Setibanya aku di stasiun Bogor,aku sangat terkejut melihat perubahan yang begitu drastis dalam kurun waktu 7 tahun. Dulu stasiun Bogor dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang kumuh, dan bau. Tapi sekarang emperan yang dulu begitu sumpek telah disulap menjadi jalan khusus pejalan kaki yang ditutupi beraneka warna paving seperti di Taman Topi. Tidak ada lagi pedagang kaki lima dan tukang loak yang bertengger menghalangi stasiun. Ah, kalau menyebut tukang loak aku teringat dulu semasa SMP sangat sering membeli buku-buku pelajaran bekas di sana. Harganya relatif murah, biasanya kalau harga buku pelajaran di sekolah dibanderol Rp16.000,00, maka aku mendapatkannya di tukang loak depan stasiun dengan harga Rp3.000,00 saja. Kondisi bukunya pun masih sangat bagus dan dapat kupakai dengan baik. Suasana stasiun sekarang sangat rapi dan bersih mirip dengan suasana dalam bandara. Panorama Gunung Salak yang menjulang tinggi menambah indah suasana stasiun. Di luar stasiun telah dibuat koridor khusus pintu keluar dengan dinding besi berwarna silver berlapis kaca dengan fasilitas areal parkir yang cukup luas bahkan penuh dengan parkiran motor. Hingga terdapat pula stage stand khusus parkiran motor. Sayangnya tukang ojek terlalu memadati koridor pintu keluar. Mereka saling berebut memburu calon penumpang. Hey, mengapa sekarang jadi banyak tukang ojek di Bogor?
Koridor pintu keluar stasiun Bogor tampak dari atas jembatan penyeberangan
Melihat wajah orang Bogor yang berkulit putih bersih membuatku jadi minder sendiri. Dulu selama tinggal di Bogor kulitku juga putih seperti mereka. Berhubung aku baru keluar dari hutan pedalaman Kalimantan tentu saja kulitku sangat gelap. Pasalnya suhu udara di Kalimantan kan sangat panas. Lebih panas daripada Bogor yang berudara sangat sejuk. Jadi tidak heran dong, kalau Bogor dipenuhi pendatang dari luar Jawa. Selain karena udaranya yang sejuk juga karena Bogor sangat menjanjikan prospek masa depan yang sangat cerah kepada orang-orang kreatif yang memiliki jiwa usaha. Uniknya banyak sekali pemuda Bogor yang berpenampilan metrosexual seperti aktor-aktor Thailand, Korea, dan Jepang yang sering kulihat di tv. Hmm, jadi sekarang aku sedang berada di Bogor atau di luar negeri sih?
Pengamen di Taman Topi
Walaupun Bogor telah berkembang mengimbangi Jakarta, dengan banyak dibangunnya jalan layang dan gedung-gedung pencakar langit, ternyata angkot masih merajai jalanan kota Bogor. Begitu melihat angkot-angkot biru dan hijau yang berseliweran mataku langsung berbinar sangat senang (kumat deh sifat katrokku 😀 ). Pembaca mau tahu kenapa aku sangat senang melihat angkot? Alasannya karena di Kalimantan sangat minim sarana angkutan umum. Sebagai contoh di Kota Pontianak misalnya. Dulu saat aku tinggal di Pontianak pada tahun 2010, di sana sangat sulit sekali mendapatkan angkot bila sudah lewat dari pukul 4 sore. Karena pada pukul tersebut para supir angkot telah berhenti beroperasi guna mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah shalat maghrib. Terlebih menurut isu yang sering kudengar dari kawan-kawan orang Pontianak asli, katanya dulu malam hari di Pontianak adalah waktu kekuasaan para gangster. Maka dari itu para supir angkot tidak berani beroperasi pada malam hari. Bila kita ingin keluar malam walaupun selepas maghrib, kita harus menghubungi teman yang memiliki motor dan minta diantar. Jangan heran bila kalian melihat banyak orang yang menenteng helm di sepanjang jalan kota Pontianak, padahal mereka tidak punya motor. Sementara di Kota Pangkalan Bun, jumlah angkot masih sangat sedikit dan hanya sebatas satu jurusan yang mengitari Pasar Indra Kencana dan areal sepanjang Sungai Arut. Selebihnya orang-orang harus bepergian dengan ojek. Paling unik lagi adalah angkot di Kota Palangka Raya, pada malam hari semua angkot di kota yang dijuluki kota ‘CANTIK’ ini akan bebas trayek terlepas dari jalur yang seharusnya. Penumpang bebas merequest tujuan yang hendak dituju kepada supir angkot dengan tarif yang relatif terjangkau. Hanya saja sayangnya peredaran angkot di Palangka Raya jarang ada yang mencapai tengah malam. Jadi, bersyukurlah warga Kota Bogor dikaruniai angkot yang begitu melimpah dengan berbagai jurusan dan selalu tersedia baik siang maupun malam (non stop 24 jam). 😀
Tampaknya pertumbuhan mall di Kota Bogor sangat pesat. Jumlah mall di kota hujan ini tak terhitung bagaikan jamur yang bermunculan di batang kayu setelah hari hujan. Seingatku saat aku kelas 2 SMA, guru geografiku pernah mengatakan bahwa Kota Bogor adalah kota yang sangat sulit berkembang di antara Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Pasalnya letak geografis Kota Bogor berada pada posisi di kawasan pegunungan yang dapat menghambat laju pertumbuhan industri. Kenyataannya sekarang Bogor telah tumbuh menjadi kota yang sangat padat dan menjadi incaran para investor khususnya dari Jakarta dan Bandung. Semakin banyak perumahan elit di Bogor baik dalam kota maupun kabupaten. Demikian pula dengan halnya hotel dan sarana-prasarana yang dibuat oleh pemerintah. Rumah sakit dan pasar modern saja telah banyak didirikan hingga pelosok kabupaten dengan fasilitas yang sangat memadai dan tata bangunan yang sangat artistik layaknya di kota-kota besar. Sehingga sulit dibedakan mana wilayah kota dan mana wilayah kabupaten Bogor. Jumlah penduduk Bogor pun meningkat sangat drastis, banyak pendatang dari luar yang mencoba mengais rezeki di sini.
Tugu Kujang pada malam hari
Ini lho jalan menuju kampung kelahiranku
Setelah puas melihat keadaan Kota Bogor, aku segera menuju kampung kelahiranku : Cimanggu Kecil. Betapa terkejutnya aku melihat kantor-kantor dinas pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan di sepanjang jalan kampungku ini kini telah disulap menjadi gedung-gedung modern. Nyaris tidak ada lagi kantor-kantor bangunan Belanda yang jendela-jendela dan pintu-pintunya berukuran sangat tinggi melebihi tinggi rata-rata orang Indonesia. Jalanan tampak sangat bersih dan asri karena masih terdapat pepohonan di seputar halaman gedung-gedung kantor dinas pertanian yang kulewati. Sayangnya di tepi jalan raya menuju kampungku sekarang hampir tidak ada lagi tukang becak yang mangkal karena para tukang becak langgananku dulu sudah banyak yang meninggal dunia. Menikmati suasana kampung dengan menumpangi becak memang sangat menyenangkan. Semoga saja para tukang becak yang sudah meninggal itu kini sedang beristirahat dengan tenang.
Suasana Cimanggu Kecil, lengang dan sepi
Sesuai namanya Cimanggu Kecil memang kecil, hanya sebatas 5 RT. Rumah nenekku (bibinya mama) terletak di Gang Melati. Begitu aku memasuki gang menuju rumah nenek, buru-buru kupercepat langkah kakiku agar segera dapat bertemu dengan nenek. Tak kuhiraukan perhatian orang-orang yang menatap aneh kepadaku di sepanjang jalan. Tampaknya mereka sedang berusaha mengingat-ingat apakah mereka mengenaliku atau tidak. Nenek menyambut kedatanganku di pintu depan penuh suka cita. Air mataku nyaris menetes membasahi pipi. Kami berpelukan dan saling mencium kerinduan satu sama lain. Nenek begitu kurus dan kuyu. Mungkin beliau sering teringat kepada mendiang kakek yang meninggal dunia tepat 2 tahun lalu. Saat ini nenek adalah satu-satunya sesepuh mama yang masih tersisa. Aku senantiasa berdoa semoga beliau diberi umur panjang oleh Allah swt agar aku dapat terus dipertemukan dengan beliau meskipun kami terpisah jauh.
Setelah beberapa saat bercengkerama dengan nenek, aku memutuskan untuk melihat-lihat kembali kampung kelahiranku sekaligus bersilaturrahim dengan para tetangga yang sebenarnya masih terbilang keluarga dengan kami. Faktanya satu kampung Cimanggu Kecil adalah keluarga besar kami sendiri. Dari ujung ke ujung setiap RT masih memiliki ikatan keluarga satu sama lain. Ternyata para tetangga yang sempat mengamati kedatanganku tadi sangat kaget melihat perubahanku yang sangat drastis. Mereka nyaris tidak mengenaliku sama sekali karena sekarang tubuhku gemuk dan kulitku gelap (biar gelap tapi tetap manis kok 😉 ). Dulu aku memang sangat ramping dan sulit sekali untuk jadi gemuk sekalipun aku doyan makan. Namun seperti ceritaku pada postingan yang pernah kumuat (baca : Harus Kecelakaan Dulu Supaya Bisa Gemuk), tubuhku berhasil melar naik 25 kg. Yeah, melihat perubahan fisik yang kualami para tetangga dan saudaraku tak bosan-bosannya menjawil pipiku yang gembil. “Ya ampun Ogie… kamu sekarang gemuk sekali! Tambah ca’em aja. Coba dari dulu badan kamu kaya gini!” teriak histeris para ibu-ibu tetangga yang ngefans berat padaku. Hehehe… Ogie adalah panggilan sayang yang diberikan oleh para tetangga padaku sejak aku kecil. Saking gemasnya para tetangga padaku mereka tak henti-hentinya menawarkan makanan gratis padaku. Rambutku pun tak kunjung henti dibelai mereka. Aduuh, kok aku diperlakukan seperti anak kecil sih?
Setelah dua malam menginap di rumah nenek, tak lupa akupun menyambangi keluarga besar kakek (ayah mama) yang tinggal di wilayah Bogor barat (antara Ciaruteun-Leuwiliang). Seperti yang telah kuceritakan pada postingan sebelumnya, keluarga besar kakek adalah keluarga besar tentara dan guru. Karena sebagian besar anggota keluarga laki-laki berprofesi sebagai tentara sementara anggota keluarga perempuan dominan berprofesi sebagai praktisi pendidikan (guru dan kepala sekolah). Walau tidak menutup kemungkinan ada pula sebagian kecil yang berprofesi sebagai camat atau pejabat, artis, pengusaha, dan sekarang malah banyak yang berprofesi sebagai koki di kapal-kapal pesiar. Sayangnya tidak ada seorangpun yang mengetahui di mana keberadaan kakek saat ini. Sudah 15 tahun lamanya beliau menghilang tanpa kabar semenjak beliau memutuskan untuk merantau ke Irian pada tahun 2000. Begitu melihat kedatanganku, keluarga besar di Ciaruteun dan Leuwiliang merengkuhku dan melarang aku kembali ke Kalimantan. “Gih, sekarang kamu mengajar di Bogor saja! Uwakmu sudah lama mendirikan sekolah islam terpadu. Sekolahnya besar tapi masih kekurangan guru. Kamu pasti cocok bekerja di situ. Uwakmu pasti senang kalau kamu mengajar di sekolahnya. Kamu jadi orang Bogor lagi saja ya! Kamu harus dapat jodoh orang Bogor saja supaya kamu tidak pergi ke mana-mana!” bujuk semua keluarga. Jujur, aku memang sangat ingin kembali menjadi orang Bogor. Apalagi setelah melihat perubahan Bogor yang begitu berkembang pesat, aku ingin tinggal lagi di Bogor. Tapi tujuanku datang ke Bogor saat ini adalah untuk meraih beasiswa pasca sarjana ke luar negeri. Aku ingin mencoba peruntunganku kembali seperti saat lulus SMA dulu, apakah aku masih layak untuk mendapatkan beasiswa atau tidak? Selain itu akupun bermaksud untuk mengikuti sejumlah kursus Bahasa Inggris baik conversation class maupun persiapan untuk menghadapi test TOEFL dan IELTS guna melengkapi persyaratan pengajuan beasiswa.
Keluarga di Ciaruteun dan Leuwiliang berebut memintaku untuk menginap di rumah mereka karena mereka sangat rindu berat padaku setelah 7 tahun tak bertemu. Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di rumah keluarga yang tinggal di Ciaruteun saja. Saat masih TK aku pernah tinggal di Ciaruteun persis di samping rumah sepupu mama. Aku sengaja memilih bermalam di Ciaruteun tentu untuk bernostalgia menikmati kenangan-kenangan masa kecilku bersama para sepupu jauhku (anak-anak dari sepupu mama). Semasa aku kecil karena orang tuaku belum mempunyai rumah, kami sering berpindah-pindah ngontrak sana ngontrak sini. Hampir seluruh wilayah Bogor pernah kami jamah. Salah satunya adalah Ciaruteun, tempat yang sangat bersejarah dalam kronologi peradaban Kerajaan Tarumanegara yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kota Bogor. Aku menghabiskan masa TK di Ciaruteun. Masih kuingat dengan jelas petualangan-petualangan yang sering kulakukan ketika umurku 5 tahun itu. Mandi di sungai bersama anak-anak tetangga yang usianya lebih tua dariku dan menemukan mayat dekat pancuran air terjun, menangkap bancet (anak kodok) di tengah sawah, menghalau burung di sawah tetangga, membakar batang padi setiap panen usai, menggembala kerbau milik anak tetangga, dan memancing ikan di balong (kolam ikan) milik sepupu mama. Wah, benar-benar kenangan masa kecil yang tak terlupakan. Aku pikir aku masih mempunyai waktu yang relatif lama di Bogor, jadi kepada keluarga di Leuwiliang aku berjanji lain kali akan menginap di sana untuk menikmati nostalgia masa kecilku yang lain. Hehe…
Hanya semalam bermalam di Ciaruteun aku bergegas pulang ke Cimanggu Kecil. Nenek akan mengajakku berkunjung ke rumah Bibi Eli, bibi bungsuku (sepupu mama) yang tinggal di Graha Utama-Tangerang. Umurku dengan Bibi Eli terpaut 5 tahun. Kami pernah satu sekolah di SDN Bubulak 2 Kota Bogor. Kala itu aku baru kelas 1 SD sementara Bibi Eli sudah kelas 6 SD. Kami sering berangkat sekolah bersama. Kalau aku lupa membawa uang jajan, Bibi Eli selalu memberikan uang jajannya untukku. Setiap hari Minggu pagi biasanya Bibi Eli mengajakku pergi berenang di Mila Kencana bersama teman-temannya. Bibi yang baik bukan? Bukan main senangnya hatiku ketika nenek mengajakku pergi berkunjung ke rumah Bibi Eli di Tangerang. Terakhir bertemu dengan Bibi Eli adalah 7 tahun lalu dan Bibi Eli baru memiliki satu orang anak. Aku segera bergegas mengemasi pakaianku. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu di mana waktunya weekend bagi semua orang. Aku dan nenek terjebak kemacetan yang sangat panjang di pintu kereta Jl. Bubulak dekat Polsek Bogor Tengah dan SDN Pabrik Gas. Rupanya kereta commuter line setiap hari Sabtu menambah jumlah armadanya. Banyak penduduk Jakarta yang senang menikmati akhir pekan di Bogor. Maka tak heran bila kereta melintas setiap 2 menit sekali. Angkot-angkot pun tak dapat merayap lagi dibuatnya. Para pengendara motor pun saling berebut jalan, manakala jalan di pintu kereta itu merupakan pertigaan jalan raya. Habislah Jalan Bubulak dipenuhi kendaraan yang tak dapat melaju. Anehnya meski bersebelahan dengan kantor polisi, hanya sedikit petugas yang turun ke jalan raya. Justru malah Pak Ogah yang sibuk mengatur lalu lintas. Situasi inipun tak ayal dimanfaatkan oleh para pengamen jalanan yang masih terbilang seumuran Tegar si pengamen cilik. Nenek terlihat jenuh dengan situasi seperti ini, sedangkan aku sangat menikmatinya. Karena suasana seperti ini tidak pernah aku rasakan selama di Kalimantan.
Perjalanan ke Graha Utama-Tangerang memakan waktu 3 jam dari Bogor. Aku dan nenek sengaja turun dari angkot persis di depan kedai Mang Ujang, suami Bibi Eli. Di kedai hanya terdapat para pegawai Mang Ujang yang sedang melayani para pembeli. Namun kedatanganku dan nenek disambut hangat oleh para pegawai Mang Ujang. Kami pun langsung disuguhi berbagai kuliner andalan kedai Mang Ujang, mulai dari batagor, sate padang, somay, rujak, es campur, dan jus buah. Wah, kedai pamanku ini ternyata ramai sekali. Selang beberapa menit kemudian Bibi Eli dan Mang Ujang beserta anak-anak mereka datang membawa mobil untuk menjemput kami. Aih-aih… adik-adik sepupu jauhku ini lucu-lucu sekali. Alyssa baru kelas 2 SD dan selalu menjadi juara kelas sejak TK. Otaknya terbilang sangat cerdas, beberapa kali aku menguji kemampuannya dalam beberapa pelajaran dan Alyssa selalu bisa menjawabnya dengan benar. Maka tak heran bila di kamarnya terpajang banyak piala kejuaraan yang diraihnya atas prestasinya di sekolah. Sementara adiknya, Azam, usianya baru beberapa bulan. Tetapi begitu kugendong ia tidak menangis. Azam bahkan tertawa-tawa riang saat berada dalam gendonganku. Berkali-kali ia berusaha meraih kacamata yang kupakai. Akan tetapi selalu gagal.
Foto bawah : nenek, aku, & Azam
Mumpung berada di Tangerang lagi aku berusaha membujuk Bibi Eli agar mau mengunjungi Mang Ega, pamanku yang tinggal di Legok. Aku ingin bertemu dengan Fathiya dan Zaky lagi. Akhirnya usahaku membuahkan hasil setelah bibi mengutarakan keinginanku kepada Mang Ujang. Mang Ujang pun bersedia mengantarkan kami ke rumah Mang Ega. Nenek turut serta bersama kami karena nenek belum pernah mengunjungi Mang Ega sejak beliau pindah ke Legok. Asyik, kumpul keluarga lagi deh. Eeh, tapi baru beberapa hari yang lalu aku mengunjungi rumah Mang Ega di Legok, sekarang kok sudah lupa jalannya ya? Gara-gara jalan menuju perumahan pamanku ini terlalu banyak tikungannya, sehingga aku tidak mudah menghafalnya. Padahal waktu berkunjung ke sana beberapa hari lalu beberapa minimarket seperti Alfamart dan Indomart menjadi tempat patokanku. Namun aku baru sadar ternyata di sana ada banyak sekali Alfamart dan Indomart! Jadi Alfamart dan Indomart mana yang harus jadi patokan jalanku? Segera kami hubungi Mang Ega kalau kami tersesat di jalan. Berkat plang-plang yang terdapat di pinggir jalan, kami berhasil mengidentifikasi lokasi keberadaan kami. Tak berapa lama Mang Ega datang mengendarai motor sambil membonceng Fathiya. Segera kami membukakan pintu mobil agar Fathiya ikut bersama kami. Sementara Mang Ega menjadi pemandu jalan di depan. Untunglah akhirnya kami sampai di rumah Mang Ega, Perumahan Puri Harmoni II. Baru turun dari mobil Bibi Dijah (istri Mang Ega) menyambutku di ambang pintu sambil tertawa, “Baru kemaren pulang dari sini sekarang sudah lupa jalan? Masak dari Kalimantan bisa nyampe ke sini, lha ini masih di Tangerang saja malah lupa jalan?” derainya menyindirku diiringi gelak tawa nenek dan Bibi Eli.
Paman dan adik-adik sepupuku yang masih kecil-kecil
Zaky dan Fathiya sangat senang kami bawakan somay dan es campur dari kedai Mang Ujang. Rupanya Bibi Dijah juga sudah menyiapkan makan siang untuk kami semua. Hmm, sop ayam, yummy! Jarang-jarang aku bisa menikmati masakan bibi. Kami sekeluarga benar-benar menikmati kebersamaan kumpul keluarga yang jarang terjadi ini. Sayangnya kunjungan kami hanya berlangsung beberapa jam, kami harus kembali ke rumah Bibi Eli karena besok Alyssa harus menghadapi ujian midsemester di sekolahnya. Bibi Dijah kecewa karena aku malah ikut dengan Bibi Eli. Sebenarnya beliau berharap agar aku menggembleng Zaky dalam pelajaran Matematika. Kebetulan Zaky juga sedang menghadapi ujian midsemester. Sama halnya dengan Bibi Eli, beliau juga ingin aku mengajari Alyssa Bahasa Inggris. Siapa yang harus aku pilih? Nenek malah membujukku untuk ikut bersama Bibi Eli dengan alasan aku bisa langsung berkunjung ke rumah Bibi Yeye (adik mama) yang tinggal di Sumedang, kapanpun aku mau. Karena akses transportasinya lebih mudah didapat dari Graha Utama daripada dari Legok. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti keinginan nenek, dan Bibi Dijah pun tidak kecewa lagi.
Saat malam hari aku tengah mengajari Alyssa Bahasa Inggris, aku dikejutkan oleh kedatangan adik perempuanku. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan adikku yang kini sibuk menjadi pramugari itu. Alyssa terbengong-bengong melihat aku dan adikku, “Kok nggak pada berantem?” celetuknya dengan mimik yang polos. Aduh Alyssa, kecil-kecil kepo banget sih. Rupanya Alyssa suka membaca percekcokanku dengan adikku di berbagai media sosial. Kelihatannya Alyssa sangat dekat dengan adik perempuanku ini. Buktinya di instagram adikku banyak sekali dipasang foto mereka berdua. Walaupun aku dan adikku sering bertengkar di media sosial tapi kalau sudah bertemu di kehidupan nyata tidak ada yang dapat menghalangi kerinduan kami. Buktinya adikku malah menyuruhku pulang ke rumah Bibi Eli lagi setelah aku menyambangi Bibi Yeye di Sumedang nanti. Ia ingin menitip baju baru untuk mama kalau aku pulang ke Kalimantan. Hmm, adik yang penyayang mama.
Keesokan harinya Mang Ujang dan Bibi Eli mengajak aku, nenek, dan adikku berbelanja ke pasar yang terdapat di Graha Utama setelah Alyssa berangkat sekolah. Hari masih sangat pagi ketika kami memasuki areal parkiran pasar. Baru kali ini aku memasuki pasar tradisional dengan gedung yang modern. Pasar Anyar yang terdapat di Bogor saja kalah bersih oleh pasar ini. Bibi dan nenek sibuk berbelanja membeli sayuran kesukaan adikku, sementara Mang Ujang mengajakku dan adikku untuk membeli kue-kue penganan di salah satu sudut pasar. Wah, senangnya kalau bepergian bersama Mang Ujang. Kami tak hentinya selalu ditraktir makanan oleh beliau. Usai berbelanja sayuran tak lupa Bibi Eli menggiring kami ke butik untuk membeli baju gamis yang akan diberikan adikku kepada mama. Butik itu adalah butik langganan bibi, maka bila bibi yang memilihnya kami akan mendapatkan diskon 30%. Lumayan kan…
Foto bawah : aku, adikku, & nenek (Ups adikku belum mandi, nggak kelihatan kaya pramugari kan? 😀 )
Sepulang dari pasar, Mang Ujang membawa kami ke kedai mengambil gado-gado untuk sarapan kami di rumah. Sambil menikmati sarapan tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari mama segera kuangkat dan kuloudspeaker. Aku, adikku, nenek, dan Bibi Eli bergantian mengobrol dengan mama. Senangnya hati mama mendengar kabar kalau adikku baru saja membelikan baju baru untuknya. Hari menjelang siang aku memutuskan untuk segera berangkat ke Sumedang. Aku tidak ingin menunda-nunda waktu karena jadwalku di Pulau Jawa akan sangat padat. Masih ada agenda pertemuan dengan kawan-kawan lama semasa sekolah dulu dan juga kunjungan ke beberapa instansi untuk mencari info seputar beasiswa pasca sarjana. Bibi Eli dan adikku sempat menahan kepergianku, tampaknya mereka masih kangen berat denganku sama seperti keluarga di Leuwiliang. Berkali-kali mereka menyuruh untuk bertahan lebih lama tapi kata hatiku mengatakan kalau aku harus segera menemui bibiku di Sumedang. Tepat pukul 10 aku pamit dan berangkat menuju halte bis. Huft, perjalanan panjang ini akan sangat melelahkan. Tapi aku tetap bersemangat!
#BERSAMBUNG#