Lomba Peneliti Belia Kalimantan Tengah Berbasis Muatan Lokal 2016

Setahun lamanya saya tidak menulis di sini. Rasa malas yang begitu besar mengalahkan niat saya untuk konsisten menulis. Pekerjaan di kantor dan di rumah yang tak pernah ada habisnya membuat saya lelah sehingga saya malas untuk menulis. Belum lagi tugas kuliah yang terus bertambah dari minggu ke minggu semakin membuat saya enggan untuk mengetik. Saya sangat capek berkutat di depan laptop terlalu lama. Ah ya, pembaca mungkin kaget mengetahui saya kuliah lagi. Belum puas rasanya dengan sederet gelar yang saya miliki. Tugas dan inisiasi yang diberikan para tutor setiap minggu membuat saya stress tingkat dewa. Bagaimana tidak, dalam satu minggu saja terdapat lebih dari 20 latihan dan inisiasi diberikan. Oh, tidaaaak… Ada Baygon di situ? Tetapi ini sudah menjadi keputusan saya. Suruh siapa bercita-cita jadi profesor?
Tapi justru karena tugas dari para tutor inilah yang menyebabkan saya pada akhirnya kembali lagi ke sini. Hallo kring… kring… olala, apa kabar dunia? Teuteup asyeek! Tugas seabreg yang diberikan oleh para tutor membuat saya harus rajin online di dunia maya. Bukan untuk membuka Fakebook dan Nitrogram, atau mencari daftar tahanan yang kabur dari LP Cipinang. Melainkan buka-buka blog orang, pemirsa! Sst… jangan bilang-bilang siapa-siapa yah kalo saya suka nyontek! Hihihi…
Nah, gara-gara sering membuka blog orang demi mencari secuil jawaban, mengapa tidak membuka blog sendiri saja? Bukankah lebih baik kita yang menjadi narasumber bagi setiap tukang nyontek musafir yang berkelana di dunia maya? Sejumlah ide untuk dituangkan ke dalam tulisan pun kembali merangsek di dalam pikiran saya. Sebenarnya sudah lama juga sih menjadi draft di kepala. Baru sekarang bisa direalisasikan. Tulisan saya kali ini akan bercerita tentang pengalaman saya mendampingi para siswa saya yang mengikuti Lomba Peneliti Belia Provinsi Kalteng 2016. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 1-4 September 2016 silam. Belum basi untuk dibicarakan, bukan? Jujur saja, ini merupakan kali pertama sekolah kami mengikuti kegiatan LPB (Lomba Peneliti Belia). Tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami tidak pernah mendapat tawaran dari dinas pendidikan kabupaten. Maklumlah, sekolah kami bukan berada di kota. Mungkin karena kebetulan tahun ini prestasi sekolah kami sangat baik dalam kontes debat bahasa Inggris di tingkat kabupaten, barulah dinas pendidikan memberi kepercayaan kepada kami untuk mengikuti kegiatan LPB di Palangka Raya. Mungkin pembaca tidak mengerti, apa korelasi prestasi debat bahasa Inggris dengan lomba ini? Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali. Namun perlu pembaca ketahui, Lomba Peneliti Belia umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mengunggah…
Sekilas mengenai Lomba Peneliti Belia, merupakan suatu kegiatan lomba penelitian yang dilakukan oleh para pelajar SMP dan SMA yang berusia maksimal 20 tahun. Karena subjeknya masih berstatus sebagai pelajar muda, maka tak heran bila lomba penelitian ini disebut Lomba Peneliti Belia. Kegiatan ini diselenggarakan setiap tahun oleh lembaga CYS (Center for Young Scientist) dan bekerja sama dengan dinas pendidikan provinsi. Hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia yang ditunjuk oleh CYS untuk melaksanakan kegiatan ini. Saya beruntung karena provinsi Kalimantan Tengah termasuk salah satu di antara sepuluh provinsi itu. Oh ya, lomba ini tidak putus sampai di tingkat provinsi saja. Tapi juga terus berlanjut hingga tingkat internasional. Saya begitu kaget ketika mengetahui bahwa perwakilan dari provinsi saya dua tahun silam berhasil menjadi juara umum di tingkat internasional. Sekali lagi, INTERNASIONAL pemirsa! (Beri tepuk tangan untuk putra daerah Kalimantan Tengah).Tidak memiliki bekal maupun pengalaman, saya mengajak 4 orang siswa yang dibagi ke dalam 2 kelompok dan saling berpasangan, untuk melakukan penelitian sederhana. Penelitian kami berhubungan dengan ekologi. Kelompok pertama meneliti suatu media yang dapat memadamkan api secara efektif, mengingat daerah saya rawan sekali terjadi kebakaran hutan. Akhirnya setelah melakukan percobaan dan berobservasi langsung di hutan belakang sekolah, kelompok pertama ini berhasil menciptakan larutan yang dapat memadamkan api hingga ke titik api di dalam tanah. Pembaca bingung kan? Sama, saya juga bingung. Bahannya sangat sederhana dan mudah diperoleh. Mudah pula pembuatannya. Tinggal campurkan saja bahan-bahan berikut ini: air jeruk lemon, larutan NaCl (bisa air garam, atau cairan infus), soda kue, dan cuka. Kemudian semprotkan larutan yang sudah dibuat ke arah titik api di lokasi kebakaran. Hasilnya, api langsung padam begitu cepat karena kinerja larutan yang efektif mencapai titik api di dalam tanah. Bahkan tidak ada asap yang tersisa. Karena bila masih terdapat asap yang tersisa dapat memicu kembali terjadinya kebakaran. Sederhana sekali, bukan?Kelompok kedua melakukan penelitian pupuk three in one terhadap berbagai jenis tanaman. Pupuk ini merupakan campuran antara kotoran hewan, limbah kelapa sawit, dan janjangan kelapa sawit yang sudah dipreteli buahnya. Campuran ketiga jenis pupuk ini diujikan terhadap beberapa jenis tanaman baik tanaman perkebunan maupun tanaman pertanian. Tanaman perkebunan yang kami uji khusus tanaman kelapa sawit. Pupuk yang kami buat bereaksi mengembalikan kesuburan tanah, dan meminimalisir tingkat penyerapan air yang berlebihan yang dilakukan oleh tanaman kelapa sawit. Seperti yang kita ketahui tanaman kelapa sawit sangat rakus akan air, sehingga tanaman lain di sekitarnya bisa mengalami dehidrasi tingkat dewa (kaya orang aja ya). Sedangkan tanaman pertanian yang kami uji adalah tanaman cabai. Luar biasa dalam hitungan hari saja tanaman cabai yang kami uji tumbuh pesat dibandingkan dengan tanaman cabai seumurnya yang tidak diberi pupuk. Dalam waktu dua minggu tanaman cabai yang diberi pupuk berbuah sangat lebat. Sedangkan yang tidak diberi pupuk tak kunjung berbuah sama sekali. Tak ketinggalan kami pun melakukan uji coba pupuk three in one buatan kami terhadap tanaman enceng gondok yang biasa tumbuh di rawa-rawa atau tanah gambut. Awalnya tanaman eceng gondok kami pindahkan ke dalam sebuah polybag berisi tanah tandus. Kemudian setelah kami beri pupuk three in one, ajaib tanaman tersebut mampu hidup hingga saat ini, pemirsa! Sedangkan tanaman eceng gondok lain yang juga dipindahkan ke dalam polybag berisi tanah kering tanpa diberi pupuk buatan kami, namun kami sirami sehari tiga kali. Hasilnya? (Mengutip perkataan Teteh Syahrini) Alhamdulillah ya, tanaman tersebut mati keesokan hari. Cerita mengenai 2 penelitian para siswa saya akan saya tulis pada postingan berikutnya.

Tibalah saatnya lomba. Kegiatan LPB Kalteng tahun ini diselenggarakan di Hotel Royal Global Palangka Raya, Jalan Tjilik Riwut KM2,5. Oh ya hotel ini cukup unik, karena saat saya menaiki lift menuju lantai 6 saya tidak menemukan adanya lantai 4. Pun begitu saat turun-naik tangga. Begitu lantai 3 dilewati langsung bablas lantai 5. Di manakah lantai 4 berada? Banyak tamu yang menduga kalau lantai 4 berada di dunia maya. Maksudnya? Kembali ke perlombaan, setelah acara dibuka secara resmi oleh perwakilan dinas pendidikan provinsi, para peserta yang mencapai 91 orang diminta untuk memajang poster penelitian dan menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan dewan juri terkait penelitian yang mereka buat. Saya sangat kagum dan bangga kepada para pelajar SMP dan SMA yang mengikuti kegiatan ini. Murid-murid saya sangat minder setelah melihat poster penelitian para peserta lain. Terlebih mereka sangat grogi melihat peserta lain sangat mantap dan meyakinkan saat menjawab pertanyaan dewan juri dalam bahasa Inggris yang amat fasih. Hanya 20 peserta yang layak masuk ke babak final. Di mana para finalis harus tampil mempresentasikan makalah yang telah mereka buat mengenai penelitian mereka di hadapan dewan juri yang super kritis (dosen berbagai universitas ternama tanah air) dan para peserta lainnya. Presentasi ditampilkan menggunakan layar LCD dengan format power point dan menggunakan bahasa Inggris. Wow cool.

Berselfie ria di depan poster penelitian kami.
Saya tidak mengira penelitian para peserta umumnya penelitian sederhana namun sangat bermanfaat bagi manusia. Beberapa penelitian yang saya ingat di antaranya ramuan kalapapa sebagai obat tonsillitis (keluar menjadi juara pertama untuk bidang ekologi), saripati tanaman cemot sebagai hand sanitizer (juara favorit pilihan juri), penerapan rumus matematika ke dalam motif batik khas Kalimantan Tengah, pembuatan aplikasi kamus 3 bahasa: Dayak-Indonesia-Inggris, penemuan lintasan bunglon (suatu alat yang dapat membuktikan bahwa energy tidak dapat diciptakan dan energy tidak dapat dimusnahkan), dan pembuatan biopolybag dari pelepah kelapa sawit, serta masih banyak penelitian lainnya yang sangat luar biasa hebatnya. Sepertinya saya tidak dapat bercerita lebih banyak lagi. Silakan amati saja galeri foto yang saya pajang di sini. Sebagai penutup, saya berharap dengan adanya kegiatan ini akan semakin banyak generasi muda Indonesia yang berhasil menciptakan suatu penemuan baru dan bermanfaat bagi masyarakat dunia. Maju terus generasi muda Indonesia!

Bersama para murid kebanggaan.

Presentasinya pakai Bahasa Inggris. Jurinya itu lho kalo nanya bilang ‘pertanyaannya simple’, tapi ko pesertanya pada kesusahan menjawabnya ya..

Ini para peneliti senior. Coba tebak, saya di mana?

Narsis bareng boleh kan?
Silakan klik LPB Kalteng 2016

Kepulanganku ke Kalimantan yang Menyedihkan

Allowh pembaca, kumaha daramang? (Bagaimana kabarnya?) Pasti pada sehat semua kan? Syukur deh kalau pada sehat, kalau lagi sakit cepet minum Baygon ya… 😀 Ups… Kembali lagi BJ (baca : Blog Jockey) Sugih akan berbagi cerita untuk kalian semua. Sorry nih sebelumnya kalau aku lama hilang dari blogku selama beberapa bulan terakhir ini. Maklum, berhubung aku sudah kembali ke Kalimantan aku terlalu serius bermeditasi di rimba raya pulau ayam betina ini. Wuahahaha… *lalat masuk mulut* Eh ngomong-ngomong soal Kalimantan, kalian sependapat nggak dengan pikiranku kalau pulau ini bentuknya mirip dengan ayam betina yang sedang bertelur? (Pembaca menyahut : “Hah, ayam betina?”) Iya, bener! AYAM BETINA YANG LAGI NELOR! (tuh, sudah diCAPLOCKS kan! Eh salah, maksudnya diCAPSLOCK!) Coba deh bayangkan Sabah (Malaysia) itu kepala ayamnya, terus Sarawak (Malaysia) sayapnya, dan wilayah Kalimantan (Indonesia) adalah badannya yang lagi duduk mendekam di atas sarangnya. Sementara Pulau Laut yang terletak di sebelah tenggara Provinsi Kalimantan Selatan diimajinasikan seperti sebutir telur yang menggelinding keluar dari bawah perut induknya. Nah, gimana? Nggak nyambung kan? Itu pasti karena khayalanku yang terlalu tinggi. Gkgkgk… *ketawa sambil keselek sepatu* 🐔🐤🐥🐣

Tuh, imajinasiku nggak salah kan?

image

image

Hmm, sebenarnya selama dua bulan terakhir ini pikiranku sedang rusuh:|:(. Sampai-sampai aku malas membuka lagi blogku yang tercinta ini. Padahal banyak sekali notifikasi yang masuk ke blogku ini. Ada pembaca yang minta foto plus tanda tangan-lah, ada yang pengen ketemuan-lah, yang mau pinjem duit juga ada ✋#PLAK *Ditampar pembaca penulisnya ngibul*. Selama dua bulan terakhir aku sering melamun, menangis sesenggukan, dan tertawa-tawa sendiri di dalam kamar. Pembaca pasti mengira aku gila kan? Kalau diperiksakan ke psikiater atau psikolog, mereka pasti akan memvonisku bahwa aku jauh lebih akut daripada gila! 😱 Jadi, aku ini kenapa? Apakah aku sudah menjadi teman seperguruannya Wiro Sableng? Wow, asyik dong! Berarti guruku adalah Sinto Gendeng yang nyentrik itu. Hoho… Salam hormat, Guru! 😀 😘🙏

Hallo Bro, what’s up Bro?^^

image

Pembaca masih ingat kan ceritaku pada postingan sebelumnya? (Pembaca menyahut : NGGAK!!!) Hadeuh, pembacanya habis kebentur tembok ya, jadi pada amnesia! Kepulanganku ke Kalimantan Tengah adalah memenuhi perintah mantan atasanku (sebut saja Mrs. Headmi-STRESS) bahwasanya namaku telah terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi di dinas pendidikan kabupaten. Mendengar sertifikasi, siapa sih yang tidak menginginkannya? Apalagi tunjangannya! Padahal saat menerima panggilan dari Mrs. Headmi-STRESS, aku sedang berada di Pulau Jawa guna mempersiapkan aplikasi beasiswa S2 ke luar negeri. Akhirnya aku terpaksa menunda pengajuan aplikasi beasiswa itu lagi. Lantas aku segera pulang untuk menyerahkan berkas sertifikasi ke kantor dinas pendidikan kabupaten. Waktu yang kumiliki hanya tersisa satu hari, deadline penyerahan berkas ke kantor dinas jatuh pada tanggal 16 Maret silam. Sebelum berangkat ke kantor dinas, pagi-pagi sekali aku datang ke sekolah tempat terakhirku bekerja untuk menjumpai Mrs. Headmi-STRESS dan meminta tanda tangan beliau. Namun sayangnya Mrs. Headmi-STRESS sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Mau tidak mau aku harus menghubungi pihak dinas pendidikan kabupaten agar berkenan memberikan kelonggaran waktu untukku. Dengan resiko aku harus membayarnya dengan menerima makian dari staf kantor dinas yang kuhubungi. Hiks nasib diomeli… T_T  😭 *Ijah pembantu tetangga sebelah rumah pun ikut menitikkan air mata* “Terima kasih ya, Ijah!” (Mata saya kepedesan ngiris bawang, Pak!–> sahut Ijah) #GUBRAK! 😥

Selagi aku mengunjungi sekolah, aku pun bertemu dan berkenalan dengan Bu Atun (bukan nama sebenarnya, karena beliau adalah tersangka kasus pembunuhan kecoa di rumahnya), guru baru yang menggantikan posisiku setelah aku hengkang dari sekolah. Setelah berbasa-basi sebentar, Bu Atun menanyakan berkas apa yang kubawa. Tanpa meminta izin terlebih dahulu beliau langsung melihat-lihat map yang kubawa. Beliau langsung memprotes mengapa aku memiliki berkas-berkas pengajuan sertifikasi sementara beliau tidak. Well, tentu saja aku punya karena aku sudah menghonor sangat lama : SEBELAS TAHUN sodara-sodara. Salahkah aku bila namaku terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi setelah pengabdian yang begitu lama? Sedangkan Bu Atun sendiri baru menghonor beberapa bulan di Kalimantan. Selebihnya beliau lebih lama menghonor di Pulau Jawa. So, mengapa beliau tidak mengikuti sertifikasi di Pulau Jawa saja. Pemirsa setuju? Lucunya Bu Atun menggugatku karena aku masih memiliki Surat Keperjakaan, eh salah, maksudku Surat Keputusan (SK) Kepala Sekolah yang menyatakan kalau aku masih aktif mengajar. SK tersebut memang dibuat oleh kepala sekolah atas inisiatif kepala sekolah (Mrs. Headmi-STRESS) sendiri. Saat meneleponku selagi aku masih di Jawa, Mrs. Headmi-STRESS memohon padaku agar bilamana aku lolos sertifikasi maka aku harus kembali aktif mengajar di sekolah. Tentu itu adalah sebuah komitmen, bukan?

Pada hari selanjutnya, Mrs. Headmi-STRESS berhasil kutemui setelah beberapa kali bolak-balik di teras rumahnya. Pembaca jangan meniru perilaku mantan pimpinanku ini ya, Mrs. Headmi-STRESS baru berangkat ke sekolah pukul 8 pagi, di mana pada pukul tersebut rekan-rekan kerjaku pun baru mengisi absen di kantor guru sambil ngopi dan sarapan pagi. Sedangkan para murid sudah masuk ke lingkungan sekolah sejak pukul 05.30 pagi. Hebat kan para murid di sekolahku itu? Mereka luar biasa disiplin.  Mereka belajar tidak dibimbing oleh para guru lho, melainkan oleh ketua kelasnya! Keren kan? *Ayo kumpulkan orang tua murid, kita demo sekolahnya!* GLEKH! 😅

Mrs. Headmi-STRESS bukannya mempersilakanku masuk ke dalam rumahnya malah menyuruhku untuk merapikan berkas di sekolah. Otomatis ini akan mengulur waktu keberangkatanku ke kantor dinas pendidikan kabupaten karena aku harus menantikan beliau selesai berdandan. Manakala staf pegawai dinas yang kuhubungi kemarin memintaku untuk datang selambat-lambatnya pukul 2 siang. Sedangkan lagi perjalananku dari sekolah menuju kantor dinas pendidikan memerlukan waktu sekitar 3 hari 3 malam (itupun kalau sanggup jalan kaki 😛 ). Yang membuatku kesal pada hari itu adalah Mrs. Headmi-STRESS malah sengaja mengulur-ulur waktu sehingga membuatku berangkat agak siang. Sempat kulihat olehku Bu Atun menemui Mrs. Headmi-STRESS di ruangannya. Tampaknya mereka terlibat percakapan yang sangat serius. But I don’t know what’s the topic about…  Apakah Mbah Google mengetahuinya?

Yeah, akhirnya seluruh berkasku telah ditandatangani dan dilegalisir oleh Mrs. Headmi-STRESS. Berhubung aku sudah tidak memiliki kendaraan pribadi, aku terpaksa berangkat ke kantor dinas dengan menumpangi speedboat. Pembaca tahu speedboat enggak? Kalau belum tahu, speedboat itu adalah kapal pesiar mewah yang dapat menampung delapan sampai sepuluh orang penumpang dengan kecepatan yang maha dahsyat dan mengalahkan kecepatan kilat saat balapan dengan petir. Sayangnya ketika aku tiba di pelabuhan speedboat, matahari sudah tinggi (heran matahari kok bisa tinggi ya, padahal tidak minum susu *pembaca ikut nyeletuk*), sehingga suasana di pelabuhan pun sudah sangat sepi. Tidak ada satupun calon penumpang yang menampakkan batang hidungnya (untung bukan batang kemaluannya ye…😜). Alhasil kalau sudah begini aku harus pasrah kepada supir speedboat yang suka memasang tarif semaunya. Kata ‘sepakat’ pun terpaksa ditempuh setelah supir speedboat menyebutkan Rp400.000,00 sebagai ongkos perjalananku pulang pergi. Tarif tersebut termasuk mahal bagiku, karena tarif umum sebenarnya hanyalah Rp60.000,00. Berhubung sekarang mencarter, apa boleh buat daripada tidak berangkat sama sekali. Heuh, jadi seperti bos besar saja pakai acara mencarter speedboat segala. Mana uang tabungan sudah menipis sisa ongkos pulang dari Jawa. Sepanjang perjalanan di atas speedboat dalam hati aku tak putus berdoa,”Ya Allah, tolong Baim Ya Allah!” eh salah deng, doaku kira-kira begini : “Ya Allah, semoga semua pengorbanan hamba ini tidak sia-sia. Hamba sudah banyak mengorbankan biaya, waktu, pikiran, dan tenaga untuk masa depan hamba. Kiranya mudahkanlah jalan hamba untuk meraih kesuksesan. Amin.” Setibanya aku di kantor dinas pendidikan kabupaten, aku beruntung tidak bertemu dengan staf yang mengomeliku via telepon kemarin. Langsung saja aku menaruh berkasku di atas meja si pengomel tersebut yang konon kata teman-temannya sedang menikmati makan siang di luar. Segera kuambil langkah seribu sebelum staf itu kembali ke kantor dan mungkin akan menatapku dengan sinis karena keterlambatanku menyerahkan berkas. Lha wong kabar yang kuterima dari Mrs. Headmi-STRESS saja telat, jadi salahkah kalau aku terlambat? 🐣

2 Minggu kemudian…

Whatsapp from Mrs. Moon… (maaf demi keamanan bumi dan jagad raya, nama terpaksa disamarkan) : “Good afternoon Mr. Sugih. How are you?”
Me: “Good aftie Mrs. Moon…  Jus sosro (maksudnya ‘Just so so’), and you?”
Mrs. Moon… : “Very well, ngomong-ngomong kenapa Mr. Sugih mengundurkan diri dari sertifikasi?”
Me (mata melototin layar hp) : “HAAHH?” 😨
Mrs. Moon… : “Lho emangnya enggak ya?” 😓
Me (calm down) : “Ya enggaklah Bu, ngapain saya ngundurin diri dari sertifikasi?” 🐙
Mrs. Moon… : “Ya, saya pikir juga gitchu. But my hubby bilang YES!” 🐳

*Azeeek… aku dapet YES!* 🙌

Me (melototin layar hp lagi) : “Ciyuz Bu? Bukan Mie Bakso kan?” 🐨
Mrs. Moon… : “Uhm, gimana ya… Sebaiknya Bapak hubungi orang dinas pendidikan kabupaten deh!”
Me (penasaran) : “Madam, kasih tahu dong ada apa sebenarnya?” 🐲
Mrs. Moon… : “Just call kantor dinas, OK?”
Me (hopeless) : “Alright, thank you for your information!” 👍
Mrs. Moon… : “Anything for you!” 🐧

Entah mengapa semenjak hari itu aku menjadi gelisah sendiri (pengennya sih ditemenin sama Chelsea Islan). Ingin menghubungi kantor dinas takut kena omel seperti kejadian dua minggu lalu. Akhirnya kuputuskan untuk memancing ikan bersama Mrs. Moon… agar beliau bersedia menceritakan hal yang disembunyikannya dariku.

Me : “Hallo Bu, saya sudah menghubungi kantor dinas tetapi mereka tidak memberikan informasi apapun mengenai berkas sertifikasi saya.”
(sorry Mrs. Moon… I’m lying).
Mrs. Moon… : “Masak sih, Pak? Padahal suami saya bilang dia melihatnya sendiri lho Pak!”
Me : “Melihat apa Bu?”

*Badan langsung merinding jangan-jangan suami Mrs. Moon habis melihat penampakan di rumahnya. Hiii….* 😨

Mrs. Moon… : “Tapi jangan bilang ke orang lain, kalau saya yang ceritain soal ini ke Bapak ya Pak!”
Me : “Of Course!” ✌
Mrs. Moon… : “Suami saya melihat Mrs. Headmi-STRESS membuat surat pengunduran diri Pak Sugih dari tes sertifikasi, dan Mrs. Headmi-STRESS sudah memalsukan tanda tangan Pak Sugih di atas materai pada surat tersebut.”
Me : “impossible! Mrs. Headmi-STRESS justru yang menyuruh saya pulang ke Kalimantan untuk mengikuti tes sertifikasi. Bagaimana mungkin beliau membuat surat pengunduran diri saya dari sertifikasi?”
Mrs. Moon… : “Saya juga bingung, Pak. Padahal hubungan Bapak sama Mrs. Headmi-STRESS baik-baik saja kan?”
Me : “Kami nggak ada masalah kok, Bu. Mrs. Headmi-STRESS malah meminta saya untuk kembali mengajar di sekolah kalau saya lulus tes.”
Mrs. Moon… : “Mungkin ada faktor lain yang menyebabkan Mrs. Headmi-STRESS memalsukan tanda tangan Bapak.”

Ooh… tega sekali Mrs. Headmi-STRESS mempermainkanku. Belum tahu dia kalau aku ini adalah siluman terganteng kesayangan Ratu Hangcinda. Bisa terjadi badai salju di Kumayan kalau dia berani mempermainkanku. Oh merapi dan laut….  Ups…. (Kok ceritanya jadi gene seh? *pembaca mulai sewot*). Maaf… maaf pembaca, penulis terbawa es-mosi 😅. Dia yang memaksaku pulang ke Kalimantan agar aku mengikuti tes sertifikasi, akan tetapi justru dia juga yang menghapus namaku dari calon peserta sertifikasi. Tidak ingatkah dia betapa besarnya pengabdianku kepada sekolah selama ini? Betapa banyak murid di sekolah kami yang berhasil menyabet gelar juara Olimpiade Sains baik tingkat kabupaten maupun provinsi berkat bimbinganku, karena guru-guru lain merasa tidak mampu. Setiap tahun sekolah kami selalu memborong seluruh kejuaraan olimpiade sains di daerah kami hingga tidak ada sekolah lain yang mampu menandingi sekolah kami. Bayangkan sodara-sodara, tahun ini saja semua juara 1-2-3 Olimpiade Matematika dan IPA diborong oleh sekolah kami tanpa ada yang tersisa.  Semua orang mengatakan mengapa sekolah kami selalu menjadi juara karena sekolah memiliki ‘aku’. Guru yang paling dielu-elukan masyarakat sebagai guru terpintar di daerah kami. Guru yang selalu diandalkan oleh pihak sekolah dalam berbagai perlombaan hingga sekolah mendapat anugerah sekolah unggulan. Bahkan sampai aku mengundurkan diri dari sekolah pun, semua pihak sekolah masih terus mendatangiku untuk meminta bantuanku di saat sekolah mengikuti suatu lomba. Apakah tidak ada guru lain di sekolah yang dapat diandalkan selain aku? Mereka selalu menjawab : “TIDAK ADA!”

Setelah mendengar kesaksian Mrs. Moon dan suaminya, aku tidak mendatangi Mrs. Headmi-STRESS sama sekali untuk meminta penjelasan darinya. Orang-orang di sekelilingku mengomporiku agar aku menuntut Mrs. Headmi-STRESS karena telah memalsukan tanda tanganku. Sebentar, mengompori artinya memberi kompor ya? Azeeek… kita masak yuk! Eeh… *salah fokus*. Namun aku pikir, apa gunanya pula menuntutnya sedangkan hal itu tidak dapat mengembalikan keadaan menjadi seperti semula. Meskipun akhirnya aku mendengar langsung kesaksian dari guru-guru lain bahwa apa yang telah diceritakan oleh Mrs. Moon… padaku adalah benar. Ternyata secara terang-terangan Bu Atun telah mendesak Mrs. Headmi-STRESS agar namaku dihapus dari daftar calon peserta sertifikasi dan digantikan oleh Bu Atun karena Bu Atun sangat berkeinginan sekali mendapatkan tunjangan sertifikasi.

“Pak Sugih kan sudah tidak mengajar lagi di sekolah ini. Jadi untuk apa dia didaftarkan sertifikasi? Mending diganti saya aja, Bu! Toh, saya kan guru penggantinya!” 👻 cerita para guru menirukan ucapan Bu Atun saat mendesak Mrs. Headmi-STRESS (untung bukan menirukan suara binatang ya 😛 ).

image

Aku heran pembaca, mengapa di dunia ini banyak sekali orang yang rakus akan harta? Meskipun Bu Atun adalah pendatang namun beliau termasuk orang yang cukup kaya di desa kami. Ayahnya membuka usaha toko kain dan konveksi. Bu Atun sendiri meskipun belum berkeluarga namun memiliki usaha toko kelontong yang sangat besar di desa kami. Beliau bahkan memiliki beberapa unit truk dan beberapa pegawai di tokonya. Lantas belum cukup jugakah dengan gaji honor yang diterimanya dari bendahara sekolah setiap bulan? Sampai harus menggeser namaku dari calon peserta sertifikasi hanya untuk mendapatkan uang tunjangannya.

Mungkin saat ini aku terpuruk karena kebodohanku yang mau saja disuruh kembali ke Kalimantan hanya untuk dipermainkan. Sedangkan angan-angan yang belasan tahun lamanya kuimpikan untuk dapat mengecap pendidikan di luar negeri, lagi harus kuurungkan. Selama beberapa hari aku mengurung diri di dalam kamar berintropeksi diri adakah selama ini aku telah berbuat salah kepada orang lain. Jika ada, mungkin ini adalah teguran dari tuhan untukku. Mama turut sedih melihat keterpurukanku. Mama bahkan merasa sakit hati oleh perbuatan Mrs. Headmi-STRESS sang kepala sekolah yang tidak bertanggung jawab. Di saat yang bersamaan dengan masalah ini, seorang murid kebanggaanku berhasil menembus olimpiade sains nasional. Kepada pihak sekolah muridku ini memohon agar dia mendapat bimbingan ekstra dariku lagi. Dia tidak mau dibimbing oleh guru lain, karena dia merasa hanya akulah satu-satunya guru yang dapat membimbingnya dalam olimpiade. Hanya dengan bimbinganku dia mudah mengerti persoalan matematika yang tidak dipahaminya. Akhirnya pihak sekolah pun menghubungiku dan memintaku untuk membimbingnya. Haruskah aku menolak permintaan pihak sekolah setelah aku dipermainkan oleh sang kepala sekolah? Hatiku berontak mengatakan TIDAK! Enak sekali mereka masih berani memerasku setelah apa yang mereka perbuat terhadapku. Akan tetapi aku tetap membimbing murid kebanggaanku itu. Bukan demi sekolah. Melainkan karena dia adalah jerih payahku. Aku yang telah membinanya selama ini. Semoga kesuksesan muridku ini menjadi tamparan keras bagi Mrs. Headmi-STRESS bahwa akulah yang berdiri di balik kesuksesan muridku itu.

Selang beberapa hari setelah aku selesai membimbing murid kebanggaanku, tersiar kabar dari rekan sesama guru yang kebetulan mengantarkan berkas sertifikasi milik Bu Atun ke kantor dinas pendidikan provinsi (Eh, kirain kantor polisi).

“Wah Pak, Bu Atun menangis sesenggukan sepanjang malam kata bapaknya!” cerita Bu TEB (yang enggan disebutkan nama aslinya).

“Kenapa Bu?” tanyaku sedikit cuek. 😚

“Berkas sertifikasi Bu Atun ditolak mentah-mentah oleh dinas pendidikan provinsi karena beliau mengikuti sertifikasi tidak sesuai dengan jalur yang seharusnya. Bu Atun itu kan sarjana agama, seharusnya beliau mengikuti tes sertifikasi melalui Departemen Agama, bukan Departemen Pendidikan. Beliau bersikeras ingin menggantikan Pak Sugih yang di jalur Departemen Pendidikan karena beliau tidak memenuhi kualifikasi di jalur Departemen Agama,” runut Bu TEB panjang kali lebar tetapi tidak menghasilkan luas.

Dalam hati aku berkata, “Itulah kekuasaan Illahi! Tuhan itu Maha adil. Dia Maha mengetahui mana yang berhak dan mana yang tidak layak!”

Suasana kelas terbuka bimbingan belajarku

image

image

image

Sekarang hari-hariku penuh dengan kegiatan mengajar di Bimbingan Belajar-ku lagi. Rumahku selalu penuh tawa canda murid-murid les yang selalu menjadi kebanggaanku. Walaupun aku belum menikah, namun kehadiran mereka di rumah rasanya membuatku telah menjadi seorang ayah. Di saat kalian mempunyai masalah, jangan sampai kalian mengorbankan buah hati yang kalian sayangi! Itulah hikmah yang kuambil dari permasalahanku. Pesanku kepada pembaca, jika kalian memiliki suatu tujuan hendaklah kalian fokus terhadap tujuan kalian. Jangan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat membuat kalian berbelok dari tujuan kalian. Selain mengajar saat ini aku juga cukup sibuk dengan persiapan tes TOEFL-ku. Setiap hari aku belajar Bahasa Inggris online lho. Semoga aku tetap bisa mewujudkan impianku untuk melanjutkan pendidikanku di luar negeri.  Terima kasih buat kalian yang sudah baca. Salam…. Sampai jumpa di tulisanku berikutnya ya. Oh ya, buat kalian yang sedang sakit semoga cepat sembuh, jangan lupa minum obat! (pesanku yang menyuruh kalian minum Baygon, maaf itu cuma bercanda. Jangan masukkan ke dalam hati ya, masukkan ke rekeningku saja! Hehehe… 😉 ) Bye… bye…  👋

Berkunjung ke Istana Kuning Pangkalan Bun

image

“Tidak ada kejayaan yang abadi, dan tidak ada pula kekuasaan manusia yang Maha Tinggi!
Semua kejadian yang terdapat di muka bumi adalah tanda-tanda kebesaran Illahi!”

Jika Anda berkunjung ke Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, sempatkanlah untuk singgah sebentar di Istana Kuning! Istana kebanggaan masyarakat Kotawaringin Barat yang juga merupakan icon kota Pangkalan Bun. Dari luar bangunannya memang tidak terlihat seperti istana. Hanya tampak rumah panggung kayu biasa bergaya Melayu yang sangat kental. Namun siapa sangka kalau istana tersebut menyimpan beberapa keunikan yang akan saya bahas pada postingan saya kali ini. Sebelumnya saya sudah beberapa kali masuk ke dalam istana bersama murid-murid saya pada kegiatan study tour yang diselenggarakan oleh sekolah kami, SDN Bangun Jaya, setiap tahun. Untuk dapat masuk ke dalam istana kita harus memperoleh izin terlebih dahulu dari juru kunci istana yang sangat memahami seluk-beluk kronologi sejarah Kesultanan Kutaringin (Kotawaringin). Jika tidak, kita hanya dapat menikmati kemegahan istana dari sisi luarnya saja. Adapun akses masuk pintu istana menghadap ke arah barat dan selatan. Sebelum saya menceritakan mengenai keunikan Istana Kuning, terlebih dahulu saya akan memaparkan sedikit latar belakang sejarah berdirinya Kerajaan Kutaringin. Ingat, bila sejarah tidak pernah ada maka tidak akan pernah ada masa depan!

image

Istana Kuning tampak depan, gerbang barat.

image

Halaman Istana Kuning

image

Gazebo tempat para raja bersantai menikmati senja terbenam

image

Istana dari gerbang selatan

image

Senja dilihat dari gazebo halaman istana (posisi istana di atas bukit)

image

Gong naga

Sejarah berdirinya Kesultanan Kutaringin
Menelusuri sejarah berdirinya Kesultanan Kutaringin, tidak bisa terlepas dari sejarah Kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan). Karena hubungan antara Kerajaan Banjar sangatlah erat mengingat di antara para penguasanya memang bersaudara. Namun dalam hal kedudukan hampir semua raja dari Kerajaan Kutaringin tetap menggunakan gelar ‘pangeran’ ketika berhubungan dengan raja dari Kerajaan Banjar. Mereka hanya menggunakan gelar ‘sultan’ untuk urusan internal birokrasi di Kerajaan Kutaringin atau ketika melakukan hubungan dengan kerajaan lain selain Kerajaan Banjar. Hal ini merupakan simbol bahwa raja-raja dari Kerajaan Kutaringin menempatkan dirinya sebagai raja muda dan menganggap raja-raja di Kerajaan Banjar sebagai saudara tua.

Pangeran Samudra bergelar “Sultan Suriansyah” sebagai raja pertama Kerajaan Banjar dengan pusat pemerintahan di Bandarmasih (Banjarmasin) digantikan putranya Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah sebagai raja ke-2. Sultan Rahmatullah digantikan putranya Sultan Hidayatullah I bin Sultan Rahmatullah sebagai raja ke-3. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu Taliwang dan sultan-sultan Sumbawa. Eits, Datu Taliwang? Namanya kok mirip dengan ‘ayam taliwang’ makanan khas Nusa Tenggara Barat yang terkenal lezat itu ya? Hmm, jadi lapar…  😀

Sultan Musta’inubillah bin Sultan Hidayatullah I menjadi Raja Banjar ke-4 dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Martapura. Keturunan Sultan Musta’inubillah menjadi raja-raja di Banjarmasin dan Kutaringin. Berangkat dari sinilah Kesultanan Kutaringin bermula. Raja pertama kesultanan ini adalah Pangeran Adipati Antakusuma (1679-1696). Beliau mendirikan kerajaannya di wilayah Kuta Beringin pada tahun 1679 yang sekarang menjadi Kotawaringin Lama. Namun pada masa kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin (1805-1841) raja ke-9 Kesultanan Kutaringin, ibukota pemerintahan dipindahkan ke Pongkalan Bu’un (Pangkalan Bun). Di kota inilah akhirnya didirikan Istana Kuning sebagai keraton kesultanan yang baru. Nama resminya adalah Istana Indrasari Keraton Lawang Kuning Bukit Indra Kencana. Konon istana ini sempat mengalami kebakaran dan direkonstruksi seperti aslinya. Nah, pembaca pasti penasaran kan keunikan apa saja yang terdapat di area istana ini? Simak ya…

Pohon keramat

image

Mungkin ini janggal! Bagaimana mungkin sebatang pohon kelapa sawit dapat hidup selama puluhan tahun lamanya dalam keadaan terbelit oleh akar pohon beringin. Dan hingga kini kedua pohon tersebut hidup berdampingan di halaman istana selayaknya pasangan yang penuh kemesraan. Subhanallah! Itulah tanda-tanda kekuasaan Allah swt agar kita senantiasa hidup rukun dan damai seperti kedua tanaman ini.

Tiang Sangga Buana

image

Bukan tiang sembarang tiang. Tiang ini dipancangkan sejak Istana Indrasari Keraton Lawang Kuning Bukit Indra Kencana didirikan di Pangkalan Bun tepat pada tanggal 9 Jumadil Awal 1806 Masehi. Tiang setinggi sepuluh meter ini terbuat dari kayu ulin asli. Kayu ulin terkenal dengan sebutan kayu besi. Kayu ini awet ratusan lamanya. Bila terkena air kayu ini tidak akan pernah lapuk, justru sebaliknya ia malah semakin kuat laksana besi. Sayangnya tanaman kayu jenis ini sudah sangat langka keberadaannya di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu tanaman ulin dilindungi oleh undang-undang pemerintah. Meskipun Istana Kuning sempat mengalami kebakaran namun tiang ini masih berdiri kokoh hingga sekarang.

Benda-benda pusaka peninggalan kerajaan

image

Kereta kencana

image

Keris pusaka kerajaan

image

Tombak dan trisula

image

Piring dan peralatan makan keluarga kerajaan

image

Pakaian kebesaran raja dan ratu

Menilik jauh ke dalam istana, di sana terdapat dua bangsal luas nan lapang berisi sejumlah peninggalan-peninggalan para raja seperti kereta kencana, senjata tradisional, bendera pusaka kerajaan, pakaian kebesaran para raja dan ratu, piring dan peralatan makan, guci-guci keramat hadiah dari para pelancong China yang kebetulan singgah di Pangkalan Bun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, alat musik tradisional  dan masih banyak barang lainnya yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Semua benda pusaka tersebut masih terjaga dengan rapi di dalam istana dan dirawat dengan baik. Melihat isi istana bagaikan sedang mengunjungi sebuah museum peninggalan kerajaan tua.

Kembaran Lukisan Monalisa

image

image

image

image

image

image

image

image

Lukisan Pangeran Penghulu yang dijuluki Si Pahit Lidah

image

image

image

Ini dia kembarannya Monalisa yang membuatku merinding

Di antara semua benda pusaka yang terdapat di dalam istana, lukisan para raja Kesultanan Kutaringin-lah yang menarik perhatian saya. Terutama lukisan Pangeran Panembahan Anum. Beliau memimpin Kerajaan Kutaringin pada tahun 1711-1731. Yang membuat lukisan ini menarik adalah ternyata lukisan ini merupakan ‘saudara kembar’ lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci yang terkenal itu. Mata Pangeran Panembahan Anum dalam lukisan berhasil membuat tubuh saya merinding dan memandang takjub. Bagaimana tidak, ke manapun saya melangkah di dalam istana bola mata dalam lukisan tersebut seakan-akan sedang mengawasi saya. Kedua bola mata dalam lukisan itu seakan turut mengikuti langkah kaki saya. Saya bergerak ke kanan mereka melirik ke kanan, saya bergerak ke kiri mereka ikut melirik ke kiri. Bahkan saya jongkok di depan lukisan itu pun, kedua matanya turut menukik ke bawah melihat pantat saya. Heran deh, hadeuh… hadeuh… apa tidak juling ya itu mata? Saking penasarannya saya terus mengusik lukisan tersebut dengan cara berjalan bolak-balik di depan lukisan itu. Hasilnya jantung saya mau copot dibuatnya. Seolah terdapat penunggunya di dalam lukisan itu. Konon semasa hidupnya, Pangeran Panembahan memang dikaruniai penglihatan yang sangat tajam. Beliau dapat melihat kejadian-kejadian yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa pada umumnya. Berdasarkan penuturan juru kunci yang memandu saya dan murid-murid saat melakukan study tour di dalam istana, hampir semua raja Kutaringin memiliki kelebihan yang luar biasa dahsyatnya. Sebagai contoh Pangeran Penghulu raja Kutaringin ke-6 yang memimpin pada 1770-1778 memiliki julukan ‘Si Pahit Lidah’ karena setiap perkataannya sering menjadi nyata. Sayangnya beliau terpaksa mengorbankan dirinya sendiri karena takut semakin banyak jatuh korban akibat sumpah yang sering diucapkannya.

Pasak bekas kebakaran

image

Pasak tiang istana terdahulu menjadi benda yang sangat keramat. Setelah peristiwa kebakaran yang menimpa istana kuning, pasak tersebut tidak dicabut begitu saja dari tempatnya semula. Ternyata pasak tersebut telah merekat dengan tanah dan menyatu dengan bumi. Alhasil pasak tersebut dibiarkan begitu saja di bawah panggung istana yang direkonstruksi. Masyarakat Pangkalan Bun meyakini kalau di dalam pasak tersebut terdapat penunggunya, dan sering menjadi tamba bagi orang yang sakit.

Ruang meditasi para raja
Ruangan ini adalah ruangan sempit di lantai atas istana. Tangga untuk naiknya pun hanya setapak. Sebenarnya tempat ini merupakan tempat terlarang untuk dikunjungi dari bagian dalam istana. Dahulu ruangan ini merupakan tempat khusus para raja menunaikan shalat, beritikaf, dan bermeditasi. Bila kita ingin melihat ruangan ini, kita tidak diperkenankan membawa kamera untuk mengabadikannya. Konon gambar yang dihasilkan oleh kamera bisa menghilang secara ghaib. Sebelum kita menaiki tangga hendaklah membaca basmallah terlebih dahulu diiringi surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Kabarnya bila kita berdoa di ruangan ini, apapun yang menjadi hajat kita akan dikabulkan oleh Allah swt. Beruntung murid-murid saya berdoa meminta supaya mereka diluluskan dalam Ujian Nasional. Hasilnya mereka 100% lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Sedangkan saya berdoa meminta jodoh, kok belum dikabulkan juga ya? Whoa… hikz  T_T

Mungkin itulah sebagian cerita saya mengenai Istana Kuning Pangkalan Bun. Semoga apa yang saya ceritakan ini dapat bermanfaat bagi Anda semua yang membacanya. Amin. Terima kasih atas kunjungannya ya…   Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya. Salam…

Foto-foto dulu sebelum pulang…

image

image

image

image

God’s Infinite Justice

image

Once a pumpkin farmer had just finished working on his farm. He decided to take a break under a shady rubber tree. He sat down on  the ground and leaning on a tree trunk. He wag his hat to his chest  that swelter because the air temperature was very hot on that  afternoon. Long he observed rubber fruit hanging on the tree. For a moment he thought. Then he muttered, “If I watched carefully, this rubber fruit shape is very similar to a pumpkin that I have already harvested. But why does God unjust? Fruit pumpkin large size while the stems of plants are very small. Then the rubber fruit size is small while the trunk is large enough. God was not fair!” The farmer was disappointed to god.

Old pumpkin farmer was shocked in his thoughts. Until the end, he realized that a rubber fruit that had been observed was falling because slammed by wind. And …

TUCK!

“Aaaw …” cried the farmer.

Rubber fruit that fell squarely on his head. Then it was back muttering pumpkin farmer.

“Oh, it turns out that God is infinite justice! If the rubber fruit that fell on my head the size of pumpkins that I harvested, it  would have broken my head!”

The old farmer was then immediately got up and packed up his crops as soon as possible. He wanted to go home in order to pray and give thanks to God for justice shown by his god.

My Third Year in Borneo

image

This event has been a very long time ago, I will hardly remember when exactly. But I accidentally wrote back here just for the nostalgia even though without any  photos because I didn’t have a camera at the time. Understandably living in the rural areas, all completely within the limitations.

This incident took place at approximately the first quarter of 2006, second semester I taught at SMA Negeri 1 Balai Riam, or rather in its third year I lived in Borneo. I still remember clearly when it was Friday in which the activities in the school where I taught this very freely. Usually activities at school on Friday was limited to a healthy heart gymnastics, community service cleaning the school environment, and the specific subjects in each class. In short when I was filling the last hours in one class, one of the senior students of grade XII named Mispansyah, knocking on the door of the room where I was teaching.

“Excuse me Sir, you are asked by the people to go to Balai Riam now! We have two foreigners as our guests. But we don’t understand at all what they want,” said Mispansyah while struggling like he’s being chased by the ghost.

Because it happened when it was disbanded school hours, I immediately packed up and said goodbye to my students. Before I sat on the top of Mispansyah’s motorbike, some teachers, the co-worker expressed the same thing as what was conveyed by Mispansyah. “Hurry up Sir, you are being waited!” Said Mr. Jahrani,  our senior teacher.

Mispansyah immediately drove to
Mr Siong’s house, a resident whose
house used to be a shelter for the foreigners. I found them in the livingroom, we introduced ourselves each other. Apparently they were married couple named Sergey and Michelle. They came from Russia and doing hitchhiking. Initially I did not understand what was hitchhiking. But they kindly explain to me that they were traveling around the world just by walking and they asked for a ride to any rider who passed along the way. Wow, sounds interesting huh? It means they traveled the world for free. Then Sergey said that they went through 2/3 parts of the world. They had run out of water drink in the Kalahari desert of Africa, and ran out of food supplies in China’s Gobi desert, also became a captive in inland of Thailand. Until finally, they arrived in Indonesia. They even had Batam Island resident spotlight until in the paper. And Sergey showed me pieces of the newspaper article which ran a story about them for at Batam. If they understood the Indonesian language, they might be embarrassed or angry. Because the content of the article was the Batam resident judged them as beggars who wanted around the world for free and without bringing any money. (U_U)

The journey continued to Borneo after they managed to explore the island of Java. After taking the route Pangkalan Bun-Kudangan with riding a truck, they intended to continue the journey to Pontianak to extend the validity period of the visa. Unfortunately they should be kept up to Pontianak via Kudangan, but because of miscommunication between them and the truck driver did not speak English, the couple Sergey and Michelle brought to the truck drivers Balai Riam, subdistrict where I lived. Then finally I met them.

I was amazed to Sergey and Michelle, in the still fairly young age they’d managed to explore the 2/3 parts of the world such as: Europe, Africa, Australia, and Asia. Their final destination was the continent of America and perhaps including Antarctica. Their visit in Balai Riam Subdistrict would last for 3 days 2 nights. Because they deliberately wanted to rest for a while after traveling a very long and tiring. As a good host, I purposely took their tour to see the situation in Balai Riam. First I invited them to look across the village settlements (old village). Sergey and Michelle were amazed to see our local traditional house made of ironwood and very durable tens to hundreds of years. The public was enthusiastic welcome them. “Sir, please tell them later at night we held a party for them. We’ll make a roasted pork!” Said one resident familiarly. When I delivered to Sergey and Michelle mentioned subject, they were very happy as if they had not enjoyed a delicious meal, especially when I mentioned its specialties is the ‘pork barbeque’. They almost dripping saliva after hearing.

When we arrived at the indigenous leader house, we were greeted with a ceremony and drinking party. Our hands were each tied by a rope made of reeds and woven in a way that looked like a very beautiful bracelet. It signified that we had bound to be part of the Dayak in particular areas Balai Riam. We had become part of the family in the land of this amethyst gem. We should not be decided wrist strap that bound us intentionally. Because the rope would break up by itself right at the third, fourth, or fifth day. And magically, it’s true! Rope tying my wrist cut away on the third day. Though my hand did not experience friction with any object. The party  held at the home of indigenous leader house. Sergey and Michelle danced to follow the movements of the Dayak dancers form a circle. While dancing we were required to drink wine and wine interchangeably. Because I am a Muslim, so I just simply hold the cup to my lips without drinking a drop. Phew, it is a relief!

In the afternoon I again invited them both around while jogging look around the forest and look for cassavas. Michelle was very fond of fried cassava. For her cassava was the most delicious food  she had enjoyed. Well, fortunately the waitress of Mr. Siong had no objection to fry it for Michelle. The Dayak children continued to follow us along the way that we went through, they were even willing to help Michelle look for cassava growing in the woods. The children were very interested to interact with foreigners. Because it was the first time for people in Balai Riam met foreigners.

In the evening, after maghrib prayers, I asked Mr. Arif, the principal superiors, to take us to see the head of subdistrict. Our arrival was greeted warmly by the head of subdistrict. He explained on the composition of the population in Balai Riam Subdistrict, as well as the number of people in each village. I never thought we could talk familiarly together to laugh. Sergey and Michelle were very impressed with our service to them. Coming home to Mr. Siong’s house, I was asked specifically by Mr. Siong family to spend the night at their house. Worry if there something would happen to our guests or Sergey and Michelle needed something while Mr. Siong did not understand the language they use. So the whole night that I was with Sergey and Michelle spent time exchanging stories together.

Sergey taught the Cyrillic alphabet which is the Russian alphabet. I thought the Russian language was very difficult but very interesting. Many times Sergey trained me how to read any Russian alphabet written on a piece of paper. I very difficult pronounced, but Sergey was patient and humorous person. There were excerpts of the conversation which still burned into my memory.

I’m the Curious (IC): “Sergey, could you please tell me the life in your country during the heyday of the Soviet Union?”

Sergey (S): “What do you want to know about the Soviet Union?”

IC: “Frankly, when we hear the name of the Soviet Union, many Indonesian people are frightened.”

S: “What is fear?”

IC: “the Soviet Union communist state. In the past our country also had almost become a communist country.”

S: “So?”

(Ergh… Why Sergey often asked me back, huh?)

IC: “The Communist Party in our country had done a great incident. A number of our army leaders were arrested and killed. Places of worship such as mosques burned. Of course we are afraid of communists and strictly prohibits the existence of the communist party in our country.”

S: “In our country it had become commonplace.”

IC: “Was it not disturbing people in your country?”

S: “Why should fret? Let it all flows and community members are slowly going to enjoy it! ”

IC: “I heard the economic system in your country adopted a centralized economy. Could you please explain what kind of economy there? ”

S: “Yup, that’s right! So during the period of socialist rule, almost all the residents did not have a business license. Because all activities were controlled by the state of society. Agricultural activities, livestock, industry, fisheries, plantation, etc. were managed by the state. Thus the welfare of society equally. There was no person who was the richest or the poorest like here!”

IC: “Oh, I see. And what about the activities of worship? Was controlled by the government as well? ”

S: “Of course. If not so, the people in our country would not be  regular. Essentially all community activities were controlled by the state. You know, including our spouses also when in the mood to make love must wait for a mandate from the state! ”

(Sergey glanced at Michelle playfully)

Michelle giggled hear the narrative of her husband,”For the last statement that he said, please do not believe this!” Michelle said as she glanced at me.

IC: “Wew!”

Sergey was very interested in listening to myths inland Dayak that I told him. Like ‘kuyang’ an old woman who absorbs infant blood in order to make herself forever young, kayau the head hunter, cannibalism of the Dayak, and so forth. While Michelle was more interested in listening to the stories of tragedy Sambas and Sampit which had similarities of the  background chronology. Both asked me so I deign to write them all down and send them to their email addresses published into a book published in the country. It turned out their second job were journalist. Little vent also to me the reason they did hitch-hiking, as the background of their problems. Frankly they told me apparently they were a married couple who eloped because it was not sanctioned by their parents. OMG, nowadays still a ‘run-away marriage’. Mr. Deny … please please! (Imitating the style of Jarwo Kwat, member of Indonesian Comedy Club).

On the last day of our meeting, with the permission of Mr. Arif at night before I accidentally took Sergey and Michelle visited SMA Negeri 1 Balai Riam where I worked. I deliberately asked for them to be native speakers of English in school hours. Well, it turned out though their words were Caucasians, not necessarily a guarantee that their English must be good you know! The proof pronounce the word ‘banana’ are supposed to be pronounced ‘benane’ even pronounced the same as the ordinary Indonesian people mostly English. But this very memorable session for my students. Well, even though my students could only admonish ‘how are you?’, ‘Good morning’, and ‘what is your name?’ But we all really enjoyed the togetherness that only this moment. Sergey even had time to share his  knowledge to us how he and Michelle get drinking water in the middle of a vast desert when they ran out of drinking water supplies while no oasis around them. Wow that was very interesting and we also put it into practice, the results were amazing. Scorching sunshine very helpful our experiments. This way we refered to as ‘water condensation sun’.

Towards the final seconds of our time together, I and my students invited them both to play ‘kasti’ in the school field. Sergey said the game was very similar to the game of cricket. Before they actually went I was very curious with a backpack carried by them. According to Sergey explanation fill their backpacks include: tents, iron pegs, stove, pots, pans, clothes, flashlight, map, shoes and others. I was allowed by them to lift the backpack belongs to those who were so great, and beyond my expectation their bags were extremely heavy … To the extent that I fell backward carry. How not just my weight only 50 kg while Sergey’s bag 60 kg, like a rhino holding the horse …

As a memento of me so they always remember Indonesia, I purposely gave Sergey a Javanese batik shirt. Fortunately, the same size of our clothes. And one of my students gave a gift to Michelle who knows what was in it, I did not know it. Hopefully just not a bomb or stone. Hehe…  😀

After a while waiting for passing cars, came a silver Estrada in front of us and I stopped it. Fortunately I knew the driver of the vehicle. He was Mr. Darmadi  who was on his way home to HHK Timur, West Kalimantan. I told him a little bit about Sergey and Michelle, I entrusted this couple to him up in HHK Timur and introduced them to Mrs. Ani, one of my acquaintances who also worked as an English teacher at HHK Timur. Not to forget I dropped a letter to Mrs. Ani so Mrs. Ani pleased showed Sergey and Michelle road to Pontianak, so they did not get lost anymore, or was taken the wrong way by truck drivers who did not understand English as they had just experienced yesterday.

One week after their departure…
“Sir, I just arrived from the village of Tumbangtiti, West Kalimantan. Uh, there I met Sergey and Michelle again. Then I asked my brother there to lead them to Pontianak, Alhamdulillah now they’ve arrived in Pontianak!”Said a student of mine named Dina.

Ah, thank goodness. May they always be safety, and health by God during the journey to realize their dreams. Aspiration is not to simply remain a distant dream. Rather it should be a chain of struggle that never break up. Because life is not just for dreaming!

My Second Year In Borneo

image

July 2005
This is the second year I stayed in Borneo. Without felt I had missed my days a year that had felt like in prison for life in a completely limitations. Still remember my  previous post about Borneo? In the village where I lived there was no electricity, we could only enjoy electricity village 5 hours a day (lit at 5 pm extinguished at 10 pm). There was no telephone line of any operator as well. The only means of communication was just a public phone booth located in the village shopping center (sorry not the market) was about 2 kilometers from our house. So when our family from Java needed to contact us, they could only contact the booth guard. Then the booth guard would pick us up so we called back our family who had contacted the booth guard, yet again we had to pay Rp15,000 once shuttle pick-up service, since in our village there was no public transportation.

The temperature in Borneo was very hot, and the water contains a very high acid pH. So do not be surprised if you see people from Java or Sumatra and Sulawesi, their skin will turn dark after a few days stay in Borneo. And their skin will be cleaner when returning to their home land. Not to mention common diseases are toothache. Know why? Because the levels of acidic substances too high in water content in Borneo. Unlike the indigenous tribes: Dayak, Malay, and Banjar, their skin white despite the hot temperature. Even the  Dayaks teeth were good because of their habits are like ‘menginang’. Menginang is chewing ripe pinang and lime paste covered by betel leaf.

The story begins, so after I returned home from Bogor to spend my vacation there, I was surprised to come back to Borneo, my aunt said that while I was away on vacation, our neighbor Mr. Iwan  had several visits to the aunt’s house to look for me. What is it? I thought at that time. Until finally I decided to see him in his home. Shocking news was received from him. “You are being called by Mr. Arif, head of SMA Negeri 1 Balai Riam. He would like to ask you to teach English. Do you mind?” Mr. Iwan said that time. Without thinking, the same day accompanied by my cousin, we went  to Mr. Arif’s house in order to confirm about this vacancy and I would like to apply for the job. But it turns out he was not in his house, no pains we also managed to see him planting acacia trees around the school.

Mr. Arifandi is familiarly called Mr. Arif, a humorous stocky with a rather low height, and sense of humor. In short at the meeting He directly gave me details duties as a faculty member of SMA Negeri 1 Balai Riam, newly opened government school. Its previous status was a private school under the auspices of PGRI (the unity of Indonesian teachers). He asked me to teach literature: English, Indonesian, and Japanese! No half-hearted, not! Was it just a dream? I was just a high school graduate, but I had to teach in high school! Frankly, taught in high school was my dream when I was in senior high school. While still in high school I saw seemed engrossed that I associate English-Japanese literature-and Indonesia to become one! I want to explain to the public variables are inter-related literature. Perhaps by way of being a teacher, I could do it. Unfortunately, my dream of becoming a teacher did not have the support of my mother, “So the teacher salary is not enough for you to live!” She sneered. But she also did not sue me what I should be in the future, all probably because my mother was not able to pay me university tuition fee.

SMA Negeri 1 Balai Riam only had 4 classrooms with the number of students ranges from 128 people. The number of teaching staff at that time there were only 6 persons, among them: Mr. Jahrani, Mrs. Yani, Mr. Yani, Mrs. Wulan, Mrs. Yuli, and I. Each teacher must hold at least 2 subjects. In between us just Mr. Jahrani was the only teacher who was civil servant. But over time every year SMA 1 Balai Riam (well-known as SMANBA) received additional new building plus a new teacher who was placed in charge at our school after a civil servant appointed by the local government. One day, because of a problem, Mrs. Yani resigned. While there was no one who could replace her. So, because my brain was still fresh and lessons in high school was still stuck in my head, I was sorry for my students to miss class, then I ventured to replace Mrs. Yani temporarily until sometime in the future there would be more appropriate for the teaching field. So finally I taught to 9 subjects in SMANBA: English, Bahasa Indonesia, Japanese Language, Economics, Sociology, Anthropology, Econometrics, Finance and State Administration. Wow! Fortunately it only lasted one semester, because new teachers began to emerge in the next semester.

My life was getting excited as I taught in SMANBA. Perhaps the reader think, I like to teach in high school because in high school many teenagers are soothing eye? Sorry, I never thought there. That sometimes I was a little paranoid if I met students who were local people of Borneo island (Dayak tribe). Even when I entered the Balai Riam region where the majority of the population was ethnic Dayak! I often recalled events Tragedy Sambas and Sampit when met Dayaks. Although I’m not the Madurese, I sometimes feel insecure when I met Dayak inland. Somehow I often feared itself when I thought of two devastating tragedies in Borneo’s land. But there was one event that my fear was dispelled. One day when I was walking alone in the village of Dayaks, I met an old woman who also was walking toward in the opposite direction to me. She was barefoot, in her head tied a basket (buya) made of woven rattan. Her ears were very long and filled with large earrings. Somewhat afraid I greeted the old woman, “Where are you going to, Grandma?” Then the old woman replied in the Dayak language I did not understand at all. I told her that I did not fully understand the Dayak language. Then the old woman suddenly smiled and said, “I’m going home, let’s visit my house! My house is across the river!” See hospitality in the face of the old woman, my fear of the Dayak vanished. To what we fear to others if we do not feel guilty. Never judge others from their appearance, but look at their hearts!

image

Faced with high school students in SMANBA was a surprise to me. I experienced culture shock was so great, but fits the saying goes “Other another desert locust! Other other bottom fish too!” So I should be able to adapt to local custom. If used during school in Bogor, all students would be subject to and shook their teacher hand politely as they passed in the street. So in different SMANBA no student wanted to shake the hands of the teacher as old as any teacher. Here, the teacher was seen as a friend, not a surrogate parent in the home. Many fellow teachers who courted his own. So no wonder that saw students being disrespectful to the teacher. Once, when I was teaching, one of my students (Dayaks) did not listen to the subject matter that was being explained. He even fun lying on the floor. Spontaneous I was admonished allow him to leave the class, because snoring very distract other students. What did I receive? He was even reluctant to move from where he threatened me, “What’s your right not let me sleep in class? You’re just newcomer, I’m inlander here! Shall I bring mandau for you?” Mandau is a traditional weapon Dayak. At first I was afraid of the threat that my student, frankly scared me not because he was indigenous, but because of the age of my student was a little older than me, funny right? I was afraid he meant by his words. But thankfully, my other students and also fellow Dayaks defended me, “You must learn manners, customs from your village do not be carried around here! That’s what the school for!” They shouted. The bad guy was immediately left the classroom after being reprimanded his friends.

One other thing that is different from SMANBA compared to other schools are myriad accomplishments achieved by way of a lot of practice! Mr. Arif really loves art, especially the art of music and dance. His movements are very graceful when bringing Dayak dances. The funny thing is he had a rule aimed at teachers like this: “If there is a race preparation activities extracurricullar or whatever it is, please sought not to interfere with teaching and learning activities in the classroom! Perform such activities outside school hours!” Then no one else in between our teachers who dared to violate the rules. But you know, what happens if Mr. Arif want SMANBA engage in contests dancing? Three consecutive months of intense dance training carried out regardless of whether the clock is still school hours or not! Dung crunch teng teng nong drum music sound was audible noise to a radius of 2 km. If you have this, the entire school was not able to concentrate on the lesson. Who has violated the rules?

Although I taught in high school did not mean I stopped teaching English in primary school! I still taught at the primary school only one full day! So 5 days I focused in high school. During the first few years I taught in SMANBA, I used to walk back and forth. Though the distance from the village of Balai Riam-Bangun Jaya to approximately 10 km! So every day I traveled 20 km. Still no luck so Oemar Bakri left teaching to ride a bicycle! Yes, this is the life! Life is a chain of struggle that there is never a break!

It seems that in the second year I lived in Borneo (2005) I started to feel like living in Borneo. Mainly because of its natural, cultural, and interesting things that I like is to see a village that slowly began to evolve. Over time I see a lot of changes that have occurred in this remote area. Masts mobile phone towers have been glued, the communication more smoothly. Mobile phone counters increasingly popping up. The streets are paved, access to the city, the better. Houses more feasible, they changed the former board house transmigration into concrete houses like a magnificent palace. Many residents live well, luxury cars, nice bike, plus yield lucrative oil every month. No need to work as an employee, simply waving legs at home! However, unlike me who do not have a palm oil plantation, I can only be a spectator! So I can not wait for the harvest demoted foot arrived! My role is simply advancing education in the realm of the interior of this growing! Although it is now (2015) after 11 years I became a resident of Borneo and my income started to increase as a positive impact on the residents income increased oil yield, I still want to be able to realize my dream of studying in cherry country, Japan! However Kalimantan soil is a bright prospect for my future, but the future will not be in balance if not balanced with science! I can only continue to live with the remnants of which still had the spirit of struggle. Someday maybe I can make it happen, hopefully!

My First Year In Kalimantan

image

Dear readers,
In my post this time, I would like to continue my story about the joys and grief for teaching in remote areas of Borneo. Yes, I know you prefer to call it as ‘hinterland’,  right? Whatever!  Actually it is located on the island of Borneo. Precisely at the border line of Central Kalimantan and West Kalimantan Province. It took a day and night to get to Palangka Raya (capital of Central Kalimantan) and the same time to Pontianak (West Kalimantan’s capital) from my place where I used to live during eleven years till now. The village where I live called Bangun Jaya village, while the name of the locality is Balai Riam Subdistrict. The regency name is ‘Sukamara’, without ‘H’ at the end of the word. Because it could be ‘SUKAMARAH’ (easy to be angry)!  LOL  😛

Surely you do remember where I came from? Yup true, from my mother’s belly was! Hehe… Ups, I mean I came from Bogor, the rain city southern Jakarta! After reading a letter from my cousin who lived in Borneo, no longer after that I graduated from high school and I was failed to obtain a college scholarship to Japan, I was desperate then I decided to move from Bogor to Borneo. Many people say that if we want our lives to grow then we need to do to move. So, it looks like my decision was not wrong, Yippee … Life moved!  😀

In short, when I arrived in Borneo  I saw my cousin’s report that there was no English subject. So I tried to meet the headmaster. I didn’t bring any certificates to apply for job at that time. I just said that I intended to advance the villagers to teach English. Warmly he accepted me to work as a teacher of English. Lucky me!  🙂

July 2004
It was my first time for being a teacher. I taught at SDN Bangun Jaya (Bangun Jaya Primary School). The school building was made of bulin (ironwood) with shingle roof. Bulin  known as ironwood, but the condition of the school where I worked was very alarming. There was no infrastructure that support for teaching and learning activities. Anyway pathetic me, going to the toilet there’s no water. Must wait for students who had a first fault to be punished draw water from the well.

Because all children in the primary school never learned English before, I obligated to teach them from zero, began from alphabet. I often called them to come forward to the front of the class to read directly, and they seemed shy to try. Sometimes they laughed when I was  explaining a material or slightly made a joke with them. “Hey kid, why your hairs are like popcorn? Mama selling popcorn then?” My jokes to a frizzy-haired child, with the sound of Batak accent. And suddenly the whole class laughed. The child that I joked with, laughed.The students were never sleepy when I was teaching because they always laughed for my jokes.

Besides working as a teacher at school, I began to open a business tutoring at my aunt’s house. I lived with my aunt. Many students were interested in taking courses with me. Not only for English lessons but also mathematics. Since the first open, the number of students in my course had reached 40 students. Until there was a junior high school student who took a course with me. She often followed me everywhere I went because she had a crush on me. Hihi… ♡♡♡

The funny thing was most of my students outside the school called me ‘Abang’ (elder brother) because of my age’s still young, that time I was 18 years old. But in contrast their parents called me ‘Sir’ or ‘Mr. Sugih’. Feel so old! “Mr. Sugih, Mr. Sugih, where are you going to? Here stopping first! Would you like corn on the cob?” called their parents when I crossed walk in front of their house. That lives in the village, the nature of the hospitality of the villagers still noticeable.

I was grateful to the school where I taught had built a new building. We would have three additional classes so that later no longer shift the morning and afternoon shifts between junior and senior grades. Our school would be in the form of letter L stage. The new building was also made of ironwood boards but the roof made of multiroof.

You know if I was happy living in remote Borneo? Yes, I was happy not to be an unemployed! I was happy even though I just graduated from high school, I had my own business capitalize the brain and intelligence had. At least I could show the rest of my family that I could stand on my feet especially to my mother. I’m not the kind of child who likes to whine and requires parents to comply with any desire. But I was sad. I often thought of my old school comrades, before our separation they told me that they would continue to renowned universities both within and outside the country. While I? I found it to be a prince dreamer who were stranded on the island of Borneo for failing to realize his dreams.

I could not find the windows of science at the local library as often as I did when I was in Bogor. If I wanted to watch TV, I had to turn on the generator. Since there was no electricity in the village where I lived at that time. If I wanted to buy fresh fruits, I could not go shopping to the market, because unfortunately there was no market. In addition, neither public transport like in the city. Living in a remote area of ​​Borneo made me feel constrained as in prison, all completely within the limitations. But I kept trying to convince me. I had to live to help my students. They were budding nation in this country. They needed me to look at the window wider world. Sad indeed, but my heart was much more sad when seeing our school buildings were burned because of lightning. None of the items that we could save in the building. Chairs and tables were all engulfed in the flames. Just lived the new building which became the basis of our hope only to still be able to continue teaching and learning activities. Surely shift between junior and senior classes would continue as usual. I vividly recall the fire that occurred one week before the General Deuteronomy Odd Semester, just two weeks before the tsunami in Aceh occurred. In the fire that burnt our school, I heard a whisper that say to me if I must live for them. For my students!

Nenek Meninggal

Kira-kira 2 minggu lalu tersiar kabar dari keluarga di Pulau Jawa bahwa Umi Ating (bibinya mama) meninggal dunia. Meskipun beliau bukan nenekku secara langsung namun kabar duka tersebut sangat membuatku terpukul. Pasalnya sudah 6 tahun aku tidak bertemu beliau dan kini di saat aku merindukannya, beliau telah berpulang ke Rahmatullah. Tidak ada suara burung gagak yang biasanya mengabari kami bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Tidak ada mimpi gigi tanggal sebagai pertanda yang dapat kami tafsirkan. Tidak ada nasi yang selalu menjadi basi sebagai mitos kepercayaan orang Sunda bila akan kehilangan seseorang. Ya, kabar itu tiba-tiba datang begitu saja. Hari-hari sebelumnya saat aku mengajar murid lesku, entah mengapa aku mencium bau napas Umi Ating yang sangat kukenal. Aroma napasnya adalah aroma napas orang yang selalu menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Quran. Begitulah biasanya yang dilakukan oleh nenekku itu.

Keluargaku adalah keluarga besar. Hampir semua keluarga dari kakek (ayahnya mama) berprofesi sebagai tentara dan guru. Dan satu dari kedua profesi tersebut menurun padaku. Umi Ating adalah adik kakek nomor pertama dari sekian jumlah bersaudara yang tidak kuketahui pasti saking besarnya keluarga kami. Beliau adalah seorang pensiunan guru pengajar Bahasa Sunda dan Bahasa Inggris. Kedekatanku dengan beliau bermula ketika aku akan mempersiapkan diri menghadapi ujian kelulusan SD yang pada masa itu dikenal dengan istilah EBTANAS (evaluasi belajar tahap akhir nasional). Beliau banyak memberiku ilmu guna menghadapi EBTANAS. Dan subhanallah hasilnya dari 5 mata pelajaran yang diujiankan nilai rata-rataku kontan di atas 8,5 hampir menembus 9 dengan nilai tertinggi Matematika 9,5. Padahal sebenarnya aku ingin sekali bisa menyaingi kepintaran mamaku yang nilai rata-rata EBTANAS-nya menembus angka 10 pada masa SD-nya. Tapi apalah daya kemampuan otakku hanyalah separuh kemampuan otak mamaku.

Umi Ating selalu rutin memberiku bimbingan pelajaran termasuk materi agama. Karena beliau dikenal sebagai pemuka agama di daerah kami. Setiap kali kami bertemu hal pertama yang beliau tanyakan padaku adalah, “Apakah kamu sudah shalat, Sugih?” Bahkan Umi Ating selalu mengajariku mengaji Al-Quran beserta ilmu tajwid yang terkandung di dalamnya. Masih kuingat dengan jelas beliaulah orang pertama yang memberitahuku tentang huruf-huruf qolqolah dengan rumus ‘bajuditoko’. Beliau juga yang menceritakan kisah para nabi yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Beliau sangat praktis dan sistematis saat mengajar sehingga ilmu yang ditransferkan sangat mengena dan membekas dalam ingatan.

Sebelum masuk SMP, pada suatu sore Umi Ating mengajakku melihat sebuah sekolah negeri terfavorit di kota kami. Menurut cerita mama, dulu mama sangat berkeinginan bisa bersekolah di sana namun mama gagal karena tidak mampu secara finansial. Lalu Umi Ating bercerita pula kepadaku kalau sekolah yang sedang kami lihat itu banyak menghasilkan artis-artis ternama ibukota. Hatiku pun tergugah ingin bisa masuk ke sana. Alhamdulillah sekolah tersebut menerimaku karena NEM (Nilai Ebtanas Murni)-ku di atas passing grade sekolah tersebut. Mamapun bangga kepadaku.

Setelah aku masuk SMP, jujur aku sangat minder karena teman-temanku mayoritas berasal dari kalangan kelas atas. Banyak dari mereka yang merupakan anak pejabat, dosen perguruan tinggi terkemuka, ilmuwan peneliti, pengusaha, dan artis terkenal. Hal yang membuatku sedih kala itu aku sangat tertarik dengan mata pelajaran Bahasa Inggris namun teman-temanku mencemooh pronunciation-ku setiap aku berlatih speaking. Kata mereka apa yang kuucapkan hanyalah cuap-cuap tak jelas. Lantas mereka memamerkan kemampuan mereka berbahasa Inggris hasil dari pengalaman tinggal di luar negeri bertahun-tahun. Kuakui kemampuanku masih nol dibandingkan mereka. Bahkan untuk mengucapkan nama ‘George’ saja aku menyebutnya dengan kata ‘Geyorj’. Di saat itulah aku yang sebenarnya sudah berhenti les pada Umi Ating kembali berguru kepada beliau dan rela menemui beliau satu minggu 3 kali dengan menaiki angkot yang jaraknya 20 km dari tempat tinggalku. Umi Ating dengan tangan terbuka menerimaku kembali sebagai murid dengan catatan akupun harus belajar agama pada beliau. Bila aku bermalam di rumahnya, Umi Ating pasti akan memasakkan semur jengkol kesukaanku walaupun kuakui masakan beliau selalu kurang garam atau vetsin. Kata Umi vetsin dan garam bisa mengurangi kecerdasan otak. Setelah beberapa bulan aku mengikuti les bahasa Inggris, Umi Ating berpesan padaku kalau sebenarnya aku mampu belajar bahasa Inggris secara otodidak (tanpa guru) karena beliau pun dulu belajar sendiri hanya dengan cara mempelajari buku. Umipun memberi motivasi kepadaku agar aku jangan minder di sekolah, aku harus menunjukkan kepada teman-temanku bahwa aku mampu menyamai bahkan melebihi kemampuan mereka. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti saran beliau. Selain aktif berbicara bahasa Inggris dengan guru di sekolah, akupun mulai terjun mengikuti organisasi English Club di RRI. Alhamdulillah nilai bahasa Inggrisku di rapor selalu mendapat angka 9. Dan ketika SMA karangan bahasa Inggrisku selalu mendapat nilai excellent. Teman-teman yang dulu pernah mencemooh kemampuan bahasa Inggrisku semasa SMP berbalik menyanjungku dan mengagumi kemampuanku. Hingga akhirnya kini aku telah menjadi seorang guru bahasa Inggris. Semua berkat Umi.

Akh, Umi…
Aku menyesal semasa Umi sakit tak sedetikpun aku berada di dekatnya. Padahal kata hatiku selalu berbisik untuk dapat bertemu dengannya. Saat kabar meninggalnya Umi kuterima aku menangis sejadi-jadinya, hingga aku tertidur dan terbawa ke alam mimpi yang mengantarkanku melihat kenangan kami bersama. Dan di saat aku terbangun dalam gelapnya kamar dini hari aku memekik. Sesosok bayangan seorang wanita tua mengenakan mukena menoleh padaku seolah tengah mengajakku, “Ayo kita shalat, Sugih!” Aku menangis dan segera berwudhu. Dalam doa tak henti kupanjatkan, “Ya Allah terimalah nenekku di sisi-Mu!” Amin.

Banyak Rezeki Kalau Banyak Anak

image

Memang ngegemesin kalau berada di dekat anak-anak. Apalagi kalau melihat mimik mereka yang polos dan unyu-unyu, bikin cubit terus pipi mereka sampai merah. Hampir setiap hari di rumah selalu penuh oleh murid-murid lesku. Terkadang belum waktunya saja mereka sudah berjejal memenuhi seluruh ruangan. Apa pasal? Ada beberapa alasan mereka seperti :

image

1. Tidak ada teman bermain di rumah, sehingga dengan datang ke tempatku sebelum jadwal les mereka dimulai mereka dapat bermain dengan perasaan riang;

image

2. Mereka senang menyimak caraku mengajar ketika aku mengajar kelas yang lebih junior daripada mereka. Jadi para kakak kelas yang lebih senior sangat senang memperhatikan materi yang sedang dipelajari oleh adik kelas mereka;

image

3. Selain dua faktor di atas, alasan lainnya adalah mereka senang menikmati jajanan yang dibuat oleh ibuku setiap hari dengan varian menu yang dibuat seperti : Pempek, cilok, somay, kuch kuch hot tahu, bakwan, donat, bakpao ayam, chicken nugget, batagor, es jeruk, es teh, es campur, dll. Mereka kadang datang ke rumah meski jadwal les libur hanya untuk membeli jajanan pada ibuku.

Hehe, bagi ibuku “banyak anak memang banyak rezeki.” Terbukti dengan hadirnya mereka di rumah, menambah devisa keluarga kami.

Let’s Learn Japanese #3

image

Let’s Learn Japanese #3

AMARI

Amari is a conjunction which marks a cause that involves excessive action.

Its meaning : because of too much ~; because ~ too much; so ~ that ~ [REL. Sugiru]

¤Key Sentences
(A)
Watashi wa sono ban koufun no amari nerarenakatta.
(I was so excited that I couldn’t sleep that night.)

(B)
Kono kyoukashou wa bunpou o juushisuru amari omoshirokunai mono ni natte shimatta.
(This textbook has turned out to be an uninteresting one because it stressed grammar too much.)

Formation
1. N no amari
Shinpai no amari (because of too much anxiety)

2. Vinf amari
Youjinsuru amari (someone is so cautious that)

Examples
1. Akiko wa kyoufu no amari koe mo denakatta.
(Akiko was so frightened that she couldn’t even make a sound.)

2. Watashi wa yorokobi no amari omowazu tonari no hito ni dakitsuite shimatta.
(I was so happy that I hugged the person beside me without thinking.)

3. Nihon no Eigo kyouiku wa bunpou ga kyouchou sareru amari kaiwa ryoku no yousei ga orosoka ni natte iru you da.
(As for English education in Japan, it seems that because grammar is emphasized too much, the development of conversational skills is neglected.)

4. Kondo no kaigou wa keishiki o omonzuru amari naiyou ga toboshikunatte shimatta.
(The last meeting ended up having little content because it focused too much on formalities.)

Notes
1. Clauses and phrases involving the conjunction amari can be rephrased using the adverb amari and the conjunction node or tame ni, as in (1).
(1) A. Watashi wa sono ban amari koufun shita {node/tame ni} nerarenakatta.
     B. Sono kyoukashou wa amari bunpou o juushi shita {node/tame ni} omoshirokunai mono ni natte shimatta.

2. Adj (i) and Adj (na) cannot precede amari, as seen in (2) and (3).
(2) Watashi wa {kanashimono/kanashii} amari namida mo denakatta.
(I was so sad that I couldn’t even cry (lit. Even tears didn’t come out).)
(3) Karera wa {shinpaino/shinpaina} amari shokuji mo node o tooranai yousudatta.
(It looked like they were so anxious that they couldn’t even eat (lit. Even foods didn’t go through their throats).)

3. Vinf can be either past or nonpast when it represents a past action or event, as in (4), although the nonpast form is more common.
(4) Kono kyoukasho wa bunpou o juushishita amari omoshirokunai mono ni natte shimatta.

[Related Expression]
The auxilliary verb sugiru expresses a similar idea. For example, KS (A) and (B) can be rephrased using sugiru, as in [1].
[1] A. Watashi wa sono bankoufun {no amari/shisugite} nerarenakatta.
     B. Kono kyoukasho wa bunpou o juushi {suru amari/shisugite} omoshirokunai mono ni natte shimatta.

However, there are some differences between amari and sugiru. First, amari is always a part of an adverbial clause or phrase which expresses a cause. Sugiru, however, does not always express cause and can be in the predicate of a main clause. Second, amari is used only when the verb or noun represents a psychological action or state. Thus, the following sentences are unacceptable.

image

[2] Kinou biiru o nomi amari kyou atama ga itai.
(Yesterday I drank too much beer and I have a headache today.)
Cf. Kinou amari biiru o nonda {node/tame ni} kyou atama ga itai.

[3] Tsukare no amari shokuyoku ga nai.
(I am so tired that I have no appetite.)

Third, sugiru is used in both spoken and written Japanese while amari is limited in use to formal written Japanese.