetulan tahun ajaran baru sekolahnya adek sepupu gue yang kelas 4 SD, baru aja dimulai. Gue lihat di rapornya adek sepupu gue itu nggak ada pelajaran Bahasa Inggris. Gak tahu dapet inisiatif dari mana, gue langsung ngedatangin rumah kepseknya buat ngelamar jadi menantunya. Eh salah deng, maksud gue buat ngelamar jadi guru Bahasa Inggris di sekolahnya. Gue nggak bawa ijazah, apalagi surat kawin. Tapi Alhamdulillah, gue langsung diterima sebagai guru volunteer sama Pak Kepsek. Manakala waktu itu gue juga masih terbilang anak kemaren sore, soalnya kan gue baru aja lulus SMA. Gila, berani banget ya gue ngelamar jadi guru? Inilah petualangan pertama gue menjadi penerus Engkong Oemar Bakri (ngikutin lagunya Om Iwan Fals: Oemar Bakri… Oemar Bakri…). Tapi Engkong Oemar Bakri masih mending, berangkat ke sekolah naek sepeda ontel jadi pegawai negeri pulak! Nah gue, ke sekolah aja selalu jalan kaki. Gempor  deh kaki gue setiap hari. Engkong, sepedanya warisin atuh ke gue :oops::| .

Sejak gue ngajar di sekolahnya adek sepupu gue, bibi gue nyaranin supaya gue buka les juga di rumah. Soalnya waktu itu belum ada satu orang pun guru yang membuka usaha bimbingan belajar. Gue pikir, kenapa enggak? Toh, selama gue SMP dan SMA di Bogor, gue udah biasa ngajar les privat anak tetangga gue yang masih SD. Jiwa pendidik gue kembali bangkit. Darah ‘guru’ para leluhur gue nurun ke gue. Emang udah suratan Illahi kali ya, gue harus jadi seorang guru di Kalimantan.

image

Baru sehari buka les, murid gue udah terkumpul sebanyak 40 orang. Wow, luar biasa sekali bukan? Itu artinya perhatian masyarakat terhadap dunia pendidikan lumayan tinggi. Gue semakin semangat buat ngejalanin bimbel sampe seterusnya. Meski pelanggan gue terbilang banyak, tapi waktu itu gue masang tarif lumayan murah cuma Rp20.000,00 perbulan. Demi peningkatan penghasilan, gue terus door to door nyari tambahan pelanggan supaya bimbel gue semakin rame. Gue rela berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya (sumpah sakit banget, karena nggak ada angkutan umum di sini).

Tok! Tok!

“Ya, ada apa ya?” tanya pemilik rumah.

“Permisi Bu, maaf mengganggu. Apakah Ibu punya anak yang sedang bersekolah di SD atau SMP?” kata gue sopan.

“Ada. Emangnya kenapa, Mas? Mas mau nyulik anak saya ya?” seloroh si ibu pemilik rumah.

JEBREDT! (pintu pun ditutup).

Ting tong!

“Mau cari siapa?” tanya penghuni rumah berikutnya.

“Saya mau cari…” jawab gue.

“Maaf ya, lowongan pembantu di rumah ini sudah diisi sama saya! Silakan cari rumah lain saja ya!” penghuni rumah itupun ngelambaikan tangannya bak Miss Universe yang habis kecebur got.

Hadeuh… kenapa sih orang-orang di sini pada aneh-aneh? Tapi gue gak gentar dan terus berusaha, maju terus ketokin pintu rumah orang. Keluar masuk hutan dan perkampungan penduduk sampe nyasar di sawitan dikejar-kejar orang utan. Alhamdulillah usaha gue membuahkan hasil. Jumlah pelanggan gue menembus angka di atas 50 orang. LUAR BINASA! (Ups, maksudnya luar biasa pemirsa!). Anak-anak peserta didik gue bahkan banyak yang berhasil menembus peringkat sepuluh hingga tiga besar di sekolahnya masing-masing. Orang-orang mulai berpikiran kalo ternyata bimbel itu sangat penting, mengingat perilaku anak zaman sekarang yang pada malas belajar. Melihat keberhasilan gue dalam mendidik anak, orang-orang sekampung semakin rame berdatangan ngantri sembako buat daftar les sama gue. Saking ramenya bimbel gue, gue sampe nambah jadwal kelas malam. Malahan ada yang enggak keterima sama gue lantaran kelasnya kepenuhan (biasanya gue nampung maksimal 8 murid perkelas). Benar-benar keberhasilan yang luar biasa buat gue. Semakin dikenal dan terbukti kaya apa kualitas gue, gue mulai berani naekin tarif. Tiap tiga semester sekali gue pasti naekin tarif menyesuaikan tingkat perekonomian masyarakat di kampung gue. Yang dulu awalnya cuma Rp20.000,00 perbulan, gue naekin jadi Rp40.000,00 pas tahun 2006. Terus jadi Rp75.000,00 setelah tiga semester berikutnya. Kemudian naek lagi jadi Rp150.000,00 pada tahun 2010 dan Rp175.000,00 perbulan pada tahun 2012. Hingga akhirnya sekarang gue udah masang tarif Rp1.500.000,00 persemester. Tentunya kenaikan tarif ini gue imbangin sama fasilitas yang terus bertambah.

image

Sebenarnya bimbel gue cuma bimbel rumahan yang biasa-biasa aja. Bukan pula bimbel resmi yang punya izin operasional dari Dinas Pendidikan. Waktu itu minta izin sama dinas setempat dianggap masih kurang penting karena daerah tempat tinggal gue adalah daerah terbelakang yang sedang berkembang. Jadi gue belum terlalu mikirin pentingnya dapat izin operasional dari dinas pendidikan setempat. Tapi semenjak enam tahun terakhir, kampung gue semakin banyak perantau yang datang dari Jawa. Dan mereka turut membuka usaha buka bimbingan belajar kaya gue. Di sinilah gue mulai ngerasa izin operasional itu sangat penting demi eksistensi bimbel gue yang paling pertama ada. Meskipun begitu banyak bimbel baru di kampung gue, masyarakat menilai bimbel yang mereka bikin belum mampu menandingi kehebatan bimbel gue (ceileh… sombong amat ya gue 😚). Bimbel yang mereka bikin hanya sebatas ngajarin pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKn, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan di bimbel gue, hampir semua pelajaran diajarkan terkecuali Pendidikan Agama untuk yang non Islam. Gak mungkin kan gue ngajar pelajaran Pendidikan Agama Kristen, Hindu, atau Budha, sementara agama gue sendiri Islam! Boleh dibilang bimbel gue ini merupakan bimbel yang komplit karena berbagai bahasa asing (Inggris, Jepang, Korea, Mandarin, dan Italia) menjadi mata pelajaran optional berdasarkan kesukaan para murid. Sementara mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi pelengkap di bimbel gue. Setiap hari murid-murid les gue datang ke rumah membawa laptop pribadi  (dan sebagian lain udah gue sediakan di bimbel). Begitu mereka datang biasanya mereka bakal bertegur sapa sama semua orang di rumah pake Bahasa Inggris atau bahasa asing yang mereka suka.

“Hello, good afternoon teacher. Jal jinaeseoyo?” sapa murid-murid gue yang suka Bahasa Inggris dan Korea.  

“Good afternoon. Ne, jal jinaeseoyo!” balas gue ke mereka.

“Sensei, watashi wa shukudai ga arimasu. It’s very difficult! Oshiete kudasai ne!” celoteh murid gue yang suka ngomong Jepang campur Inggris.

“Hontou desu ka? Let’s try to solve it!” ajak gue ke mereka.

“Lao shi, wo bu ming pai! Please, repeat it once again!” Nah kalo yang ini murid gue yang jago Mandarin.

Keren kan? Kecil-kecil para murid gue udah belajar jadi polyglot niruin gue. Haha… 😆 . Oya selain jago bahasa asing,  banyak murid gue yang berhasil menjadi juara olimpiade SAINS (Matematika dan IPA) lho. Baik di tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Beberapa di antaranya ada yang sudah menembus tingkat nasional. Bayangkan, TINGKAT NASIONAL, pemirsa! Kampung gue cuma kampung kecil, bimbel gue juga bukan bimbel berkelas, tapi hasil didikan gue benar-benar ‘JADI’! Kebanyakan murid gue, walaupun sudah berhasil menjadi juara, mereka selalu ngotot sama ortunya supaya terus lanjut les sama gue. Saking ngebetnya senang diajar sama gue, sampe-sampe pernah ada murid gue yang pindah ke kota terus dia maksa ortunya supaya gue ikut pindah sama mereka. Hadeuh… aneh kan? Kalian tahu apa yang terjadi sama murid gue itu sekarang? Dia nggak mau sekolah kalo gurunya bukan gue (ini serius lho! Swear! ✌).

Semenjak munculnya banyak bimbel baru di kampung gue, gue juga gak berhenti meningkatkan kualitas pelayanan gue terhadap pelanggan. Malahan saking dianggap bagusnya kualitas bimbel gue, banyak pelanggan yang berlangganan turun-temurun mulai dari anak pertama, anak kedua, hingga seterusnya. Ditambah lagi tanpa harus bikin iklan ataupun promosi ke sekolah-sekolah, usaha bimbel gue malah dipromosiin sama para pelanggan gue sendiri. Banyak di antara mereka yang mengajak keluarganya buat jadi pelanggan gue juga. Jadi intinya gue udah gak serepot harus door to door kaya dulu lagi. Biasanya para calon pelanggan gue datang sendiri ke rumah karena mendengar promosi dari kerabat mereka soal bimbel gue.

Well, pembaca pasti bertanya-tanya sebenarnya modal bikin bimbel itu gede gak sih? Terus kaya apa manajemennya supaya bimbel kita bisa awet tahan lama dan tetap menjadi primadoni? (maaf, primadonanya lagi izin ke wc sebentar. Hihihi… 😄). Nih, gue kasih tips sama bocorannya ya. Kali aja pembaca ada yang langsung bikin bimbel sehabis baca tulisan ini.

image

1. Tempat bimbel bisa rumah pribadi. Enggak harus di pinggir jalan raya yang rame dilewatin banyak kendaraan. Kenyataannya suara bising kendaraan malah ngeganggu konsentrasi belajar para peserta didik. Kebetulan rumah gue berada di paling pojok sebuah gang (tapi mobil bisa masuk), suasananya sepi nyaris gak ada tetangga, halaman cukup luas, dan banyak pepohonan. Adem, asri, dan teduh bikin murid-murid gue nyaman belajar. Ruang belajar les hanya ada dua ruangan (indoor dan outdoor). Gue sengaja bikin kelas outdoor selain supaya murid-murid bisa menyatu dengan alam, murid-murid juga bisa menghirup udara segar, dan nggak ngerasa jenuh belajarnya.

2. Sediakan fasilitas penunjang pelajaran mulai dari buku paket, buku kumpulan soal, peta, atlas, kerangka manusia, struktur tubuh manusia, globe, CD untuk listening bahasa asing, meja belajar, mikroskop, alat musik, dll. Kisaran biayanya kira-kira Rp3.000.000,00-Rp5.000.000,00.

3. Penataan ruang belajar dibuat senyaman mungkin. Buatlah posisi duduk lesehan supaya para peserta didik nggak terlalu pegal. Ajak para peserta didik menikmati fasilitas yang kita sediakan, misalnya nonton film kartun berbahasa Inggris. Niscaya para murid cepat nyerap bahasa asing yang lagi mereka pelajari. Atau bisa juga ajak mereka nyanyi diiringi piano dan alat musik lainnya. Suasana belajar kaya gini bikin murid nggak ngerasa boring.

4. Kalau bimbel kita pengen dapet izin operasional dari dinas pendidikan, sebaiknya kita bikin izin dulu ke notaris. Persyaratannya antara lain surat keterangan usaha dari kepala desa dan  fotokopi KTP 6 orang: pembina lembaga bimbingan, ketua, sekretaris, bendahara, dan dua orang anggota lainnya. Biaya izin notaris relatif terjangkau, kemaren gue cuma disuruh bayar satu juta rupiah. Sedangkan waktu ngajuin izin operasional ke dinas pendidikan nggak diminta uang administrasi sama sekali alias free. Malahan kalau bimbel kita rutin bikin laporan ke dinas pendidikan, pihak yang terkait di dinas pendidikan bakal ngasih bantuan operasional seperti buku-buku penunjang pelajaran, meja, kursi, dan fasilitas lainnya. Asyik kan? 🙂

5. Meskipun bimbel kita udah maju, kita harus komitmen dan konsisten terhadap usaha kita! Para tenaga pengajar harus selalu mau belajar mengikuti perkembangan dunia pendidikan, dan jangan pernah ngerasa ‘mentang-mentang sudah jadi guru, kita sudah pintar, dan nggak perlu belajar!’ itu sih sama aja nonsense! Sejatinya guru itu harus selalu meningkatkan skill, supaya enggak dipandang remeh sama muridnya. Mengajar tanpa belajar itu namanya guru sombong! Belajar tanpa mengajar itu namanya guru malas dan pelit!

6. Kuasai jenis usaha! Lihat usaha bimbel yang menjadi pesaing bisnis kita. Apakah mutu kita berada di bawah mutu bimbel mereka. Kalau iya, cari segera solusinya! Kalau ternyata bimbel kita lebih baik mutunya daripada bimbel sebelah, pertahankan dan terus tingkatkan! Gue pribadi pada prinsipnya nggak pernah memandang orang yang sama-sama buka usaha bimbel sebagai saingan. Toh rezeki itu sudah ada yang mengatur, yaitu Tuhan! Gue selalu menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan ngebiarin semua berjalan apa adanya. Tukang baju aja di pasar nggak cuma ada satu kan? Biarkan konsumen yang memilih. Semakin banyak konsumen yang tahu kualitas kita, niscaya semakin banyak pula orang yang ingin menjadi pelanggan.

7. Buatlah laporan berkala mengenai pemasukan bimbel dan kegiatan bimbel supaya program bimbel menjadi terarah dan berjalan dengan baik! Ada kalanya dana yang masuk dari peserta bimbel harus dialokasikan untuk berbagai keperluan yang menunjang kegiatan bimbel. Usahakan agar dana yang masuk tidak tercampur dengan kepentingan pribadi. Jadi sebaiknya dana pribadi dipisahkan terlebih dahulu.

Well, segitu aja kali ya cerita soal bimbelnya. Semoga tipsnya bermanfaat. Kalo ada yang mau daftar di bimbel gue, gue tunggu lho… Ini alamatnya:

Bimbingan Belajar Sugih
Desa Bangun Jaya
Jalan Raya PT. KSK RT1/1
Kec. Balai Riam
Kab. Sukamara
Kalimantan Tengah 74173

Gallery

image

image

image

image

image

image

Aneka Pizza Unik Kreasi Chef Sugih

Hidup di pedalaman bikin gue gak bisa ngerasain apa yang orang kota bisa nikmatin. Salah satu misalnya adalah ngenikmatin makanan cepat saji (fast food) kaya hamburger, lasagna, spageti, kebab, dan pizza. Dulu selama zaman gue masih sekolah di Bogor dari kecil gue suka banget makan pizza tiap kali dibeliin sama bokap. Biasanya bokap ngebeliin pizza pas kami sekeluarga jalan-jalan mengisi liburan ke Taman Safari, Puncak, Dufan, Ancol, Taman Mini,  dll (dan lupa lagi, pemirsa). Gue selalu inget bokap gak pernah absen ngebeliin pizza tiap kali kami sekeluarga pergi jalan-jalan bersama. Meskipun banyak sodara gue yang gak terlalu doyan makan pizza cuma gara-gara toppingnya yang agak lengket dan sering bikin mereka muntah, akhirnya cuma gue yang selalu ketagihan. Sekarang kalo gue makan pizza, gue selalu inget kenangan jalan-jalan sama almarhum bokap. Rasanya sering sedih tiap kali inget semua kenangan itu.

Selain pizza, gue juga hobby banget makan burger. Walaupun kata nyokap masakan di rumah jauh lebih menyehatkan ketimbang fast food yang dijual di pinggir jalan. Kebanyakan fast food di pinggir jalan memang kurang higienis dan terlalu banyak mengandung zat pengawet. Jadinya semua makanan itu malah tergolong junk food alias makanan sampah. Parahnya junk food bisa menimbulkan berbagai penyakit karena terlalu banyak mengandung kolesterol.

Semenjak tinggal di daerah pedalaman gue gak pernah lagi bisa makan pizza ataupun burger. Alhasil gue cuman bisa ngiler tiap kali ngeliat iklannya di tv. Gue juga ngerasa prihatin sama murid-murid gue kalo pas gue ngajar Bahasa Inggris. Masalahnya sering banget muncul percakapan di buku yang temanya soal makanan. “What kind of food do you like? Do you like pizza, hotdog, or hamburger?” (Makanan seperti apa yang kamu suka? Apakah kamu suka pizza, hotdog, atau hamburger?). Murid-murid gue cuma bisa bengong tiap kali ketemu dialog model gitu di buku. Soalnya mereka belum pernah ngerasain kaya apa rasanya burger sama pizza. Kesannya pizza & burger adalah makanan mewah yang cuma bisa dinikmatin sama orang kota. Boro-boro pizza, bisa makan bakso aja dah syukur.

Berbekal keterampilan memasak yang gue punya, pas nyokap buka kafe baru  bulan kemaren, gue berinisiatif buat ngenalin aneka western food ke masyarakat di kampung gue. Kalo nyokap cuma bikin masakan Indonesia kaya soto ayam Bogor, pempek Palembang, Gado-gado Betawi, nasi goreng spesial, asinan Bogor dan lain sebagainya, gue melengkapinya dengan menu burger, pizza, kebab, dan sosis bakar. Semua diolah dengan tangan gue sendiri. Tentunya dijamin higienis karena gak pake zat-zat yang aneh-aneh.

Baru hari pertama kafe nyokap dibuka, antrean pembeli langsung membludak. Soalnya pas hari itu gue gencar banget ngepromosiin ke semua orang di sekitar gue. Termasuk semua kontak yang ada di hp. Alhamdulillah, respon masyarakat soal pizza yang gue bikin jadi trending topic orang sekampung. Banyak dari pembeli yang tersenyum sumringah karena baru pada tahu yang namanya pizza. “Oh, jadi ini yang namanya pizza toh? Enak juga ya!”, “Wah asyik, kita gak perlu turun ke kota lagi buat beli pizza!”, “Mantap deh meskipun ini di kampung tapi menu yang ada di kafe ini internasional banget! Bisa bikin sushi sama bulgogi nggak?” Ada kepuasan tersendiri waktu gue ngeliat ekspresi para pembeli. Lucunya di kampung gue sebenarnya banyak banget pendatang dari Pulau Jawa, tapi mereka pada nggak tau sama yang namanya pizza dan burger. “Pizza? Apa itu pizza? Sejenis rendang atau supkah? Burger itu bubur seger yak?” #Gubrak! *nih orang habis semedi di dalam goa kali ya?*

Nah, supaya pizza diminati para pembeli selain toppingnya harus enak dan gurih, bentuk-bentuk pizza juga harus dibuat seunik mungkin supaya minat konsumen lebih besar dan menggugah selera makan. Pizza yang gue bikin bahannya mudah didapat dan harga jualnya pas dengan kantong anak kos-kosan. Pemirsa mau nyoba bikin sendiri? Berhubung gue bukan orang pelit, nih gue kasih deh resepnya. Silakan disimak ya…

Beberapa pizza unik kreasi gue sebelum dipanggang :

Pizza Sakura buat pengagum keindahan negara Jepang.

image

Pizza Romantis buat pasangan yang lagi dimabuk cinta.

image

Pizza Bintang buat anak-anak yang memiliki cita-cita tinggi.

image

Butterfly Pizza buat pecinta keindahan
image

Pizza bundar untuk orang yang menyukai kesederhanaan
image

Ordinary pizza satu untuk kebersamaan
image

Sunflower pizza untuk hari yang selalu ceria
image

Resep Pizza Unik

Bahan adonan :
-Tepung terigu 400 gram
-Telur ayam 1 butir
-Mentega 3 sdm
-Minyak goreng 3 sdm
-Fermipan (ragi instan) 40 gram
-Air susu hangat 1 gelas

Cara membuat adonan :
1. Campurkan semua bahan di atas dalam sebuah baskom.
2. Aduk rata, lalu masukkan air susu hangat dan campurkan kembali hingga adonan menyatu menyeluruh.
3. Bila adonan sudah kalis dan tidak lengket di tangan, gumpalkan adonan menjadi satu bulatan penuh! Lalu tutuplah baskom dengan kain serbet bersih selama minimal 15 menit agar adonan mengembang.
4. Sementara adonan didiamkan, siapkan bahan tumisan untuk topping.

Bahan topping :
-Bawang bombay setengah siung, cincang halus;
-Cabe hijau 3 buah, iris menyerong;
-Bawang bakung 2 batang, iris tipis;
-Telur ayam 1 butir, kocok hingga putih dan kuning telur merata;
-Sosis daging ayam/sapi 4 buah, iris menyerong. Selain sosis bisa juga memakai jamur kancing yang diiris tidak terlalu tebal;
-Tomat 3 buah, cincang halus;
-Paprika 1 buah, iris memanjang 2 cm. Bila tidak ada paprika bisa diganti dengan satu buah jagung manis, preteli jagung dan buang batangnya.
-Daging ayam 300 gram, goreng kemudian cincang dadu atau potong suwir-suwir. Bisa juga memakai daging kornet untuk penyuka daging sapi;
-Gula pasir secukupnya;
-Bumbu penyedap Royco/Masako secukupnya.

Cara membuat topping :
1. Tumis bawang bombay hingga harum.
2. Masukkan cabe hijau, bawang bakung, tomat, sosis, telur, daging, dan sayuran lainnya.
3. Bubuhi gula pasir dan bumbu penyedap, aduk hingga tumisan terasa gurih dan aromanya tercium harum.

Bahan pelengkap pizza :
-Keju parut secukupnya;
-Saus tomat/saus pedas (sesuai selera), bisa juga menggunakan mayonaise untuk menciptakan rasa yang berbeda.

Cara membuat pizza :
1. Ambil adonan sebanyak kepalan tangan, pipihkan di atas teflon.
2. Cetak adonan sesuai bentuk yang diinginkan. Misalnya bentuk hati, bintang, bunga, lingkaran, lingkaran bergerigi, dan lain sebagainya. Berikan batas tepian sedikit lebih tebal/tinggi daripada bagian tengahnya.
3. Oleskan mayonaise atau saus ke atas adonan yang telah dipipihkan dan dibentuk sesuai keinginan. Pastikan olesannya merata!
4. Tuangkan topping yang telah ditumis ke atas adonan yang telah dilumuri mayonaise/saus.
5. Ratakan topping di atas permukaan pizza.
6. Tuangkan saus sekali lagi di atas topping!
7. Taburkan irisan keju atau keju yang telah diparut!
8. Panggang dalam keadaan tertutup rapat di atas kompor dengan nyala api kecil selama kurang-lebih 5 menit.
9. Tusuk dengan garpu untuk memastikan kematangannya! Bila adonan tidak melekat pada garpu, berarti pizza sudah matang. Pastikan pizza tidak gosong dan mudah diangkat dari teflon!

Pizza siap disantap!^^  Satu adonan di atas dapat disajikan hingga 5 porsi (5 teflon). Selamat mencoba ya…

Postingan selanjutnya gue kasih resep kebab super, mayonaise lemon, dan cara bikin sosis home made. Jangan lewatkan!

Bertanam Sawit, Murid SD Bisa Study Tour Gratis!

20150222_161634

Sekolah-sekolah di Kalimantan Tengah pada umumnya memiliki areal tanah yang relatif luas. Dengan luas lahan minimal 4 hektar sedikitnya setiap sekolah memiliki lapangan sepakbola sendiri. Tidak jarang ada sekolah yang memiliki lahan seluas hingga 10 hektar (=100.000 m2). Namun bila tanah yang tidak terpakai terbengkalai, bisa menyebabkan tanaman ilalang dan rumput liar tumbuh subur. Sehingga lingkungan sekolah pun menjadi tidak sedap dipandang mata. Terlebih suhu udara di Kalimantan sangat panas bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. (Apa hubungannya rumput liar dengan suhu udara panas di Kalimantan? O_O” )

 

image

Daripada membiarkan tanah dipenuhi rumput liar, guru-guru SDN Bangun Jaya di Kabupaten Sukamara-Kalimantan Tengah memiliki ide yang sangat kreatif dan edukatif. Ya, lahan luas yang dimiliki sekolah ini kini telah dipenuhi oleh tanaman sawit yang kelak dapat menghasilkan uang. Tujuannya adalah dana yang terkumpul dari hasil panen sawit setiap bulan akan digunakan untuk biaya study tour siswa-siswi SDN Bangun Jaya. Dengan demikian para siswa-siswi SDN Bangun Jaya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kegiatan tersebut.

 

image

Sawit di bumi Kalimantan bagaikan ladang emas. Banyak warga yang menuai kesuksesan dari tanaman penghasil minyak goreng tersebut. Penghasilan para warga rata-rata setiap bulan dari setiap kapling yang mereka miliki sedikitnya adalah Rp3-4 jutaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang telah memiliki penghasilan Rp12-20 juta perbulan. Belum lagi jika dikalikan dengan jumlah kaplingan yang mereka miliki. Wow, sangat menggiurkan bukan? Maka tak heran bila harga lahan sawit di Kalimantan Tengah saat ini mencapai berkisar Rp120-200 juta perkapling.

 

image

Para siswa dan siswi di SDN Bangun Jaya sangat bersemangat merawat tanaman sawit di halaman sekolah mereka. Setiap pohon yang mereka tanam diberi patok nama penanamnya, agar mereka dapat fokus merawat tanamannya masing-masing. Guru-guru turut mengawasi dan membantu mereka. Sambil praktek tak jarang guru-guru pun menjelaskan teori merawat tanaman yang baik. Anak-anak diperkenankan untuk melakukan perawatan rutin setiap hari Jumat pada jam mata pelajaran ‘Muatan Lokal : Pertanian’ usai melakukan senam SKJ. Mereka sangat berhati-hati saat menggunakan parang, sabit, dan cangkul. Bila terdapat rumput liar di sekeliling tanaman peliharaan mereka, maka mereka akan segera membersihkannya dengan menggunakan parang atau sabit. Pada saat itulah guru-guru harus turut mendampingi mereka agar tidak ada yang terluka karena kelalaian yang dilakukan siswa. Sangat riskan memang, tetapi untunglah para siswa-siswi SDN Bangun Jaya sangat cekatan, selalu berhati-hati dan patuh kepada guru. Saat membersihkan kebun setiap Jumat, anak-anak pun bernyanyi dengan riang. Terbersit harapan study tour segera tiba.

image

Tahun Kesebelasku di Kalimantan

image

Kemarin aku bertemu Pak Arif, pimpinanku semasa aku mengajar di SMANBA (2005-2013). Beliau menanyakan kabarku dan kami pun mengobrol seputar bimbingan belajarku di rumah. Akupun bercerita kalau akhir bulan nanti akan pergi ke Pulau Jawa entah untuk seberapa lama. Beliau berpesan sama seperti dulu setiap aku akan pulang ke Bogor, kota kelahiranku. “Kalau sudah minum air Kalimantan, pasti tidak akan betah di Jawa!” tutur beliau seraya menceritakan pengalamannya yang juga kerap tidak betah berlama-lama meninggalkan Kalimantan. Jujur kuakui beliau adalah orang yang bijak, karena beliau tidak pernah memandang manusia dari latar belakang pendidikannya melainkan dari kapasitas kemampuannya meskipun pendidikan orang tersebut sangat rendah. Buktinya meskipun pada 2005 silam aku masih tamatan SMA namun beliau menerimaku untuk mengajar di SMANBA. Sebab beliau mengakui kapasitas kemampuanku dalam mengajar. Pun demikian dengan penilaian para rekan guru pada masa itu, mereka turut mengacungi jempol atas bakat alamiahku dalam mengajar. “Kami salut dengan Pak Sugih, meskipun baru lulus SMA tapi Pak Sugih memiliki jiwa seorang guru. Sedangkan kami yang sudah sarjana saja masih canggung menghadapi murid!” begitulah kata rekan-rekanku sepuluh tahun silam.

Waktu memang terus bergulir, tanpa terasa kini aku sudah sebelas tahun lamanya menetap di Pulau Kalimantan. Selama tahun 2004-2008 aku masih menikmati perjalanan bolak-balik Kalimantan-Bogor sedikitnya setahun sekali. Selepas itu aku tak pernah lagi pulang ke kota yang dijuluki sebagai kota hujan itu. Kini aku merasa sangat rindu, rindu sekali, rindu yang sangat berat yang kupikul selama tujuh tahun ini. Bayangkan, Bang Toyib saja meninggalkan kampung halamannya hanya tiga tahun. Sedangkan aku jauh lebih parah darinya! Hadeuh… 

Setelah aku resign dari SMANBA pada Juni 2013, sekitar empat bulan yang lalu akupun resign dari SDN Bangun Jaya. Aku memutuskan untuk berhenti berkiprah di sekolah. Bukan karena aku bosan mengajar. Melainkan karena rasa jenuh tinggal di Kalimantan yang sangat sunyi. Entah mengapa aku merindukan keramaian, hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang, dan suasana pasar yang senantiasa padat oleh pengunjung. Aku berpikir untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang master/pasca sarjana (S2) di Pulau Jawa ataupun mencari beasiswa ke luar negeri. Dan aku pikir beasiswa itu kini tengah berada dalam genggamanku, karena aku telah memenuhi semua kualifikasinya. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mengambilnya.

Semua orang di sekitarku amat menyayangkan keputusanku. Pasalnya saat ini bimbingan belajar yang telah kudirikan selama sebelas tahun lamanya tengah berada di puncak kejayaan. Dulu susah payah aku merintisnya dengan peluh keringat mengetuk pintu dari rumah ke rumah guna mencari pelanggan dan hanya dengan berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya jalan yang kutempuh aku terus berupaya menghimpun kepercayaan masyarakat bahwa aku adalah ‘teman’ yang tepat untuk membimbing putra-putri mereka dalam belajar. Akhirnya aku berhasil membuktikan bahwa siswa-siswi hasil bimbinganku mampu menjadi anak yang cerdas sesuai harapan orang tua mereka. Banyak sekali murid bimbinganku yang menjadi juara kelas, juara tiga besar, juara olimpiade SAINS, juara debat Bahasa Inggris, juara pidato Bahasa Inggris, juara telling story, dan segudang prestasi lainnya. Kini aku tak perlu lagi melakukan seperti apa yang dulu pernah kulakukan. Cukup berongkang kaki di rumah menunggu para pelangganku datang dengan sendirinya. Keunggulan bimbingan belajarku telah tersebar dari mulut ke mulut. Mungkin akulah orang yang selalu dicari masyarakat guna ‘menitipkan’ anak mereka di bimbingan belajarku. Meskipun bimbingan belajarku ini tidak terdaftar secara resmi di dinas pendidikan. Terbukti berdasarkan survey orang tua murid yang datang kepadaku, mereka mengatakan bahwa bimbingan belajarku adalah bimbingan belajar teramai di kecamatan kami, Balai Riam. Terlebih lagi aku memberikan pelajaran bahasa asing di bimbingan belajarku antara lain : Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Korea, dan Bahasa Mandarin. Pelajaran bahasa asing tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak bangku sekolah dasar dan menengah yang ingin melihat dunia luas.

Berhenti mengajar di dua sekolah yang kucintai bukan berarti hubunganku dengan kedua sekolah tersebut putus begitu saja. Bagaimanapun aku masih membina hubungan baik dengan rekan-rekan kerjaku. Sebab bagiku mereka adalah keluargaku sendiri tempat aku berkeluh-kesah selama ini. Saat mengundurkan diri aku berpamitan secara baik-baik dan berusaha meninggalkan kesan yang baik. Pimpinanku bahkan berpesan kepadaku, “Kalau ada waktu berkunjunglah ke mari! Kita ngobrol-ngobrol lagi seperti dulu!” rekan-rekan sesama guru masih sering bertemu denganku dan selalu bertegur sapa di jalan. Terkadang mereka mengirimiku pesan melalui SMS, WhatsApp, dan lain sebagainya agar aku mau mengunjungi mereka di sekolah. Uniknya meskipun aku sudah mengundurkan diri, aku merasa seperti masih mengajar di sekolah. Guru-guru dan kepala sekolah kerap datang menemuiku di rumah untuk meminta pertolongan kepadaku.

“Tolong latih anak-anak debat Bahasa Inggris ya Pak Sugih! Sekalian dampingi mereka saat lomba nanti di kabupaten!” 

“Pak, ada waktu nggak? Tolong bimbing anak-anak buat persiapan menghadapi Olimpiade SAINS bulan depan!” 

“Saya mau lanjut kuliah S2, bisa tidak saya les Bahasa Inggris sama Pak Sugih? Tolong bantu ya!”

“Bersediakah Pak Sugih mengoreksi Bahasa Inggris dalam tesis saya? Maklum, saya ndak bisa Bahasa Inggris!”

Tanganku selalu terbuka membantu mereka selagi aku mampu melakukannya. Aku heran mengapa selalu aku yang mereka cari? Seolah-olah hanya aku yang bisa diandalkan. Akan tetapi aku tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan yang mereka berikan kepadaku, bukan?

Terus terang saat ini aku merasa berada di persimpangan jalan. Aku tengah berdiri dihadapkan  di antara dua pilihan : mengambil beasiswa ke luar negeri yang selama ini kuimpikan atau terus mengembangkan usahaku di dunia pendidikan di Kalimantan. Aku benar-benar dilema hingga mengalami insomnia berbulan-bulan lamanya. Bila aku mengambil beasiswa akankah aku bisa bertahan dengan keadaan di luar sana? Aku takut setibanya aku di luar negeri nanti aku akan mengalami homesick, culture shock, dan kerinduan yang mendalam kepada dunia yang tengah kujalani seperti sekarang ini. Tetapi ini adalah kesempatan yang tidak boleh kusia-siakan lagi seperti saat aku lulus SMA pada 2004 lalu. Ya, dulu aku begitu bodoh melepas beasiswa ke Jepang yang sangat aku dambakan begitu saja. Sampai akhirnya aku berubah, aku tak lagi menginginkan untuk dapat berkuliah di Jepang. Bila suatu masa itu datang, aku hanya ingin berjalan-jalan di Jepang. Negara yang ada dalam pikiranku saat ini adalah Finlandia. Aku ingin melanjutkan program master di sana. Negara pencipta Angry Bird, game yang senantiasa membuatku tertawa di kala aku jenuh dengan pekerjaan. Bagiku Jepang dan Finlandia seperti dua surga yang terpisahkan dari Indonesia. Keduanya sangat menyejukkan mata.

Di sisi lain aku ingin mengabulkan harapan mama, mendirikan bimbingan belajar resmi di sebuah kota kecil tidak jauh dari tempat tinggal kami. Dan aku sudah memiliki cukup modal untuk membukanya. Kalimantan memang prospek masa depan bagi kami. Kami akan menjadi pioneer di bidang kami. Karena staf pengajar di bimbingan belajar kami hanya kami berdua, aku dan mama. Akan tetapi bila aku tidak melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, aku pikir aku takkan lagi mendapatkan kesempatan yang kedua kali. Terlebih usiaku akan semakin bertambah tua pastinya. Manakala akupun sudah kecewa kepada pemerintahan Presiden Jokowi yang telah membekukan penerimaan pegawai negeri sipil hingga 5 tahun ke depan nanti. Tidakkah ini berarti beliau tidak memberiku kesempatan untuk menjadi pegawai negeri? Padahal hatiku sudah mantap dan yakin kalau tahun 2015 ini aku bisa lolos tes penerimaan CPNS. Akh, aku tidak akan mempermasalahkan kebijakan yang dijalankannya. Bagiku yang penting aku masih memiliki masa depan.

Dua pilihan yang harus kutentukan, harus segera kuputuskan. Aku tidak ingin mengambil salah jalan. Karena keduanya menyangkut masa depan. Dalam dingin gelapnya malam, lagi aku menikmati insomnia yang membuatku diam terpekur karenanya.

Balai Riam, 15 Februari 2015

My Third Year in Borneo

image

This event has been a very long time ago, I will hardly remember when exactly. But I accidentally wrote back here just for the nostalgia even though without any  photos because I didn’t have a camera at the time. Understandably living in the rural areas, all completely within the limitations.

This incident took place at approximately the first quarter of 2006, second semester I taught at SMA Negeri 1 Balai Riam, or rather in its third year I lived in Borneo. I still remember clearly when it was Friday in which the activities in the school where I taught this very freely. Usually activities at school on Friday was limited to a healthy heart gymnastics, community service cleaning the school environment, and the specific subjects in each class. In short when I was filling the last hours in one class, one of the senior students of grade XII named Mispansyah, knocking on the door of the room where I was teaching.

“Excuse me Sir, you are asked by the people to go to Balai Riam now! We have two foreigners as our guests. But we don’t understand at all what they want,” said Mispansyah while struggling like he’s being chased by the ghost.

Because it happened when it was disbanded school hours, I immediately packed up and said goodbye to my students. Before I sat on the top of Mispansyah’s motorbike, some teachers, the co-worker expressed the same thing as what was conveyed by Mispansyah. “Hurry up Sir, you are being waited!” Said Mr. Jahrani,  our senior teacher.

Mispansyah immediately drove to
Mr Siong’s house, a resident whose
house used to be a shelter for the foreigners. I found them in the livingroom, we introduced ourselves each other. Apparently they were married couple named Sergey and Michelle. They came from Russia and doing hitchhiking. Initially I did not understand what was hitchhiking. But they kindly explain to me that they were traveling around the world just by walking and they asked for a ride to any rider who passed along the way. Wow, sounds interesting huh? It means they traveled the world for free. Then Sergey said that they went through 2/3 parts of the world. They had run out of water drink in the Kalahari desert of Africa, and ran out of food supplies in China’s Gobi desert, also became a captive in inland of Thailand. Until finally, they arrived in Indonesia. They even had Batam Island resident spotlight until in the paper. And Sergey showed me pieces of the newspaper article which ran a story about them for at Batam. If they understood the Indonesian language, they might be embarrassed or angry. Because the content of the article was the Batam resident judged them as beggars who wanted around the world for free and without bringing any money. (U_U)

The journey continued to Borneo after they managed to explore the island of Java. After taking the route Pangkalan Bun-Kudangan with riding a truck, they intended to continue the journey to Pontianak to extend the validity period of the visa. Unfortunately they should be kept up to Pontianak via Kudangan, but because of miscommunication between them and the truck driver did not speak English, the couple Sergey and Michelle brought to the truck drivers Balai Riam, subdistrict where I lived. Then finally I met them.

I was amazed to Sergey and Michelle, in the still fairly young age they’d managed to explore the 2/3 parts of the world such as: Europe, Africa, Australia, and Asia. Their final destination was the continent of America and perhaps including Antarctica. Their visit in Balai Riam Subdistrict would last for 3 days 2 nights. Because they deliberately wanted to rest for a while after traveling a very long and tiring. As a good host, I purposely took their tour to see the situation in Balai Riam. First I invited them to look across the village settlements (old village). Sergey and Michelle were amazed to see our local traditional house made of ironwood and very durable tens to hundreds of years. The public was enthusiastic welcome them. “Sir, please tell them later at night we held a party for them. We’ll make a roasted pork!” Said one resident familiarly. When I delivered to Sergey and Michelle mentioned subject, they were very happy as if they had not enjoyed a delicious meal, especially when I mentioned its specialties is the ‘pork barbeque’. They almost dripping saliva after hearing.

When we arrived at the indigenous leader house, we were greeted with a ceremony and drinking party. Our hands were each tied by a rope made of reeds and woven in a way that looked like a very beautiful bracelet. It signified that we had bound to be part of the Dayak in particular areas Balai Riam. We had become part of the family in the land of this amethyst gem. We should not be decided wrist strap that bound us intentionally. Because the rope would break up by itself right at the third, fourth, or fifth day. And magically, it’s true! Rope tying my wrist cut away on the third day. Though my hand did not experience friction with any object. The party  held at the home of indigenous leader house. Sergey and Michelle danced to follow the movements of the Dayak dancers form a circle. While dancing we were required to drink wine and wine interchangeably. Because I am a Muslim, so I just simply hold the cup to my lips without drinking a drop. Phew, it is a relief!

In the afternoon I again invited them both around while jogging look around the forest and look for cassavas. Michelle was very fond of fried cassava. For her cassava was the most delicious food  she had enjoyed. Well, fortunately the waitress of Mr. Siong had no objection to fry it for Michelle. The Dayak children continued to follow us along the way that we went through, they were even willing to help Michelle look for cassava growing in the woods. The children were very interested to interact with foreigners. Because it was the first time for people in Balai Riam met foreigners.

In the evening, after maghrib prayers, I asked Mr. Arif, the principal superiors, to take us to see the head of subdistrict. Our arrival was greeted warmly by the head of subdistrict. He explained on the composition of the population in Balai Riam Subdistrict, as well as the number of people in each village. I never thought we could talk familiarly together to laugh. Sergey and Michelle were very impressed with our service to them. Coming home to Mr. Siong’s house, I was asked specifically by Mr. Siong family to spend the night at their house. Worry if there something would happen to our guests or Sergey and Michelle needed something while Mr. Siong did not understand the language they use. So the whole night that I was with Sergey and Michelle spent time exchanging stories together.

Sergey taught the Cyrillic alphabet which is the Russian alphabet. I thought the Russian language was very difficult but very interesting. Many times Sergey trained me how to read any Russian alphabet written on a piece of paper. I very difficult pronounced, but Sergey was patient and humorous person. There were excerpts of the conversation which still burned into my memory.

I’m the Curious (IC): “Sergey, could you please tell me the life in your country during the heyday of the Soviet Union?”

Sergey (S): “What do you want to know about the Soviet Union?”

IC: “Frankly, when we hear the name of the Soviet Union, many Indonesian people are frightened.”

S: “What is fear?”

IC: “the Soviet Union communist state. In the past our country also had almost become a communist country.”

S: “So?”

(Ergh… Why Sergey often asked me back, huh?)

IC: “The Communist Party in our country had done a great incident. A number of our army leaders were arrested and killed. Places of worship such as mosques burned. Of course we are afraid of communists and strictly prohibits the existence of the communist party in our country.”

S: “In our country it had become commonplace.”

IC: “Was it not disturbing people in your country?”

S: “Why should fret? Let it all flows and community members are slowly going to enjoy it! ”

IC: “I heard the economic system in your country adopted a centralized economy. Could you please explain what kind of economy there? ”

S: “Yup, that’s right! So during the period of socialist rule, almost all the residents did not have a business license. Because all activities were controlled by the state of society. Agricultural activities, livestock, industry, fisheries, plantation, etc. were managed by the state. Thus the welfare of society equally. There was no person who was the richest or the poorest like here!”

IC: “Oh, I see. And what about the activities of worship? Was controlled by the government as well? ”

S: “Of course. If not so, the people in our country would not be  regular. Essentially all community activities were controlled by the state. You know, including our spouses also when in the mood to make love must wait for a mandate from the state! ”

(Sergey glanced at Michelle playfully)

Michelle giggled hear the narrative of her husband,”For the last statement that he said, please do not believe this!” Michelle said as she glanced at me.

IC: “Wew!”

Sergey was very interested in listening to myths inland Dayak that I told him. Like ‘kuyang’ an old woman who absorbs infant blood in order to make herself forever young, kayau the head hunter, cannibalism of the Dayak, and so forth. While Michelle was more interested in listening to the stories of tragedy Sambas and Sampit which had similarities of the  background chronology. Both asked me so I deign to write them all down and send them to their email addresses published into a book published in the country. It turned out their second job were journalist. Little vent also to me the reason they did hitch-hiking, as the background of their problems. Frankly they told me apparently they were a married couple who eloped because it was not sanctioned by their parents. OMG, nowadays still a ‘run-away marriage’. Mr. Deny … please please! (Imitating the style of Jarwo Kwat, member of Indonesian Comedy Club).

On the last day of our meeting, with the permission of Mr. Arif at night before I accidentally took Sergey and Michelle visited SMA Negeri 1 Balai Riam where I worked. I deliberately asked for them to be native speakers of English in school hours. Well, it turned out though their words were Caucasians, not necessarily a guarantee that their English must be good you know! The proof pronounce the word ‘banana’ are supposed to be pronounced ‘benane’ even pronounced the same as the ordinary Indonesian people mostly English. But this very memorable session for my students. Well, even though my students could only admonish ‘how are you?’, ‘Good morning’, and ‘what is your name?’ But we all really enjoyed the togetherness that only this moment. Sergey even had time to share his  knowledge to us how he and Michelle get drinking water in the middle of a vast desert when they ran out of drinking water supplies while no oasis around them. Wow that was very interesting and we also put it into practice, the results were amazing. Scorching sunshine very helpful our experiments. This way we refered to as ‘water condensation sun’.

Towards the final seconds of our time together, I and my students invited them both to play ‘kasti’ in the school field. Sergey said the game was very similar to the game of cricket. Before they actually went I was very curious with a backpack carried by them. According to Sergey explanation fill their backpacks include: tents, iron pegs, stove, pots, pans, clothes, flashlight, map, shoes and others. I was allowed by them to lift the backpack belongs to those who were so great, and beyond my expectation their bags were extremely heavy … To the extent that I fell backward carry. How not just my weight only 50 kg while Sergey’s bag 60 kg, like a rhino holding the horse …

As a memento of me so they always remember Indonesia, I purposely gave Sergey a Javanese batik shirt. Fortunately, the same size of our clothes. And one of my students gave a gift to Michelle who knows what was in it, I did not know it. Hopefully just not a bomb or stone. Hehe…  😀

After a while waiting for passing cars, came a silver Estrada in front of us and I stopped it. Fortunately I knew the driver of the vehicle. He was Mr. Darmadi  who was on his way home to HHK Timur, West Kalimantan. I told him a little bit about Sergey and Michelle, I entrusted this couple to him up in HHK Timur and introduced them to Mrs. Ani, one of my acquaintances who also worked as an English teacher at HHK Timur. Not to forget I dropped a letter to Mrs. Ani so Mrs. Ani pleased showed Sergey and Michelle road to Pontianak, so they did not get lost anymore, or was taken the wrong way by truck drivers who did not understand English as they had just experienced yesterday.

One week after their departure…
“Sir, I just arrived from the village of Tumbangtiti, West Kalimantan. Uh, there I met Sergey and Michelle again. Then I asked my brother there to lead them to Pontianak, Alhamdulillah now they’ve arrived in Pontianak!”Said a student of mine named Dina.

Ah, thank goodness. May they always be safety, and health by God during the journey to realize their dreams. Aspiration is not to simply remain a distant dream. Rather it should be a chain of struggle that never break up. Because life is not just for dreaming!

My Second Year In Borneo

image

July 2005
This is the second year I stayed in Borneo. Without felt I had missed my days a year that had felt like in prison for life in a completely limitations. Still remember my  previous post about Borneo? In the village where I lived there was no electricity, we could only enjoy electricity village 5 hours a day (lit at 5 pm extinguished at 10 pm). There was no telephone line of any operator as well. The only means of communication was just a public phone booth located in the village shopping center (sorry not the market) was about 2 kilometers from our house. So when our family from Java needed to contact us, they could only contact the booth guard. Then the booth guard would pick us up so we called back our family who had contacted the booth guard, yet again we had to pay Rp15,000 once shuttle pick-up service, since in our village there was no public transportation.

The temperature in Borneo was very hot, and the water contains a very high acid pH. So do not be surprised if you see people from Java or Sumatra and Sulawesi, their skin will turn dark after a few days stay in Borneo. And their skin will be cleaner when returning to their home land. Not to mention common diseases are toothache. Know why? Because the levels of acidic substances too high in water content in Borneo. Unlike the indigenous tribes: Dayak, Malay, and Banjar, their skin white despite the hot temperature. Even the  Dayaks teeth were good because of their habits are like ‘menginang’. Menginang is chewing ripe pinang and lime paste covered by betel leaf.

The story begins, so after I returned home from Bogor to spend my vacation there, I was surprised to come back to Borneo, my aunt said that while I was away on vacation, our neighbor Mr. Iwan  had several visits to the aunt’s house to look for me. What is it? I thought at that time. Until finally I decided to see him in his home. Shocking news was received from him. “You are being called by Mr. Arif, head of SMA Negeri 1 Balai Riam. He would like to ask you to teach English. Do you mind?” Mr. Iwan said that time. Without thinking, the same day accompanied by my cousin, we went  to Mr. Arif’s house in order to confirm about this vacancy and I would like to apply for the job. But it turns out he was not in his house, no pains we also managed to see him planting acacia trees around the school.

Mr. Arifandi is familiarly called Mr. Arif, a humorous stocky with a rather low height, and sense of humor. In short at the meeting He directly gave me details duties as a faculty member of SMA Negeri 1 Balai Riam, newly opened government school. Its previous status was a private school under the auspices of PGRI (the unity of Indonesian teachers). He asked me to teach literature: English, Indonesian, and Japanese! No half-hearted, not! Was it just a dream? I was just a high school graduate, but I had to teach in high school! Frankly, taught in high school was my dream when I was in senior high school. While still in high school I saw seemed engrossed that I associate English-Japanese literature-and Indonesia to become one! I want to explain to the public variables are inter-related literature. Perhaps by way of being a teacher, I could do it. Unfortunately, my dream of becoming a teacher did not have the support of my mother, “So the teacher salary is not enough for you to live!” She sneered. But she also did not sue me what I should be in the future, all probably because my mother was not able to pay me university tuition fee.

SMA Negeri 1 Balai Riam only had 4 classrooms with the number of students ranges from 128 people. The number of teaching staff at that time there were only 6 persons, among them: Mr. Jahrani, Mrs. Yani, Mr. Yani, Mrs. Wulan, Mrs. Yuli, and I. Each teacher must hold at least 2 subjects. In between us just Mr. Jahrani was the only teacher who was civil servant. But over time every year SMA 1 Balai Riam (well-known as SMANBA) received additional new building plus a new teacher who was placed in charge at our school after a civil servant appointed by the local government. One day, because of a problem, Mrs. Yani resigned. While there was no one who could replace her. So, because my brain was still fresh and lessons in high school was still stuck in my head, I was sorry for my students to miss class, then I ventured to replace Mrs. Yani temporarily until sometime in the future there would be more appropriate for the teaching field. So finally I taught to 9 subjects in SMANBA: English, Bahasa Indonesia, Japanese Language, Economics, Sociology, Anthropology, Econometrics, Finance and State Administration. Wow! Fortunately it only lasted one semester, because new teachers began to emerge in the next semester.

My life was getting excited as I taught in SMANBA. Perhaps the reader think, I like to teach in high school because in high school many teenagers are soothing eye? Sorry, I never thought there. That sometimes I was a little paranoid if I met students who were local people of Borneo island (Dayak tribe). Even when I entered the Balai Riam region where the majority of the population was ethnic Dayak! I often recalled events Tragedy Sambas and Sampit when met Dayaks. Although I’m not the Madurese, I sometimes feel insecure when I met Dayak inland. Somehow I often feared itself when I thought of two devastating tragedies in Borneo’s land. But there was one event that my fear was dispelled. One day when I was walking alone in the village of Dayaks, I met an old woman who also was walking toward in the opposite direction to me. She was barefoot, in her head tied a basket (buya) made of woven rattan. Her ears were very long and filled with large earrings. Somewhat afraid I greeted the old woman, “Where are you going to, Grandma?” Then the old woman replied in the Dayak language I did not understand at all. I told her that I did not fully understand the Dayak language. Then the old woman suddenly smiled and said, “I’m going home, let’s visit my house! My house is across the river!” See hospitality in the face of the old woman, my fear of the Dayak vanished. To what we fear to others if we do not feel guilty. Never judge others from their appearance, but look at their hearts!

image

Faced with high school students in SMANBA was a surprise to me. I experienced culture shock was so great, but fits the saying goes “Other another desert locust! Other other bottom fish too!” So I should be able to adapt to local custom. If used during school in Bogor, all students would be subject to and shook their teacher hand politely as they passed in the street. So in different SMANBA no student wanted to shake the hands of the teacher as old as any teacher. Here, the teacher was seen as a friend, not a surrogate parent in the home. Many fellow teachers who courted his own. So no wonder that saw students being disrespectful to the teacher. Once, when I was teaching, one of my students (Dayaks) did not listen to the subject matter that was being explained. He even fun lying on the floor. Spontaneous I was admonished allow him to leave the class, because snoring very distract other students. What did I receive? He was even reluctant to move from where he threatened me, “What’s your right not let me sleep in class? You’re just newcomer, I’m inlander here! Shall I bring mandau for you?” Mandau is a traditional weapon Dayak. At first I was afraid of the threat that my student, frankly scared me not because he was indigenous, but because of the age of my student was a little older than me, funny right? I was afraid he meant by his words. But thankfully, my other students and also fellow Dayaks defended me, “You must learn manners, customs from your village do not be carried around here! That’s what the school for!” They shouted. The bad guy was immediately left the classroom after being reprimanded his friends.

One other thing that is different from SMANBA compared to other schools are myriad accomplishments achieved by way of a lot of practice! Mr. Arif really loves art, especially the art of music and dance. His movements are very graceful when bringing Dayak dances. The funny thing is he had a rule aimed at teachers like this: “If there is a race preparation activities extracurricullar or whatever it is, please sought not to interfere with teaching and learning activities in the classroom! Perform such activities outside school hours!” Then no one else in between our teachers who dared to violate the rules. But you know, what happens if Mr. Arif want SMANBA engage in contests dancing? Three consecutive months of intense dance training carried out regardless of whether the clock is still school hours or not! Dung crunch teng teng nong drum music sound was audible noise to a radius of 2 km. If you have this, the entire school was not able to concentrate on the lesson. Who has violated the rules?

Although I taught in high school did not mean I stopped teaching English in primary school! I still taught at the primary school only one full day! So 5 days I focused in high school. During the first few years I taught in SMANBA, I used to walk back and forth. Though the distance from the village of Balai Riam-Bangun Jaya to approximately 10 km! So every day I traveled 20 km. Still no luck so Oemar Bakri left teaching to ride a bicycle! Yes, this is the life! Life is a chain of struggle that there is never a break!

It seems that in the second year I lived in Borneo (2005) I started to feel like living in Borneo. Mainly because of its natural, cultural, and interesting things that I like is to see a village that slowly began to evolve. Over time I see a lot of changes that have occurred in this remote area. Masts mobile phone towers have been glued, the communication more smoothly. Mobile phone counters increasingly popping up. The streets are paved, access to the city, the better. Houses more feasible, they changed the former board house transmigration into concrete houses like a magnificent palace. Many residents live well, luxury cars, nice bike, plus yield lucrative oil every month. No need to work as an employee, simply waving legs at home! However, unlike me who do not have a palm oil plantation, I can only be a spectator! So I can not wait for the harvest demoted foot arrived! My role is simply advancing education in the realm of the interior of this growing! Although it is now (2015) after 11 years I became a resident of Borneo and my income started to increase as a positive impact on the residents income increased oil yield, I still want to be able to realize my dream of studying in cherry country, Japan! However Kalimantan soil is a bright prospect for my future, but the future will not be in balance if not balanced with science! I can only continue to live with the remnants of which still had the spirit of struggle. Someday maybe I can make it happen, hopefully!

My First Year In Kalimantan

image

Dear readers,
In my post this time, I would like to continue my story about the joys and grief for teaching in remote areas of Borneo. Yes, I know you prefer to call it as ‘hinterland’,  right? Whatever!  Actually it is located on the island of Borneo. Precisely at the border line of Central Kalimantan and West Kalimantan Province. It took a day and night to get to Palangka Raya (capital of Central Kalimantan) and the same time to Pontianak (West Kalimantan’s capital) from my place where I used to live during eleven years till now. The village where I live called Bangun Jaya village, while the name of the locality is Balai Riam Subdistrict. The regency name is ‘Sukamara’, without ‘H’ at the end of the word. Because it could be ‘SUKAMARAH’ (easy to be angry)!  LOL  😛

Surely you do remember where I came from? Yup true, from my mother’s belly was! Hehe… Ups, I mean I came from Bogor, the rain city southern Jakarta! After reading a letter from my cousin who lived in Borneo, no longer after that I graduated from high school and I was failed to obtain a college scholarship to Japan, I was desperate then I decided to move from Bogor to Borneo. Many people say that if we want our lives to grow then we need to do to move. So, it looks like my decision was not wrong, Yippee … Life moved!  😀

In short, when I arrived in Borneo  I saw my cousin’s report that there was no English subject. So I tried to meet the headmaster. I didn’t bring any certificates to apply for job at that time. I just said that I intended to advance the villagers to teach English. Warmly he accepted me to work as a teacher of English. Lucky me!  🙂

July 2004
It was my first time for being a teacher. I taught at SDN Bangun Jaya (Bangun Jaya Primary School). The school building was made of bulin (ironwood) with shingle roof. Bulin  known as ironwood, but the condition of the school where I worked was very alarming. There was no infrastructure that support for teaching and learning activities. Anyway pathetic me, going to the toilet there’s no water. Must wait for students who had a first fault to be punished draw water from the well.

Because all children in the primary school never learned English before, I obligated to teach them from zero, began from alphabet. I often called them to come forward to the front of the class to read directly, and they seemed shy to try. Sometimes they laughed when I was  explaining a material or slightly made a joke with them. “Hey kid, why your hairs are like popcorn? Mama selling popcorn then?” My jokes to a frizzy-haired child, with the sound of Batak accent. And suddenly the whole class laughed. The child that I joked with, laughed.The students were never sleepy when I was teaching because they always laughed for my jokes.

Besides working as a teacher at school, I began to open a business tutoring at my aunt’s house. I lived with my aunt. Many students were interested in taking courses with me. Not only for English lessons but also mathematics. Since the first open, the number of students in my course had reached 40 students. Until there was a junior high school student who took a course with me. She often followed me everywhere I went because she had a crush on me. Hihi… ♡♡♡

The funny thing was most of my students outside the school called me ‘Abang’ (elder brother) because of my age’s still young, that time I was 18 years old. But in contrast their parents called me ‘Sir’ or ‘Mr. Sugih’. Feel so old! “Mr. Sugih, Mr. Sugih, where are you going to? Here stopping first! Would you like corn on the cob?” called their parents when I crossed walk in front of their house. That lives in the village, the nature of the hospitality of the villagers still noticeable.

I was grateful to the school where I taught had built a new building. We would have three additional classes so that later no longer shift the morning and afternoon shifts between junior and senior grades. Our school would be in the form of letter L stage. The new building was also made of ironwood boards but the roof made of multiroof.

You know if I was happy living in remote Borneo? Yes, I was happy not to be an unemployed! I was happy even though I just graduated from high school, I had my own business capitalize the brain and intelligence had. At least I could show the rest of my family that I could stand on my feet especially to my mother. I’m not the kind of child who likes to whine and requires parents to comply with any desire. But I was sad. I often thought of my old school comrades, before our separation they told me that they would continue to renowned universities both within and outside the country. While I? I found it to be a prince dreamer who were stranded on the island of Borneo for failing to realize his dreams.

I could not find the windows of science at the local library as often as I did when I was in Bogor. If I wanted to watch TV, I had to turn on the generator. Since there was no electricity in the village where I lived at that time. If I wanted to buy fresh fruits, I could not go shopping to the market, because unfortunately there was no market. In addition, neither public transport like in the city. Living in a remote area of ​​Borneo made me feel constrained as in prison, all completely within the limitations. But I kept trying to convince me. I had to live to help my students. They were budding nation in this country. They needed me to look at the window wider world. Sad indeed, but my heart was much more sad when seeing our school buildings were burned because of lightning. None of the items that we could save in the building. Chairs and tables were all engulfed in the flames. Just lived the new building which became the basis of our hope only to still be able to continue teaching and learning activities. Surely shift between junior and senior classes would continue as usual. I vividly recall the fire that occurred one week before the General Deuteronomy Odd Semester, just two weeks before the tsunami in Aceh occurred. In the fire that burnt our school, I heard a whisper that say to me if I must live for them. For my students!

Tahun Ketigaku di Kalimantan : Bule Nyasar Penakluk Dunia!

image

Peristiwa ini sudah sangat lama terjadi, akupun nyaris tidak ingat kapan tepatnya. Akan tetapi aku sengaja menulisnya kembali di sini sekadar untuk nostalgia meskipun tanpa foto sama sekali karena pada waktu itu di tempat tinggalku belum marak ponsel berkamera apalagi kamera digital. Maklum namanya juga tinggal di daerah pedalaman kan, semua serba dalam keterbatasan. Hehe…  😉

Kejadian ini berlangsung kira-kira pada kuartal pertama tahun 2006, semester kedua aku mengajar di SMA Negeri 1 Balai Riam, atau lebih tepatnya memasuki tahun ketiga aku tinggal di Kalimantan. Masih kuingat dengan jelas kala itu adalah hari Jumat di mana kegiatan di sekolah tempatku mengajar ini sangat leluasa. Biasanya kegiatan di sekolah pada hari Jumat hanya sebatas senam jantung sehat, kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah, dan satu mata pelajaran tertentu di setiap kelas. Singkat cerita ketika aku sedang mengisi jam terakhir di salah satu kelas, salah seorang murid senior dari kelas XII yang bernama Mispansyah, mengetuk pintu ruangan di mana aku sedang mengajar.

“Permisi Pak, Bapak diminta warga untuk ke Balai sekarang juga! Kami kedatangan dua orang bule dan kami enggak ngerti sama sekali mereka mau apa,” tutur Mispansyah seraya ngos-ngosan seperti habis dikejar hantu.

Karena kebetulan saat itu adalah jam bubar sekolah, aku langsung berkemas dan berpamitan kepada murid-muridku. Sebelum aku naik ke atas boncengan motor Mispansyah, beberapa orang guru, para rekan kerjaku sempat mengutarakan hal yang sama seperti apa yang disampaikan oleh Mispansyah. “Cepat Pak, kedatangan Bapak sudah ditunggu di Balai Riam!” tandas Pak Jahrani guru senior kami.

Mispansyah langsung melaju menuju rumah Pak Siong, salah seorang warga yang rumahnya menjadi tempat penampungan para bule tersebut. Ternyata mereka adalah pasangan suami-istri yang bernama Sergey dan Michelle. Mereka berasal dari Rusia dan sedang melakukan hitch-hiking. Awalnya aku tidak mengerti apa itu hitch-hiking. Tetapi dengan ramah mereka menjelaskan kepadaku bahwa mereka sedang melakukan perjalanan keliling dunia hanya dengan cara berjalan kaki dan menumpang kendaraan di setiap jalur yang mereka tempuh. Wow, kedengarannya menarik ya? Itu artinya mereka keliling dunia gratis. Lantas Sergey bercerita kalau mereka sudah menjelajah 2/3 belahan dunia. Mereka pernah kehabisan air minum di gurun Kalahari Afrika, dan kehabisan bekal makanan di gurun Gobi China, juga sempat menjadi tawanan penduduk di pedalaman Thailand. Sampai akhirnya tibalah mereka di Indonesia. Mereka bahkan sempat menjadi sorotan penduduk Pulau Batam sampai masuk koran. Dan Sergey memperlihatkan kepadaku potongan artikel koran tersebut yang memuat berita tentang mereka selama di Batam. Andai mereka paham Bahasa Indonesia, mereka mungkin malu atau marah. Karena isi artikel tersebut adalah penduduk Batam sempat menilai mereka sebagai gembel yang jalan-jalan tanpa membawa duit tapi menginginkan keliling dunia gratis. Aduh, cucian… (U_U)

Perjalanan pun berlanjut ke Kalimantan setelah mereka berhasil menjelajahi Pulau Jawa. Setelah menempuh rute Pangkalan Bun-Kudangan dengan menumpangi sebuah truk, mereka bermaksud melanjutkan perjalanan menuju Pontianak untuk memperpanjang masa berlaku visa. Sialnya seharusnya mereka bisa terus lanjut ke Pontianak via Kudangan, akan tetapi karena miskomunikasi antara mereka dengan supir truk yang sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, pasangan Sergey dan Michelle terbawa supir truk ke Balai Riam, kecamatan di mana aku tinggal. Lalu berjodohlah aku dengan mereka. Hehe…  😀

Aku sangat kagum kepada Sergey dan Michelle, di usia yang masih terbilang muda mereka sudah berhasil menjelajahi 2/3 belahan dunia antara lain : Eropa, Afrika, Australia, dan Asia. Tujuan terakhir mereka tentu adalah benua Amerika dan barangkali termasuk Antartika. Kunjungan mereka di Balai Riam akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Karena mereka sengaja ingin beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Sebagai tuan rumah yang baik, aku sengaja mengajak mereka berkeliling melihat-lihat keadaan di Balai Riam. Pertama aku mengajak mereka melihat pemukiman penduduk di kampung seberang (kampung lama). Sergey dan Michelle terkagum-kagum melihat rumah adat daerah kami yang terbuat dari kayu ulin dan sangat awet puluhan hingga ratusan tahun. Masyarakat begitu antusias menyambut kedatangan mereka. “Pak, tolong bilang sama mereka nanti malam kita adakan pesta buat mereka. Kita bikin babi panggang!” ujar salah seorang warga di kampung seberang. Ketika kusampaikan kepada Sergey dan Michelle perihal tersebut, mereka amat gembira seakan sudah lama tidak menikmati hidangan lezat, terlebih saat aku menyebutkan hidangan spesialnya adalah ‘pork barbeque’. Air liur mereka nyaris menetes setelah mendengarnya. Hadeuh, dasar bule…

Saat tiba di rumah ketua adat, kami disambut dengan upacara dan pesta minum arak. Tanganku dan tangan pasangan bule itu masing-masing diikat oleh seutas tali yang terbuat dari ilalang dan dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat seperti gelang yang amat cantik. Ini menandakan bahwa kami telah terikat menjadi bagian dari Suku Dayak khususnya daerah Balai Riam. Kami telah menjadi bagian dari keluarga di tanah permata kecubung ini. Kami tidak boleh memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangan kami secara sengaja. Sebab tali tersebut akan putus dengan sendirinya tepat pada hari ketiga, keempat, atau kelima. Dan ajaib, ternyata benar! Tali yang mengikat pergelangan tanganku terputus begitu saja pada hari ketiga. Padahal tanganku tidak mengalami gesekan dengan benda apapun. Pesta yang diselenggarakan di rumah ketua adat berlangsung meriah. Sergey dan Michelle menari-nari mengikuti gerakan para penari Dayak yang membentuk lingkaran. Sambil menari kami diharuskan minum arak dan tuak secara bergantian. Berhubung aku muslim, maka aku hanya cukup mendekatkan gelas ke bibir tanpa meminumnya setetes pun. Fiuh, lega rasanya…  (

Sore harinya aku kembali mengajak mereka berdua berkeliling sambil jogging melihat-lihat hutan dan mencari singkong untuk kami goreng. Tidak sangka ternyata Michelle sangat gemar sekali goreng singkong. Baginya singkong adalah makanan terlezat yang pernah dinikmatinya. Wah, untunglah pelayan Pak Siong tidak keberatan untuk menggorengkannya untuk Michelle. Anak-anak terus mengikuti kami sepanjang perjalanan yang kami tempuh, mereka bahkan rela membantu Michelle mencarikan singkong yang tumbuh di hutan.

Pada malam harinya, usai selepas menunaikan shalat maghrib, aku meminta Pak Arif, kepala sekolah pimpinanku, untuk mengantar kami menemui pak camat di rumahnya. Kedatangan kami disambut dengan hangat oleh pak camat. Beliau banyak menjelaskan mengenai komposisi penduduk di kecamatan Balai Riam, serta jumlah penduduk di setiap desa. Tak pernah kusangka, kami bisa mengobrol akrab bersama hingga tertawa lepas. Sergey dan Michelle merasa sangat terkesan dengan pelayanan kami terhadap mereka. Sepulang dari rumah pak camat, aku diminta khusus oleh keluarga Pak Siong untuk bermalam di rumah mereka. Khawatir bila terjadi apa-apa terhadap mereka atau mereka memerlukan sesuatu sementara Pak Siong tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Maka sepanjang malam itu aku bersama Sergey dan Michelle menghabiskan waktu bertukar cerita bersama.

Sergey mengajarkanku aksara Cyrillic yang merupakan abjad Rusia. Menurutku bahasa Rusia sangat sulit tetapi sangat menarik. Berkali-kali Sergey melatihku cara membaca setiap abjad Rusia yang ditulisnya di secarik kertas. Aku sangat kesulitan melafalkannya, tapi Sergey orang yang sabar dan humoris. Ada petikan percakapan yang masih membekas dalam ingatanku.

Aku Yang Penasaran (AYP) : “Sergey, bisa tolong ceritakan kehidupan di negaramu selama masa kejayaan Uni Sovyet?”

Sergey (S) : “Apa yang ingin kamu ketahui mengenai Uni Sovyet?”

AYP : “Terus terang bila mendengar nama Uni Sovyet, banyak orang Indonesia yang ketakutan.”

S : “Apa yang ditakutkan?”

AYP : “Uni Sovyet kan negara komunis. Dulu negara kami juga pernah nyaris menjadi negara komunis.”

S : “Lalu?”

(Duh ini si Sergey kok malah balik nanya terus ya?)

AYP : “Partai komunis di negara kami pernah melakukan insiden besar. Sejumlah pemimpin tentara kami ditangkap dan dibunuh. Tempat-tempat ibadah seperti mesjid dan surau dibakar. Tentu saja kami takut terhadap komunis dan melarang keras keberadaan partai komunis di negara kami.”

S : “Di negara kami itu sudah menjadi hal biasa.”

AYP : “Apakah hal tersebut tidak meresahkan masyarakat di negaramu?”

S : “Mengapa harus resah? Biarkan semuanya mengalir begitu saja dan masyarakat pun perlahan-lahan akan menikmatinya!”

AYP : “Kudengar sistem perekonomian di negaramu menganut sistem perekonomian terpusat. Bisa tolong jelaskan seperti apa perekonomian di sana?”

S : “Yup, itu benar! Jadi selama masa pemerintahan sosialis, hampir semua warga tidak memiliki izin usaha. Karena seluruh kegiatan masyarakat dikendalikan oleh negara. Kegiatan pertanian, peternakan, perindustrian, perikanan, perkebunan, dan lain sebagainya dikelola oleh negara. Sehingga dengan demikian kesejahteraan masyarakat merata. Di sana tidak ada siapa orang yang paling kaya ataupun paling miskin seperti di sini!”

AYP : “Oh, jadi begitu ya. Lalu bagaimana dengan kegiatan peribadatan? Apakah dikendalikan oleh pemerintah juga?”

S : “Tentu saja. Bila tidak begitu, masyarakat di negara kami tidak akan teratur. Intinya semua kegiatan masyarakat dikendalikan oleh negara. Kau tahu, termasuk kami yang pasangan suami istri ini juga bila sedang ingin bercinta harus menunggu mandat dari negara!”

(Sergey melirik Michelle dengan tatapan penuh canda)

Michelle terkikik mendengar penuturan suaminya,”Untuk kalimat terakhir yang diucapkannya tolong jangan dipercaya!” ujar Michelle seraya melempar pandangan ke arahku.

AYP : “Wew!”

Sergey amat tertarik mendengarkan mitos-mitos suku Dayak pedalaman yang kuceritakan kepadanya, seperti kuyang, kayau (head hunter), tuju, dan lain sebagainya. Sementara Michelle lebih tertarik mendengarkan cerita tragedi Sambas dan Sampit yang memiliki kesamaan latar belakang kronologi. Keduanya meminta kepadaku agar aku berkenan menuliskan semuanya dan mengirimkan ke alamat email mereka untuk mereka publikasikan ke dalam bentuk buku yang diterbitkan di negaranya. Ternyata pekerjaan sampingan mereka adalah jurnalis. Sedikit curhat juga kepadaku alasan mereka melakukan hitch-hiking, karena latar belakang persoalan mereka. Usut punya usut rupanya mereka adalah pasangan suami-istri yang melakukan kawin lari karena tidak direstui oleh kedua orang tua mereka. OMG, hari gini masih ada ‘run-away marriage’. Pak Deny… tolong dong! (meniru gaya Jarwo Kwat Indonesian Lawak Klub).

Pada hari terakhir pertemuan kami, atas seizin Pak Arif pada malam sebelumnya aku sengaja mengajak Sergey dan Michelle berkunjung ke SMA Negeri 1 Balai Riam tempatku bekerja. Aku sengaja meminta mereka untuk menjadi native speaker pada jam pelajaran Bahasa Inggris. Hmm, ternyata biar kata mereka adalah bule, belum tentu jaminan kalau bahasa Inggris mereka bagus lho! Buktinya melafalkan kata ‘banana’ saja yang seharusnya dilafalkan ‘benane’ malah dilafalkan sama seperti orang Indonesia kebanyakan yang awam Bahasa Inggris. Tapi sesi pertemuan ini sangat berkesan bagi murid-muridku. Yah, walaupun mereka hanya bisa menegur ‘how are you?’, ‘good morning’, dan ‘what is your name?’ akan tetapi kami semua sangat menikmati kebersamaan yang hanya sesaat ini. Sergey bahkan sempat berbagi ilmu kepada kami bagaimana caranya dia dan Michelle mendapatkan air minum di tengah padang pasir yang luas di saat perbekalan air minum mereka habis sementara tidak ada oase di sekitar mereka. Cara yang amat menarik dan kami pun mempraktikkannya, hasilnya luar biasa. Sinar matahari yang menyengat sangat membantu percobaan kami. Cara ini kami sebut sebagai ‘air kondensasi matahari’.

Menjelang detik-detik terakhir kebersamaan kami, aku dan murid-muridku mengajak mereka berdua untuk bermain kasti di lapangan sekolah. Sergey bilang permainan kasti Indonesia sangat mirip dengan permainan cricket.  Sebelum mereka benar-benar pergi aku sangat penasaran dengan tas ransel yang dibawa oleh mereka. Menurut penjelasan Sergey isi tas ransel mereka antara lain : tenda, pasak besi, kompor, panci, wajan, pakaian, senter, peta, sepatu dan lain-lain. Aku sempat diperbolehkan oleh mereka untuk mengangkat tas ransel milik mereka yang begitu besar, dan di luar ekspektasiku tas mereka itu amat sangat buerat buanget… Sampai-sampai aku jatuh terjengkang menggendongnya. Bagaimana tidak, berat badanku saja hanya 50 kg sementara tas Sergey 60 kg, ibarat kuda menggendong badak kan…

Sebagai kenang-kenangan dariku agar mereka selalu mengenang Indonesia, aku sengaja memberi Sergey sebuah baju batik khas Jawa. Untunglah ukuran baju kami sama. Dan salah seorang muridku memberi sebuah bingkisan kepada Michelle yang entah apa isinya, aku sendiri pun tidak tahu. Moga-moga saja bukan bom atau batu. Hehe…  😀

Selang beberapa saat menunggu mobil yang lewat, melintaslah sebuah Estrada silver di hadapan kami dan aku menyetopnya. Untunglah aku mengenal pengemudi kendaraan tersebut. Beliau adalah Pak Darmadi yang sedang dalam perjalanan pulang ke HHK Timur, Kalbar. Kepada beliau aku sedikit menceritakan perihal Sergey dan Michelle, aku menitipkan pasangan suami-istri tersebut kepada beliau sampai di HHK Timur dan mempertemukannya dengan Mrs. Ani, salah seorang kenalanku yang juga berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di HHK Timur. Tak lupa aku menitipkan sepucuk surat untuk Mrs. Ani agar Mrs. Ani berkenan menunjukkan kepada Sergey dan Michelle jalan menuju Pontianak, sehingga mereka tidak tersesat lagi atau dibawa salah jalan oleh supir truk yang sama sekali tidak mengerti Bahasa Inggris seperti yang baru saja dialami mereka kemarin.

Satu minggu setelah kepergian mereka…
“Pak, Dina baru saja balik kampung dari Tumbangtiti, Kalbar. Eh, di sana Dina ketemu lagi sama bule yang dari Rusia itu lho Pak. Terus Dina minta tolong sama saudara Dina di sana supaya mengantar mereka ke Pontianak, Alhamdulillah sekarang mereka sudah nyampe!” tutur seorang muridku yang bernama Dina.

Ah, syukurlah. Semoga mereka senantiasa diberi keselamatan, dan kesehatan oleh tuhan selama menempuh perjalanan guna mewujudkan impian mereka. Cita-cita bukan untuk sekadar menjadi mimpi belaka. Melainkan harus menjadi rantai perjuangan yang tidak pernah ada putusnya. Karena hidup bukan sekadar untuk bermimpi!