Budaya Pus Am

Sebenarnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Sedikit khawatir bila tulisan ini akan menuai kontraversi seperti jambul Khatulistiwanya Syahrini, karena artikel yang akan saya angkat menyangkut adat-istiadat masyarakat luas di daerah tempat tinggal saya. Setelah saya mempertimbangkan lebih lanjut, saya harus menulis artikel ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu hal senantiasa memiliki dua sisi yang bertolak belakang: baik dan buruk, positif dan negatif, menguntungkan dan merugikan.

Masyarakat di daerah barat daya provinsi Kalimantan Tengah mengenal budaya pus-am sejak zaman nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut yang meliputi kabupaten Sukamara, kabupaten Lamandau, dan sebagian kabupaten Kotawaringin Barat. Ada pula masyarakat di wilayah selatan kabupaten Ketapang yang terletak di provinsi Kalimantan Barat. Lalu, apakah yang dimaksud dengan budaya pus am itu?

Lebih tepatnya pus am atau kerap juga dilafalkan pusam dalam aksen cepat, adalah suatu kebiasaan masyarakat di wilayah yang telah saya sebutkan di atas, di mana mereka enggan memedulikan suatu persoalan yang mungkin dianggap penting oleh lawan bicaranya. Secara harfiah pus dapat diartikan ‘biar saja’ dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi masyarakat cenderung mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang berarti ‘masak bodoh’. Masyarakat di perbatasan Kalbar dan Kalteng seringkali melafalkannya, “pus am!” atau “pus am bah!” dengan intonasi meninggi pada kata ‘am’ dan memanjang pada pengucapan kata ‘bah’ menjadi ‘baaah!’ 

Kata ‘am’ dan ‘bah’ itu sendiri tidak memiliki makna yang berarti. Kedua kata tersebut hanya menjadi penghias kalimat, atau penekan kalimat yang mengindikasikan kasar-halusnya suatu pengucapan. Bunyi ucapan tersebut memang tidak nyaman didengar dan terkesan kasar. Akan tetapi kebiasaan mengucapkan kata-kata pus am telah mendarah daging di masyarakat sehingga menjadi tradisi. Saya kerap dibuat jengkel tatkala mendengar seseorang mengatakan pus am kepada saya. Seringnya saya mendengar kata-kata tersebut akhirnya saya menjadi terbiasa dan bersikap sabar ketika menyikapinya. Beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah saya alami dengan budaya pus am antara lain sebagai berikut:

Pertama, waktu itu saya baru menjadi seorang guru di sebuah SMA. Murid-murid saya tidak berpakaian rapi layaknya pelajar. Dan saya menegur mereka, “Tolong dimasukkan pakaiannya ya, supaya kelihatan rapi!” Namun mereka membalas ucapan saya dengan pernyataan, “Pus am, Pak! Apa guna rapi-rapi?” sambil berlalu meninggalkan saya tanpa mengindahkan teguran saya. Melihat hal itu, saya hanya menggeleng-geleng kepala.

Kedua, pernah suatu ketika saya menyuruh salah seorang siswa untuk menjenguk temannya yang beberapa hari tidak masuk sekolah. “Sudah beberapa hari Rafta tidak masuk sekolah, bisakah kamu mampir ke rumahnya sepulang sekolah nanti? Barangkali dia sakit,” pinta saya waktu itu. Tak disangka jawaban murid yang saya mintai tolong itu seperti ini, “Pus am bah! Apa guna juga menjenguk dia? Biar ja amun dia sakit.” Ujarnya dengan nada datar. Mulut saya ternganga mendengar jawaban tersebut. Apakah dia tidak memiliki solidaritas, pikir saya.

Ketiga, saat sedang ujian berlangsung salah seorang siswa tak kunjung mengisi lembar jawabannya. Sementara waktu ujian akan segera habis. Secara kebetulan saya sedang mengawas. Tentu saja begitu saya melihat kejadian itu, saya langsung menegur siswa yang bersangkutan. “Tolong lembar jawabanmu segera diisi, karena waktu ujian sudah mau habis. Maaf, saya tidak bisa memberi perpanjangan waktu untuk itu,” ucap saya dengan hati-hati. Lagi, mata saya harus membelalak lebar mendengar tanggapan si empu kertas. “Alah, pus am bah, Pak! Mau waktunya habiskah, mau diperpanjangkah nggak urus. Biar nggak dapat nilai juga!” 

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang di daerah tempat tinggal saya memiliki pola pikir yang begitu pendek. Mereka tidak mau memedulikan apa yang orang lain khawatirkan meskipun hal tersebut berkaitan erat hubungannya dengan mereka. 

Kejadian lain yang pernah saya alami, suatu hari saya melihat seorang anak balita kira-kira berusia dua tahun berjalan kaki mengikuti ibunya keluar masuk hutan untuk mencari rebung. Panas matahari begitu terik, bocah itu tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Bocah itu meraung-raung kesakitan sambil terus mengejar sang ibu yang berjalan jauh di depan. Saya tidak tega melihatnya, apalagi kaki si bocah dipenuhi luka parut akibat bergesekan dengan semak berduri dan ranting pepohonan yang tidak bersahabat dengannya. “Aduh Bu, ini anaknya kasihan luka-luka. Ayo saya antar ke puskesmas,” tawar saya seraya menggendong si bocah. Sang ibu dengan sikap acuh tak acuh, hanya menoleh ke arah saya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya jauh ke dalam hutan. “Pus am, Pak! Suruh dia jalan lagi!” teriaknya tiba-tiba dari kejauhan. Ya, saya maklum penduduk lokal memang terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Karena itulah mereka memiliki fisik yang sangat kuat. Tapi untuk anak seusia itu? Terlalu dini rasanya. Atau jiwa saya yang terlalu lembut?

Di lain waktu pernah pula seorang teman meminjam beberapa barang milik saya antara lain jam tangan, jaket, dan sepatu. Entah disengaja atau tidak, semua barang yang dipinjam oleh teman saya itu ditinggalkannya di kamar hotel ketika ia berjalan-jalan ke kota dengan kekasihnya. Setelah saya memintanya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, dengan enteng teman saya ini menjawab, “Pus am bah! Ambil aja sendiri ke hotel sana!” Grr… Benar-benar menjengkelkan punya teman seperti itu. 

Ada banyak sekali kejadian berujung pus am yang saya alami. Kebanyakan pus am-pus am itu lebih bermakna ‘Sorry ya, aku nggak peduli’. Sampai akhirnya saya memahami mengapa tradisi pus am telah mendarah daging di masyarakat sejak zaman bahari. Konon dahulu kala di pedalaman pulau Kalimantan pada masa kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, para kompeni tidak pernah sampai ke area pedalaman. Sehingga penduduk di pedalaman tidak terlalu menderita seperti halnya penduduk di kota yang notabene banyak mengalami penyiksaan. Penduduk pedalaman berjiwa bebas. Mereka berperang bukan untuk melawan penjajah, melainkan suku lain yang dianggap musuh oleh suku mereka. Begitu negara Indonesia merdeka dan pulau Kalimantan masuk ke dalam wilayah NKRI, penduduk di pedalaman tidak begitu mengerti makna sebuah kemerdekaan. Mereka kurang menjiwai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila seperti tenggang rasa, toleransi, musyawarah, dan jiwa nasionalisme. Saking kurang memahaminya, pernah saya mengunjungi suatu dusun di pelosok Kalbar pada bulan Agustus untuk melihat perayaan dirgahayu RI di sana. Setibanya di sana saya sangat kaget, karena saya merasa tiba-tiba bukan berada di negara sendiri. Sepertinya saya sudah tersesat ke Republik Polandia. Karena apa? Sang saka merah putih dikibarkan terbalik di setiap halaman rumah para penduduk dusun. Saat saya memberitahu warga bahwa pemasangan bendera di dusun mereka semua terbalik, lagi-lagi warga hanya menanggapi perkataan saya dengan kata, “Pus am!”

Apa saya terus tinggal diam menyikapi orang-orang di sekitar saya untuk melestarikan budaya pus am? Awalnya saya maklum, dan hanya bisa menerima perlakuan yang tidak mengenakkan ini secara sepihak. Seiring bergulirnya waktu akhirnya saya mencoba untuk menentangnya. Tentu saja bukan dengan cara yang ekstrim dan anarkis. Cara saya adalah menempatkan diri saya sebagai bintang drama Korea. Haha… mungkin ini lucu kedengarannya. Silakan Anda baca kembali cerita kejadian-kejadian yang telah saya alami di atas. Bayangkan kalau Anda sedang menyaksikan adegan drama Korea di mana para tokoh-tokohnya sedang cekcok satu sama lain. 

Setiap ada murid yang penampilannya tidak rapi, saya tetap menegur mereka untuk merapikannya tak peduli bila mereka mengatakan pus am kepada saya. Bila mereka tak mengindahkan perkataan saya, maka aksi drama Korea saya adalah menghalangi langkah mereka sebelum mereka berlalu meninggalkan saya. “Hey, biar saya saja yang merapikan pakaian kalian! Orang tua kalian tidak pernah mengajari bagaimana cara berdandan ya? Ayo, sini saya ajarkan sekalian! Penampilan saya sepuluh kali lebih rapi daripada Lee Min Ho. Kalian tahu itu?” Sengit saya seraya bergerak menghampiri mereka.

Setiap kali melihat murid yang tidak peduli terhadap keadaan temannya, saya membujuk mereka dari hati ke hati, “Ayolah, kalian tidak sedang putus cinta kan? Apa kamu tahu kalau dia selama ini sebenarnya sangat perhatian terhadapmu? Kamu pasti tidak tahu kan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan selama ini untukmu? Jadi, saya mohon jenguklah dia di rumahnya. Dia pasti akan sembuh setelah melihat kedatanganmu! Ayo, kita jenguk dia sama-sama!” 

Dan setiap kali saya mendapati teman yang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang mereka pinjam dari saya, maka aksi drama Korea saya selanjutnya adalah: “Bisa tolong tunjukkan kartu identitasmu? Silakan tunggu sebentar, tidak lama lagi polisi akan tiba di sini. Baru saja saya melaporkan kalau ada anggota teroris yang mengidap penyakit demensia di sini.”

Haha… Ini konyol sekali, kan? Mungkin ini terlalu frontal. Akan tetapi memang demikianlah karakteristik penduduk di daerah saya. Karakter mereka tidak berbeda dengan karakter orang Korea dalam drama. Saat seseorang bersikap frontal terhadap kita, maka cara jitu yang bisa mengatasinya adalah membalas tindakan secara frontal kembali. Bukan hanya diam menerimanya begitu saja secara sepihak. Karena itulah mengapa saya bersikap layaknya para aktor Korea.  

Usaha saya selama ini tidak sia-sia. Sebagai seorang guru yang berpacu dengan arus globalisasi, saya harus memiliki sikap kontemporer. Di mana jiwa pendidik yang bersemayam di dalam diri saya tidak harus selamanya ortodoks yang senantiasa mengikuti sikap kharismatis Oemar Bakri, sang guru teladan yang fenomenal itu. Katakan saja saya adalah seorang guru yang sensasional, tetapi justru sikap seperti inilah yang cocok diterapkan dalam mendidik putra-putri generasi muda di daerah saya. Dengan berbagai metode pendekatan sensasional yang saya lakukan terhadap orang-orang di sekeliling saya, pada saat ini budaya pus am telah berbalik memberi kesan yang jauh lebih baik daripada empat belas tahun sebelumnya. 

Ketika seorang teman belum mengembalikan uang yang dipinjamnya, sang pemberi pinjaman berkata: “Pus am bah! Enggak apa-apa, nggak dikembalikan juga. Saya ikhlas kok!” Oh, tidakkah ini sangat dermawan? 

Ketika seorang teman membayarkan makanan yang kita makan, kita bermaksud mengganti biaya yang telah dibayarkannya. Maka teman itu akan berkata, “Nggak usah diganti! Pus am bah, biar saya yang bayar!” 

Dengan demikian dari dua contoh kejadian di atas, perkataan pus am telah mengalami pergeseran makna menjadi: “Sudahlah, biar saja tidak apa-apa!” dengan penekanan yang sangat halus. Itulah pengalaman saya dalam kurun empat belas tahun terakhir mengenai budaya pus am di daerah saya. Tak diduga budaya dalam drama Korea bisa memberikan manfaat dalam kehidupan saya. Percayalah, di mana ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya ya. Salam…

Review Novel : In 10 Days

image

Hallo pembaca… kembali lagi BJ Sugih dengan tulisan barunya. Bagaimana kabar kalian semua? Kalian pasti kangen berat sama tulisanku kan? *nimbang truk sama kapal*  😅  Ngomong-ngomong gak kerasa ya sekarang sudah menginjak Ramadhan sepekan. Puasanya pada lancar nggak nih? Alhamdulillah BJ Sugih juga puasanya lancar lho (tapi kalau ada mama doank  😁). Eh, enggak ding, puasanya beneran lancar kok! Ciyus ✌! Buat kalian semua yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, Sugih ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa ya. Semoga ibadah puasa kita senantiasa dipermudah dan amal ibadah kita selama bulan Ramadhan yang suci ini diterima oleh Allah subhanawata’alla. Amin ya rabbal alamin.

Sesuai judulnya di atas, tulisanku kali ini akan membahas tentang sebuah novel yang baru-baru ini selesai kubaca. Sebelumnya aku mau  mengucapkan terima kasih banyak kepada Bli Gara yang sudah mengirimkan naskah novel ini secara cuma-cuma kepadaku  via email 3 bulan yang lalu. Betapa beruntungnya aku mendapatkan kesempatan membaca kisah cinta yang menyentuh ini *jingkrak-jingkrak senang kaya kelinci minta kawin* 🐰 . Aku berani jamin pembaca bakal termehek-mehek setelah membaca cerita novel ini 😭 . Sesuai janjiku kepada Bli Gara, pada postingan kali ini aku akan mengupas habis tentang novel ‘In 10 Days’. Namun sebelumnya aku juga mau minta maaf yang sebesar-besarnya kalau tulisanku ini sangat terlambat buat diposting. Bayangin 3 bulan pemirsa, kucing peliharaan tetangga sebelah aja udah pada ngelahirin! Miaaauw… 🐱 *diketok sama Bli Gara* (Eh enggak deng, Bli Gara kan orangnya baik, sabar, dan pengertian. Iya kan Bli?)

Oke langsung aja kita cekidot soal novelnya ya…

image

Sinopsis singkat  ‘In 10 Days’ :
Ryuta Ozaki adalah seorang secret admirer (pengagum rahasia) Sayaka Kurosaki, gadis cantik teman sekampusnya. Demi Sayaka, Ryuta selalu ada di belakangnya memberikan barang-barang yang diperlukan oleh gadis berhati lembut itu secara diam-diam, termasuk tiket konser band kesukaannya. Hingga pada akhirnya perilaku Ryuta pun tertangkap basah oleh sang pujaan hati setelah Kana Nishino, sahabat Sayaka, memberi saran kepada Sayaka untuk mengambil payung di lokernya. Hari itu turun hujan, Kana merasa yakin kalau pengagum rahasia Sayaka yang tak lain sebenarnya adalah Ryuta, pasti telah menaruh payung di loker Sayaka. Betapa terkejutnya Sayaka mendapati Ryuta di sana. Namun siapa sangka kalau gayung akan bersambut. Cinta Ryuta dengan mudahnya diterima oleh Sayaka tanpa syarat. Di mata Sayaka, Ryuta Ozaki adalah sosok pria baik-baik dan juga tampan. Walaupun dia bukan tipe lelaki yang disukainya. Hubungan pun terus berlanjut. Sayaka dan Ryuta ‘terpaksa’ menikah lantaran MBA (married by accident). Keduanya terlalu larut menikmati pesta dansa tahunan yang diselenggarakan oleh universitas mereka. Sampai akhirnya mereka berdua mabuk dan tak sadarkan diri kalau mereka telah melewati batas-batas pergaulan. Sayaka dinyatakan hamil, dan Ryuta menikahinya dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk yang menyeramkan. Sayaka enggan memakai nama ‘Ozaki’ di belakang nama kecilnya, termasuk pada nama anaknya kelak. Kemudian Sayaka melempar cincin pernikahannya dan enggan memanggil Ryuta dengan panggilan ‘suami’. Sayaka juga enggan tidur satu kamar dengan suaminya itu. Padahal Ryuta sudah menabung jauh-jauh hari untuk membeli rumah cantik impiannya demi membahagiakan Sayaka. Sikap Sayaka mendadak berubah dingin setelah upacara pernikahan usai. Sayaka mendiamkan Ryuta selama berbulan-bulan lamanya, seolah-olah Ryuta adalah makhluk asing yang tinggal di rumahnya. Tak ada sapaan ‘selamat pagi’, tak ada sarapan yang terhidang di atas meja makan setiap pagi untuk Ryuta, tak ada sambutan ‘selamat datang’ setiap Ryuta pulang kerja, dan tak ada ucapan ‘selamat tidur’ ketika mereka akan beristirahat. Alih-alih bukannya menjadi ibu rumah tangga yang baik, setelah Sayaka mengalami keguguran pun malah memutuskan untuk menjadi wanita karir di perusahaan yang telah lama ia idamkan semenjak masih duduk di bangku kuliah. Ryuta hanya bisa pasrah menerima perlakuan Sayaka terhadapnya.

Hingga pada suatu pagi di bulan November tanggal 19, Ryuta terbangun dari tidurnya. Ia termenung mengingat mimpi aneh yang dialaminya. Dalam mimpinya itu ia melihat sebuah peti mati yang ternyata di dalamnya terbaring sesosok mayat wanita yang sangat dicintainya, Sayaka. Apakah itu pertanda buruk? Anehnya setelah Ryuta mengalami mimpi aneh tersebut, sikap Sayaka berubah baik kepadanya. Sikap Sayaka kembali hangat padanya seperti saat mereka pacaran dulu. Sayaka juga selalu menyajikan sarapan untuk Ryuta. Yang paling mengejutkan lagi untuk pertama kalinya Sayaka mau diajak berziarah ke makam kakaknya oleh kedua orang tuanya. Ryuta pun diajaknya serta.  Dan yang membuat Ryuta kaget, Sayaka memutuskan untuk resign dari perusahaan tempatnya bekerja. Ryuta tak menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja. Di benaknya sepertinya Sayaka telah berubah dan ingin menjadi istri yang baik baginya. Maka Ryuta bermaksud untuk melamarnya kembali dan mengulangi pernikahan mereka. Dalam sebuah kencan ganda yang telah direncanakannya bersama Kana dan calon suaminya, Yoshihiko, Ryuta bermaksud melamar Sayaka di atas ferris wheel Daikanransha, kincir ria tertinggi keempat di dunia yang menyuguhkan pemandangan Kota Tokyo setinggi 115 meter dari atas permukaan laut. Bertepatan dengan terbenamnya matahari ketika ferris wheel yang mereka naiki berada di puncak ketinggian, Sayaka menolak lamaran yang diajukan oleh Ryuta. Bahkan setelah itu Sayaka tak pulang ke rumah bersamanya. Ia malah pulang ke rumah orang tuanya. Ada apa sebenarnya dengan Sayaka? Dan apa yang sebenarnya akan terjadi dalam waktu 10 hari?

My first impression about ‘In 10 Days’ : Sumpah, aku merasa tertipu oleh judul novel ini. Awalnya aku mengira genre novel ini adalah action semacam Mission Impossible, atau James Bond 007. Ternyata ini adalah sebuah roman. Hanya saja background yang dipakai dalam cerita ini adalah negeri sakura. Menurutku background tersebut masih kurang sesuai jika ditinjau dari segi kultur dan alur ceritanya. Mengapa? Karena terdapat beberapa hal yang janggal, antara lain sebagai berikut :

1. Penulis tidak menceritakan latar belakang keluarga masing-masing tokoh. Apakah mereka berasal dari keluarga miskin, sederhana, pas-pasan, atau keluarga yang kaya raya. Sebab banyak sekali adegan para tokoh menggunakan kendaraan pribadi. Padahal pada kenyataannya dalam kehidupan kultur orang Jepang sehari-hari, mereka lebih menyukai memakai transportasi umum seperti bis, taksi, dan kereta ketimbang mobil pribadi. Sebenarnya sih karena politik dumping yang merupakan kebijakan pemerintah sana, harga mobil di Jepang jauh lebih mahal daripada di Indo. Apalagi mereka juga gemar bersepeda dan berjalan kaki. Karena orang Jepang sangat sadar lingkungan dan senantiasa menghindari polusi. Terkecuali mereka berasal dari golongan elite kelas menengah ke atas. Okelah kalau seandainya Ryuta dan beberapa tokoh lainnya berasal dari golongan tersebut, pembaca bisa memakluminya.

2. Hubungan orang Jepang dalam lingkungannya cenderung kaku. Penulis sebenarnya sudah berhasil memaparkan hubungan antara Ryuta dengan Sayaka. Sayaka yang sungkan untuk menolak Ryuta, Ryuta yang pasrah menerima perlakuan Sayaka setelah mereka berdua menikah, dan hubungan yang canggung ketika Sayaka kembali bersikap baik padanya, sampai rahasia yang dipendam Sayaka dari Ryuta. Sayangnya penulis tidak ingat hubungan antara Reiji dengan Sayaka. Hellooo… ini siapa dengan siapa ya? Kok si Reiji lancang benar berani memeluk Sayaka hanya karena Sayaka mendapat nilai B dalam ujian skripsinya? Sahabat aja bukan kan? Kan dalam ceritanya, Reiji juga baru mengetahui perihal hubungan Ryuta dengan Sayaka. Tapi tindakan Reiji menunjukkan seolah-olah mereka adalah sahabat yang sudah lama saling mengenal. Setahuku sikap orang Jepang yang baru saja saling mengenal itu saling sungkan dan belum terlalu akrab. Terkecuali mereka telah mengobrol panjang-lebar berjam-jam seperti yang sering dilakukan oleh Kogoro Mouri dalam komik Detective Conan *huhu… ketahuan deh, suka baca komik Conan* 😅

3. Panggilan Ryuta kepada mertuanya yang hanya menyebutkan nama diakhiri –san (Tuan/Nyonya) baca : Takeo-san dan Keiko-san. Apakah hal tersebut dikarenakan Ryuta memiliki masalah dengan Sayaka? Pada kenyataannya dalam kehidupan sosial orang Jepang, ada maupun tiada masalah, seorang menantu tetap memanggil mertuanya dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua. Bahkan sebagian lain memanggil dengan sebutan ‘otosan’ (ayah) dan ‘okasan’ (ibu). Hal ini tetap dilakukan seumpama mereka telah tidak menjalin hubungan sebagai menantu dan mertua lagi, karena kasus perceraian maupun pasangan meninggal dunia. Bila seorang menantu memanggil nama (meskipun diakhiri –san) kepada mertuanya, hal ini dianggap tidak sopan di negara Jepang. Pernikahan adalah ikatan dua buah keluarga yang sangat erat bukan?

Well, kayanya aku gak bisa bicara panjang lebar untuk mengomentari novel ini. Karena selain runut meski alur ceritanya maju mundur maju mundur cantik *kata Emak Syahrini* selebihnya novel ini sangat bagus dan recommended banget buat para ibu rumah tangga yang doyan membaca novelnya Asma Nadia semacam Catatan Hati Seorang Istri. Hanya saja ini versi suaminya. Mungkin bisa juga kalau cerita ini mempunyai judul lain : Catatan Hati Seorang Suami. *Ups* Apakah para lelaki juga bisa membaca novel ini? Uhm, sepertinya novel ini cocok banget kalau dibaca para suami yang sedang galau karena ‘diasingkan’ oleh istri, ditinggal pergi oleh istri, suami yang takut kepada istri, dan sedang terancam di ambang perceraian rumah tangga. Novel ini sarat pesan moral kepada para suami dan calon suami yang sedang bersiap-siap untuk berumah tangga agar tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga seperti kehidupan-kehidupan rumah tangga di Indonesia dan di Jepang kebanyakan. Seperti yang kita ketahui banyak kepala keluarga yang senang mengamuk kepada istri dan anak-anaknya tatkala mereka sedang dilanda suatu masalah. Sering kali kita melihat para ayah di Jepang membenturkan kepala istrinya ke meja atau dinding dan mendorong tubuh mereka hingga terjatuh ke lantai. Sangat tidak manusiawi! Sikap Ryuta yang pasrah menerima perlakuan Sayaka merupakan figur suami yang tabah dan tegar, bukan berarti ia takut kepada istri. Justru ia selalu ingin membahagiakan istrinya. Ia percaya setelah hari itu mendung, matahari akan kembali bersinar cerah. Kita juga harus berhati-hati dalam membina hubungan, terutama bila kita belum menikah. Jagalah pasangan kita dari perbuatan maksiat agar kehidupan rumah tangga kita senantiasa selamat dunia akhirat.

Sebelum ulasan ini kututup, aku sempat heran dengan mimpi aneh yang dialami Ryuta. Ryuta amat takut kalau hal yang dilihatnya dalam mimpi merupakan pertanda buruk baginya : kematian Sayaka. Menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga sebagian bangsa Asia, terutama umat muslim, tabir mimpi melihat orang meninggal dunia menandakan bahwa orang yang dimimpikan tersebut akan panjang umur. Correct me if I’m wrong! Mungkin cukup sekian ulasan dariku. Selebihnya pembaca silakan membaca sendiri novel tersebut bila sudah beredar di toko-toko buku. Terakhir, aku ingin memberi ralat kepada Bli Gara, frase yang benar adalah ‘lesung pipi’, bukan ‘lesung pipit’. Karena frase tersebut mengandung makna lesung yang terdapat di pipi. Terima kasih banyak atas cerita yang luar biasa ini. Semoga karya-karya Bli Gara semakin digemari banyak orang. Sampai jumpa di tulisanku selanjutnya ya. Mata aimashou^^ 😄 👋