Melanjutkan Mimpi


Buku pelajaran Bahasa Jepang semasa SMA

Malam ini aku tak bisa tidur karena memikirkan teteh Syahrini yang cantiknya cetar membahana. Tugas mengisi nilai rapor belum selesai. Akh, K13 (Kurikulum 2013, red) ini amat-sangat menyusahkanku. Bagaimana tidak, rapor ini super detail dalam setiap deskripsi mata pelajarannya. Termasuk semua karakter dan kepribadian siswa harus dijabarkan secara terperinci dan mendalam. Bila kita yang pernah mengenyam kurikulum 1994 hanya bisa melihat nilai finalnya saja, maka dalam rapor K13 setiap mata pelajaran dimuat beserta rincian nilai yang pernah diperoleh siswa selama satu semester. Mulai dari nilai pe-er, nilai tugas porto folio, nilai presentasi, nilai praktik menulis, nilai praktik berbicara, nilai praktik membaca, nilai bla-bla-bla dan seterusnya. DETAIL!
Suasana kegelapan gegara mati listrik turut menyelimutiku diiringi kapasitas batrai si lepi yang tinggal beberapa puluh menit lagi. Lelah dengan pekerjaan yang kulakukan, aku pun memutuskan untuk melanjutkannya besok pagi begitu arus listrik kembali mengalir. Sejenak aku termenung mengingat kalau beberapa waktu yang lalu aku telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku begitu bahagia. Dan, aku tergerak untuk menggoreskan sedikit cerita di balik keberhasilanku itu.
Kalau bukan berkat dorongan Mbak Feli yang selalu sabar menyemangatiku. Juga Mas Adi Wibowo yang selalu memanasiku bahwa dirinya sudah tiba di Jepang lebih dulu. Mungkin aku takkan pernah sampai mengunjungi negeri matahari terbit itu. Ya, seperti yang sering kuceritakan pada postingan terdahulu, aku memang sangat menggilai negara asal kartun Naruto. Mm, bukan berarti aku sangat menyukai Naruto ya. Jauh sebelum itu aku sudah begitu mencintai Jepang layaknya suami yang mencintai istri (ehem). Meskipun pada kunjungan kemarin aku tak berhasil menemui Honami Suzuki, aku akan tetap mencintainya.
Dulu, mimpiku adalah berkuliah di Tokyo Daigaku (Tokyo University) dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan mahasiswa seperti yang sering kulihat di dorama-dorama Jepang. Aku mengikuti klub menggambar, klub musik atau klub akting seperti dalam cerita-cerita komik manga. Kemudian aku menikah dengan gadis Jepang yang wajahnya mirip dengan Honami Suzuki atau Aihara Kotoko (tokoh dorama Itazura na Kiss). Kenyataannya, manusia memang hanya bisa berencana. Keputusan tetap di tangan Tuhan. Entah mengapa semua mimpiku itu harus kukubur dalam-dalam sekian belas tahun yang lalu. Jalan hidupku tidak digariskan seperti apa yang kuangan-angankan. Tetapi aku yakin, suatu saat akan tetap ada jalan menuju ke sana. Sekarang, jawabannya telah kutemukan.
Setiap kali membaca manga, aku berpikir kalau orang Jepang memiliki kepribadian yang unik. Di balik watak mereka yang introverted, mereka sangat ekspresif dalam gambar. Goresan-goresan yang mereka tuangkan ke atas kertas memacuku untuk turut berkarya. Cerita yang mereka kisahkan tidak jauh berbeda dengan keseharianku selama ini. Sejak kecil aku sedikit introverted dan tidak begitu supel. Aku cenderung penyendiri dan sering mengurung diri di dalam kamar. Duniaku hanya buku dan televisi. Sampai akhirnya waktu SD aku mengikuti suatu perkumpulan yang anggotanya hanya terdiri dari lima orang. Aku menyebutnya Genk SEDAN (Sugih, Erfan, Dadan, Amar, dan Nico). Andai aku tidak masuk sekolah, apa jadinya nama genk kami? Kami berlima adalah para lelaki yang selalu memperebutkan peringkat kedua di sekolah. Karena bagi kami mendapatkan peringkat pertama adalah hil yang mustahal. FYI, peringkat pertama selalu diduduki oleh anak guru kami-yang berwajah cantik jelita. Kami tak pernah berpikir kalau ‘sang juara’ bisa menempati posisinya karena adanya unsur KKN (Kura-Kura Ninja), sehubungan ibunya adalah seorang guru di sekolah kami. Semua mengakui kalau dia memang sangat intelek dan tak satu pun di antara kami yang berhasil menggeser posisinya hingga kami semua lulus SD. Genk kami pun akhirnya bubar. Kami telah memilih SMP favorit masing-masing.
Memasuki SMP, aku kembali menjadi penyendiri yang hanya gemar menghabiskan waktuku untuk membaca buku. Duniaku hanya sekolah, perpustakaan kota, toko buku, dan tentu saja kamarku. Setiap akhir pekan aku selalu mengunjungi toko buku untuk membeli komik-komik terbaru. Semua serial Detective Conan memenuhi meja belajarku. Usai membaca komik, aku selalu menggurat pensil di atas kertas mengikuti lekuk wajah setiap karakter dalam komik. Aku tahu, aku sangat kesepian. Karena itulah aku berpikir sepertinya kepribadianku tidak jauh berbeda dengan kepribadian orang Jepang. Aku tidak mudah bergaul jika tidak ada yang mengajakku lebih dulu. Aku malu setiap kali harus berbicara di depan banyak orang. Sampai akhirnya, aku berusaha mengubah kepribadianku begitu aku memasuki duniaku yang baru: masa SMA.


Tumpukan komik Detective Conan yang masih kusimpan hingga sekarang

Komik manga yang pernah kubuat ketika SMP bergenre  romance-mistery terinspirasi dari Salad Days karya Shinobu Inokuma 
Saat SMA, aku mendirikan sebuah organisasi English Club bersama sekelompok kakak kelas yang memiliki idealisme yang sama denganku. Kami menamai organisasi kami, LIMIT (Lima English Society). Lima merupakan nama sekolah kami, SMA Negeri 5 Bogor. Kami berkeinginan agar anggota perkumpulan kami berhasil mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri. Tak diduga klub bahasa Inggris yang kami bentuk selalu menjadi ‘the most wanted organization’ di sekolah setiap tahunnya. Lebih dari seratus orang mendaftarkan diri setiap tahun ajaran baru dimulai.
Di luar kegiatan LIMIT, aku terdaftar sebagai anggota ‘Siswa Peduli Buku’. Tugasku adalah membantu pustakawan di perpustakaan sekolah setiap hari. Mulai dari mendata anggota perpustakaan yang aktif berkunjung, hingga menata letak buku yang telah dibaca oleh para pengunjung. Hari-hariku mulai dipenuhi warna yang indah. Lucunya sejak memasuki SMA, hidupku berubah drastis. Aku tumbuh menjadi remaja gaul dan melepas image kuper (kurang pergaulan, red) yang melekat dalam diriku semasa SMP. Aku menjadi sangat sibuk dengan berbagai organisasi yang kuikuti. Tak hanya di sekolah, aku juga aktif menjadi pengurus Bogor English Club yang dinaungi oleh RRI Bogor. Ibuku tak pernah menyangka kalau aku memiliki banyak teman dari berbagai rentang usia. Teman-temanku di Bogor English Club, bukan hanya para mahasiswa IPB tetapi juga banyak orang dewasa yang sudah bekerja mapan sebagai manager bank, dosen IPB, penyiar RRI, dokter hewan, dan lain sebagainya. Pernah suatu kali karena keaktifanku di Bogor English Club, Ibu Sjahandari selaku donatur tetap yang kebetulan berprofesi sebagai manager bank terkemuka di Indonesia, memberiku beasiswa sejumlah uang tunai yang akhirnya kubayar SPP sekolah satu semester.
Tawaran untuk membentuk perkumpulan lain juga datang kepadaku. Melihat potensi bahasa Jepang dalam diriku, guru Bahasa Jepang mengajakku untuk mendirikan perkumpulan yang kami namakan ‘Gofun Dake’, artinya ‘Hanya Lima Menit’. Jadi, dalam perkumpulan tersebut kami semua berkumpul untuk bercerita dalam bahasa Jepang di mana masing-masing anggota hanya diberi durasi lima menit setiap menyampaikan cerita. Tidak seperti LIMIT, Gofun Dake memiliki anggota terbatas. Guru kami hanya memilih anak-anak yang pernah tinggal lama di Jepang (terkecuali saya). Anggota Gofun Dake terdiri dari aku, seorang kakak kelas yang bernama Aryo dan adiknya yang bernama Satria, adik-adik kelasku Hana-chan, Putu-kun, Tina-chan, dan Rangga-kun. Kadang kegiatan kami lumayan iseng. Kami semua gemar menggambar manga. Aku dan Puan (Putu-kun) sering menggambar tokoh kartun Crayon Shinchan, Aryo-kun suka sekali menggambar Gundam, Satria-kun suka Doraemon, Rangga-kun suka Samurai X, Tina-chan suka sekali serial cantik Salad Days, dan Hana-chan sangat gemar Cardcaptor Sakura. Wah, kalau sudah menggambar kami semua akan heboh saling mengomentari dan tertawa lepas bersama karena gambar kami lucu-lucu.
Setiap kali sekolah diliburkan di luar tanggal merah, klub Gofun Dake sering melakukan kunjungan ke kedutaan besar Jepang untuk mencari informasi beasiswa. Kadang juga kami pergi mengunjungi pusat kebudayaan Jepang (The Japan Foundation) hanya untuk menonton film Jepang dan membaca buku-buku bertulisan Kanji. Biasanya kami pergi bersama dengan menaiki kereta. Selain ongkosnya jauh lebih murah, juga dapat menghemat waktu karena tidak macet dan sangat cepat. Kelakuan kami tidak jauh berbeda dengan kebiasaan orang Jepang yang sangat suka jalan kaki. Jadi, setibanya di Jakarta kami semua berjalan kaki mencapai tempat tujuan. Meskipun jauh, kami sama sekali tidak pernah merasa lelah. Kami semua sangat gembira karena melakukannya bersama-sama. Kegiatan lainnya bersama perkumpulan Gofun Dake adalah mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang dan menulis kaligrafi Kanji. Aku benar-benar bangga perkumpulan kami selalu menyabet juara dalam setiap event yang kami ikuti. Aryo-kun, Satrio-kun, dan Puan-kun secara bergiliran menyabet juara pertama lomba pidato hingga ke tingkat nasional di Bandung dan Jakarta. Sementara aku sendiri pernah menyabet juara ketiga dalam lomba menulis Kanji dan Cerdas Cermat Bahasa Jepang tingkat Nasional di SMA Negeri 46 Jakarta.
Rasanya aku senang sekali. Dengan berorganisasi aku telah mengubah kepribadianku dari yang semula introverted menjadi ekstroverted. Sepertinya hidupku mengalir seperti cerita dalam komik. Sayangnya aku tidak berhasil membangun chemistry yang baik dengan semua anggota Gofun Dake. Begitu kami lulus sekolah, perkumpulan kami bubar dengan sendirinya. Tak ada lagi penerus-penerus kami yang melanjutkan perjuangan untuk dapat meraih beasiswa ke Jepang. Atau paling tidak, menjuarai kejuaraan yang pernah kami ikuti sebelumnya. Setelah kami lulus, semua anggota Gofun Dake berhasil menggapai mimpi mereka untuk melanjutkan studi di Tokyo Daigaku. Hanya aku yang belum masuk ke sana. Tetapi seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, aku percaya mimpi untuk ke Jepang itu pasti dapat kuraih meskipun tidak berkuliah di sana.
Sejak mimpiku terkubur sekian belas tahun silam, aku tak pernah lagi menggambar. Aku telah keluar dari dunia komik yang selama ini menjadi duniaku. Cita-citaku untuk menjadi seorang mangaka (manga maker) telah kukubur sejak saat itu. Akan tetapi sekarang, setelah aku berhasil mewujudkan mimpiku ini aku mulai bergerak kembali menggores pensil di atas kertas. Mimpiku akan kulanjutkan.
NB: Liputan jalan-jalan di Jepang akan kurapel setelah perjalanan backpacking ke KorSel usai. Jangan lewatkan ya^^

Kembali menggambar manga, belum discan untuk diedit di photoshop^^


Wuah, jueleknya muintah ampwun lebih parah dari gambar anak TK. Bwahahaha…

Lomba Peneliti Belia Kalimantan Tengah Berbasis Muatan Lokal 2016

Setahun lamanya saya tidak menulis di sini. Rasa malas yang begitu besar mengalahkan niat saya untuk konsisten menulis. Pekerjaan di kantor dan di rumah yang tak pernah ada habisnya membuat saya lelah sehingga saya malas untuk menulis. Belum lagi tugas kuliah yang terus bertambah dari minggu ke minggu semakin membuat saya enggan untuk mengetik. Saya sangat capek berkutat di depan laptop terlalu lama. Ah ya, pembaca mungkin kaget mengetahui saya kuliah lagi. Belum puas rasanya dengan sederet gelar yang saya miliki. Tugas dan inisiasi yang diberikan para tutor setiap minggu membuat saya stress tingkat dewa. Bagaimana tidak, dalam satu minggu saja terdapat lebih dari 20 latihan dan inisiasi diberikan. Oh, tidaaaak… Ada Baygon di situ? Tetapi ini sudah menjadi keputusan saya. Suruh siapa bercita-cita jadi profesor?
Tapi justru karena tugas dari para tutor inilah yang menyebabkan saya pada akhirnya kembali lagi ke sini. Hallo kring… kring… olala, apa kabar dunia? Teuteup asyeek! Tugas seabreg yang diberikan oleh para tutor membuat saya harus rajin online di dunia maya. Bukan untuk membuka Fakebook dan Nitrogram, atau mencari daftar tahanan yang kabur dari LP Cipinang. Melainkan buka-buka blog orang, pemirsa! Sst… jangan bilang-bilang siapa-siapa yah kalo saya suka nyontek! Hihihi…
Nah, gara-gara sering membuka blog orang demi mencari secuil jawaban, mengapa tidak membuka blog sendiri saja? Bukankah lebih baik kita yang menjadi narasumber bagi setiap tukang nyontek musafir yang berkelana di dunia maya? Sejumlah ide untuk dituangkan ke dalam tulisan pun kembali merangsek di dalam pikiran saya. Sebenarnya sudah lama juga sih menjadi draft di kepala. Baru sekarang bisa direalisasikan. Tulisan saya kali ini akan bercerita tentang pengalaman saya mendampingi para siswa saya yang mengikuti Lomba Peneliti Belia Provinsi Kalteng 2016. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 1-4 September 2016 silam. Belum basi untuk dibicarakan, bukan? Jujur saja, ini merupakan kali pertama sekolah kami mengikuti kegiatan LPB (Lomba Peneliti Belia). Tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami tidak pernah mendapat tawaran dari dinas pendidikan kabupaten. Maklumlah, sekolah kami bukan berada di kota. Mungkin karena kebetulan tahun ini prestasi sekolah kami sangat baik dalam kontes debat bahasa Inggris di tingkat kabupaten, barulah dinas pendidikan memberi kepercayaan kepada kami untuk mengikuti kegiatan LPB di Palangka Raya. Mungkin pembaca tidak mengerti, apa korelasi prestasi debat bahasa Inggris dengan lomba ini? Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali. Namun perlu pembaca ketahui, Lomba Peneliti Belia umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mengunggah…
Sekilas mengenai Lomba Peneliti Belia, merupakan suatu kegiatan lomba penelitian yang dilakukan oleh para pelajar SMP dan SMA yang berusia maksimal 20 tahun. Karena subjeknya masih berstatus sebagai pelajar muda, maka tak heran bila lomba penelitian ini disebut Lomba Peneliti Belia. Kegiatan ini diselenggarakan setiap tahun oleh lembaga CYS (Center for Young Scientist) dan bekerja sama dengan dinas pendidikan provinsi. Hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia yang ditunjuk oleh CYS untuk melaksanakan kegiatan ini. Saya beruntung karena provinsi Kalimantan Tengah termasuk salah satu di antara sepuluh provinsi itu. Oh ya, lomba ini tidak putus sampai di tingkat provinsi saja. Tapi juga terus berlanjut hingga tingkat internasional. Saya begitu kaget ketika mengetahui bahwa perwakilan dari provinsi saya dua tahun silam berhasil menjadi juara umum di tingkat internasional. Sekali lagi, INTERNASIONAL pemirsa! (Beri tepuk tangan untuk putra daerah Kalimantan Tengah).Tidak memiliki bekal maupun pengalaman, saya mengajak 4 orang siswa yang dibagi ke dalam 2 kelompok dan saling berpasangan, untuk melakukan penelitian sederhana. Penelitian kami berhubungan dengan ekologi. Kelompok pertama meneliti suatu media yang dapat memadamkan api secara efektif, mengingat daerah saya rawan sekali terjadi kebakaran hutan. Akhirnya setelah melakukan percobaan dan berobservasi langsung di hutan belakang sekolah, kelompok pertama ini berhasil menciptakan larutan yang dapat memadamkan api hingga ke titik api di dalam tanah. Pembaca bingung kan? Sama, saya juga bingung. Bahannya sangat sederhana dan mudah diperoleh. Mudah pula pembuatannya. Tinggal campurkan saja bahan-bahan berikut ini: air jeruk lemon, larutan NaCl (bisa air garam, atau cairan infus), soda kue, dan cuka. Kemudian semprotkan larutan yang sudah dibuat ke arah titik api di lokasi kebakaran. Hasilnya, api langsung padam begitu cepat karena kinerja larutan yang efektif mencapai titik api di dalam tanah. Bahkan tidak ada asap yang tersisa. Karena bila masih terdapat asap yang tersisa dapat memicu kembali terjadinya kebakaran. Sederhana sekali, bukan?Kelompok kedua melakukan penelitian pupuk three in one terhadap berbagai jenis tanaman. Pupuk ini merupakan campuran antara kotoran hewan, limbah kelapa sawit, dan janjangan kelapa sawit yang sudah dipreteli buahnya. Campuran ketiga jenis pupuk ini diujikan terhadap beberapa jenis tanaman baik tanaman perkebunan maupun tanaman pertanian. Tanaman perkebunan yang kami uji khusus tanaman kelapa sawit. Pupuk yang kami buat bereaksi mengembalikan kesuburan tanah, dan meminimalisir tingkat penyerapan air yang berlebihan yang dilakukan oleh tanaman kelapa sawit. Seperti yang kita ketahui tanaman kelapa sawit sangat rakus akan air, sehingga tanaman lain di sekitarnya bisa mengalami dehidrasi tingkat dewa (kaya orang aja ya). Sedangkan tanaman pertanian yang kami uji adalah tanaman cabai. Luar biasa dalam hitungan hari saja tanaman cabai yang kami uji tumbuh pesat dibandingkan dengan tanaman cabai seumurnya yang tidak diberi pupuk. Dalam waktu dua minggu tanaman cabai yang diberi pupuk berbuah sangat lebat. Sedangkan yang tidak diberi pupuk tak kunjung berbuah sama sekali. Tak ketinggalan kami pun melakukan uji coba pupuk three in one buatan kami terhadap tanaman enceng gondok yang biasa tumbuh di rawa-rawa atau tanah gambut. Awalnya tanaman eceng gondok kami pindahkan ke dalam sebuah polybag berisi tanah tandus. Kemudian setelah kami beri pupuk three in one, ajaib tanaman tersebut mampu hidup hingga saat ini, pemirsa! Sedangkan tanaman eceng gondok lain yang juga dipindahkan ke dalam polybag berisi tanah kering tanpa diberi pupuk buatan kami, namun kami sirami sehari tiga kali. Hasilnya? (Mengutip perkataan Teteh Syahrini) Alhamdulillah ya, tanaman tersebut mati keesokan hari. Cerita mengenai 2 penelitian para siswa saya akan saya tulis pada postingan berikutnya.

Tibalah saatnya lomba. Kegiatan LPB Kalteng tahun ini diselenggarakan di Hotel Royal Global Palangka Raya, Jalan Tjilik Riwut KM2,5. Oh ya hotel ini cukup unik, karena saat saya menaiki lift menuju lantai 6 saya tidak menemukan adanya lantai 4. Pun begitu saat turun-naik tangga. Begitu lantai 3 dilewati langsung bablas lantai 5. Di manakah lantai 4 berada? Banyak tamu yang menduga kalau lantai 4 berada di dunia maya. Maksudnya? Kembali ke perlombaan, setelah acara dibuka secara resmi oleh perwakilan dinas pendidikan provinsi, para peserta yang mencapai 91 orang diminta untuk memajang poster penelitian dan menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan dewan juri terkait penelitian yang mereka buat. Saya sangat kagum dan bangga kepada para pelajar SMP dan SMA yang mengikuti kegiatan ini. Murid-murid saya sangat minder setelah melihat poster penelitian para peserta lain. Terlebih mereka sangat grogi melihat peserta lain sangat mantap dan meyakinkan saat menjawab pertanyaan dewan juri dalam bahasa Inggris yang amat fasih. Hanya 20 peserta yang layak masuk ke babak final. Di mana para finalis harus tampil mempresentasikan makalah yang telah mereka buat mengenai penelitian mereka di hadapan dewan juri yang super kritis (dosen berbagai universitas ternama tanah air) dan para peserta lainnya. Presentasi ditampilkan menggunakan layar LCD dengan format power point dan menggunakan bahasa Inggris. Wow cool.

Berselfie ria di depan poster penelitian kami.
Saya tidak mengira penelitian para peserta umumnya penelitian sederhana namun sangat bermanfaat bagi manusia. Beberapa penelitian yang saya ingat di antaranya ramuan kalapapa sebagai obat tonsillitis (keluar menjadi juara pertama untuk bidang ekologi), saripati tanaman cemot sebagai hand sanitizer (juara favorit pilihan juri), penerapan rumus matematika ke dalam motif batik khas Kalimantan Tengah, pembuatan aplikasi kamus 3 bahasa: Dayak-Indonesia-Inggris, penemuan lintasan bunglon (suatu alat yang dapat membuktikan bahwa energy tidak dapat diciptakan dan energy tidak dapat dimusnahkan), dan pembuatan biopolybag dari pelepah kelapa sawit, serta masih banyak penelitian lainnya yang sangat luar biasa hebatnya. Sepertinya saya tidak dapat bercerita lebih banyak lagi. Silakan amati saja galeri foto yang saya pajang di sini. Sebagai penutup, saya berharap dengan adanya kegiatan ini akan semakin banyak generasi muda Indonesia yang berhasil menciptakan suatu penemuan baru dan bermanfaat bagi masyarakat dunia. Maju terus generasi muda Indonesia!

Bersama para murid kebanggaan.

Presentasinya pakai Bahasa Inggris. Jurinya itu lho kalo nanya bilang ‘pertanyaannya simple’, tapi ko pesertanya pada kesusahan menjawabnya ya..

Ini para peneliti senior. Coba tebak, saya di mana?

Narsis bareng boleh kan?
Silakan klik LPB Kalteng 2016

Inilah Bimbel Gue!

image

Kali ini gue mau cerita soal bimbingan belajar (bimbel) gue yang udah gue diriin sebelas tahun lamanya. Pembaca mungkin banyak yang nggak percaya kalo bimbel gue udah berdiri selama itu. Sehebat apa sih bimbel yang gue punya, dan kok bisa bertahan begitu lama? Well, simak cerita gue selengkapnya aja! Sorry kalo tulisan gue kali ini nggak ada unsur komedinya. Gue mau serius cerita sama kalian semua. Araseo? (Ceileh, sok jago Bahasa Korea ya gue :)).

Seperti yang udah gue ceritain dari postingan gue terBAHEULA, bimbel gue ini gue dirikan secara nggak diduga. Ini semua di luar planning gue. Tahun 2004 gue hijrah ke Kalimantan, awalnya bukan buat ngediriin bimbel. Melainkan buat cari kerja jadi karyawan perusahaan minyak kelapa sawit. Niatnya sih waktu itu gue mau ngelamar jadi operator di perusahaan yang namanya PT. KSK (Kalimantan Sawit Kusuma), perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Kalimantan. Tapi Om gue ngelarang keras lantaran gue pake kacamata minus. Emangnya kalo pake kacamata minus gak boleh kerja gitu? Kenyataannya gue perhatiin banyak banget karyawan PT. KSK yang pake kacamata. Gak tahu kali ya cowok yang pake kacamata minus itu tampangnya manis-manis (kaya gue, Afghan Syahreza, sama Pradikta Wicaksono 😎 ). Sampe sekarang gue gak tau pasti kenapa Om gue waktu itu ngelarang keras gue ngelamar ke sana. Sampe akhirnya gue ikut kerja sama paman gue yang lain, paman yang jadi Bapak Pembangunan (alias developer) di kabupaten tempat tinggal gue. Meskipun begitu, gue nggak dapet bagian yang enaknya kok. Gue jadi kuli. Beneran gue jadi kuli! Aneh? Tugas gue ngegali tanah buat bikin kuburan gue sendiri nimbun pondasi mesjid yang lagi dibangun di Desa Pangkalan Muntai. Sumpah, ternyata berat banget! Gue harus nyangkul tanah yang kerasnya minta ampun (berhubung lagi musim kemarau), terus dibawa ke mesjid pake angkong yang jaraknya 200 meter dari lokasi penggalian. Yang bikin gue berat adalah kerasnya si tanah. Gue heran, kok bisa tanah lempung jadi sekeras batu? Pake formalin kali ya? 😅 Alhasil tangan gue lecet semua dan kapalan (ini baru cowok sejati 💪). Tapi gue gak betah kerja di sana. Kampung tempat kerja gue sepi banget, dan gue gak punya passion di bidang seni bangunan. Haha… gak bakat jadi tukang kali ya 👷🏰 .

Akhirnya seminggu kemudian gue balik ke rumah bibi gue. Kebetulan tahun ajaran baru sekolahnya adek sepupu gue yang kelas 4 SD, baru aja dimulai. Gue lihat di rapornya adek sepupu gue itu nggak ada pelajaran Bahasa Inggris. Gak tahu dapet inisiatif dari mana, gue langsung ngedatangin rumah kepseknya buat ngelamar jadi menantunya. Eh salah deng, maksud gue buat ngelamar jadi guru Bahasa Inggris di sekolahnya. Gue nggak bawa ijazah, apalagi surat kawin. Tapi Alhamdulillah, gue langsung diterima sebagai guru volunteer sama Pak Kepsek. Manakala waktu itu gue juga masih terbilang anak kemaren sore, soalnya kan gue baru aja lulus SMA. Gila, berani banget ya gue ngelamar jadi guru? Inilah petualangan pertama gue menjadi penerus Engkong Oemar Bakri (ngikutin lagunya Om Iwan Fals: Oemar Bakri… Oemar Bakri…). Tapi Engkong Oemar Bakri masih mending, berangkat ke sekolah naek sepeda ontel jadi pegawai negeri pulak! Nah gue, ke sekolah aja selalu jalan kaki. Gempor  deh kaki gue setiap hari. Engkong, sepedanya warisin atuh ke gue :oops::| .

Sejak gue ngajar di sekolahnya adek sepupu gue, bibi gue nyaranin supaya gue buka les juga di rumah. Soalnya waktu itu belum ada satu orang pun guru yang membuka usaha bimbingan belajar. Gue pikir, kenapa enggak? Toh, selama gue SMP dan SMA di Bogor, gue udah biasa ngajar les privat anak tetangga gue yang masih SD. Jiwa pendidik gue kembali bangkit. Darah ‘guru’ para leluhur gue nurun ke gue. Emang udah suratan Illahi kali ya, gue harus jadi seorang guru di Kalimantan.

image

Baru sehari buka les, murid gue udah terkumpul sebanyak 40 orang. Wow, luar biasa sekali bukan? Itu artinya perhatian masyarakat terhadap dunia pendidikan lumayan tinggi. Gue semakin semangat buat ngejalanin bimbel sampe seterusnya. Meski pelanggan gue terbilang banyak, tapi waktu itu gue masang tarif lumayan murah cuma Rp20.000,00 perbulan. Demi peningkatan penghasilan, gue terus door to door nyari tambahan pelanggan supaya bimbel gue semakin rame. Gue rela berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya (sumpah sakit banget, karena nggak ada angkutan umum di sini).

Tok! Tok!

“Ya, ada apa ya?” tanya pemilik rumah.

“Permisi Bu, maaf mengganggu. Apakah Ibu punya anak yang sedang bersekolah di SD atau SMP?” kata gue sopan.

“Ada. Emangnya kenapa, Mas? Mas mau nyulik anak saya ya?” seloroh si ibu pemilik rumah.

JEBREDT! (pintu pun ditutup).

Ting tong!

“Mau cari siapa?” tanya penghuni rumah berikutnya.

“Saya mau cari…” jawab gue.

“Maaf ya, lowongan pembantu di rumah ini sudah diisi sama saya! Silakan cari rumah lain saja ya!” penghuni rumah itupun ngelambaikan tangannya bak Miss Universe yang habis kecebur got.

Hadeuh… kenapa sih orang-orang di sini pada aneh-aneh? Tapi gue gak gentar dan terus berusaha, maju terus ketokin pintu rumah orang. Keluar masuk hutan dan perkampungan penduduk sampe nyasar di sawitan dikejar-kejar orang utan. Alhamdulillah usaha gue membuahkan hasil. Jumlah pelanggan gue menembus angka di atas 50 orang. LUAR BINASA! (Ups, maksudnya luar biasa pemirsa!). Anak-anak peserta didik gue bahkan banyak yang berhasil menembus peringkat sepuluh hingga tiga besar di sekolahnya masing-masing. Orang-orang mulai berpikiran kalo ternyata bimbel itu sangat penting, mengingat perilaku anak zaman sekarang yang pada malas belajar. Melihat keberhasilan gue dalam mendidik anak, orang-orang sekampung semakin rame berdatangan ngantri sembako buat daftar les sama gue. Saking ramenya bimbel gue, gue sampe nambah jadwal kelas malam. Malahan ada yang enggak keterima sama gue lantaran kelasnya kepenuhan (biasanya gue nampung maksimal 8 murid perkelas). Benar-benar keberhasilan yang luar biasa buat gue. Semakin dikenal dan terbukti kaya apa kualitas gue, gue mulai berani naekin tarif. Tiap tiga semester sekali gue pasti naekin tarif menyesuaikan tingkat perekonomian masyarakat di kampung gue. Yang dulu awalnya cuma Rp20.000,00 perbulan, gue naekin jadi Rp40.000,00 pas tahun 2006. Terus jadi Rp75.000,00 setelah tiga semester berikutnya. Kemudian naek lagi jadi Rp150.000,00 pada tahun 2010 dan Rp175.000,00 perbulan pada tahun 2012. Hingga akhirnya sekarang gue udah masang tarif Rp1.500.000,00 persemester. Tentunya kenaikan tarif ini gue imbangin sama fasilitas yang terus bertambah.

image

Sebenarnya bimbel gue cuma bimbel rumahan yang biasa-biasa aja. Bukan pula bimbel resmi yang punya izin operasional dari Dinas Pendidikan. Waktu itu minta izin sama dinas setempat dianggap masih kurang penting karena daerah tempat tinggal gue adalah daerah terbelakang yang sedang berkembang. Jadi gue belum terlalu mikirin pentingnya dapat izin operasional dari dinas pendidikan setempat. Tapi semenjak enam tahun terakhir, kampung gue semakin banyak perantau yang datang dari Jawa. Dan mereka turut membuka usaha buka bimbingan belajar kaya gue. Di sinilah gue mulai ngerasa izin operasional itu sangat penting demi eksistensi bimbel gue yang paling pertama ada. Meskipun begitu banyak bimbel baru di kampung gue, masyarakat menilai bimbel yang mereka bikin belum mampu menandingi kehebatan bimbel gue (ceileh… sombong amat ya gue 😚). Bimbel yang mereka bikin hanya sebatas ngajarin pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKn, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan di bimbel gue, hampir semua pelajaran diajarkan terkecuali Pendidikan Agama untuk yang non Islam. Gak mungkin kan gue ngajar pelajaran Pendidikan Agama Kristen, Hindu, atau Budha, sementara agama gue sendiri Islam! Boleh dibilang bimbel gue ini merupakan bimbel yang komplit karena berbagai bahasa asing (Inggris, Jepang, Korea, Mandarin, dan Italia) menjadi mata pelajaran optional berdasarkan kesukaan para murid. Sementara mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi pelengkap di bimbel gue. Setiap hari murid-murid les gue datang ke rumah membawa laptop pribadi  (dan sebagian lain udah gue sediakan di bimbel). Begitu mereka datang biasanya mereka bakal bertegur sapa sama semua orang di rumah pake Bahasa Inggris atau bahasa asing yang mereka suka.

“Hello, good afternoon teacher. Jal jinaeseoyo?” sapa murid-murid gue yang suka Bahasa Inggris dan Korea.  

“Good afternoon. Ne, jal jinaeseoyo!” balas gue ke mereka.

“Sensei, watashi wa shukudai ga arimasu. It’s very difficult! Oshiete kudasai ne!” celoteh murid gue yang suka ngomong Jepang campur Inggris.

“Hontou desu ka? Let’s try to solve it!” ajak gue ke mereka.

“Lao shi, wo bu ming pai! Please, repeat it once again!” Nah kalo yang ini murid gue yang jago Mandarin.

Keren kan? Kecil-kecil para murid gue udah belajar jadi polyglot niruin gue. Haha… 😆 . Oya selain jago bahasa asing,  banyak murid gue yang berhasil menjadi juara olimpiade SAINS (Matematika dan IPA) lho. Baik di tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Beberapa di antaranya ada yang sudah menembus tingkat nasional. Bayangkan, TINGKAT NASIONAL, pemirsa! Kampung gue cuma kampung kecil, bimbel gue juga bukan bimbel berkelas, tapi hasil didikan gue benar-benar ‘JADI’! Kebanyakan murid gue, walaupun sudah berhasil menjadi juara, mereka selalu ngotot sama ortunya supaya terus lanjut les sama gue. Saking ngebetnya senang diajar sama gue, sampe-sampe pernah ada murid gue yang pindah ke kota terus dia maksa ortunya supaya gue ikut pindah sama mereka. Hadeuh… aneh kan? Kalian tahu apa yang terjadi sama murid gue itu sekarang? Dia nggak mau sekolah kalo gurunya bukan gue (ini serius lho! Swear! ✌).

Semenjak munculnya banyak bimbel baru di kampung gue, gue juga gak berhenti meningkatkan kualitas pelayanan gue terhadap pelanggan. Malahan saking dianggap bagusnya kualitas bimbel gue, banyak pelanggan yang berlangganan turun-temurun mulai dari anak pertama, anak kedua, hingga seterusnya. Ditambah lagi tanpa harus bikin iklan ataupun promosi ke sekolah-sekolah, usaha bimbel gue malah dipromosiin sama para pelanggan gue sendiri. Banyak di antara mereka yang mengajak keluarganya buat jadi pelanggan gue juga. Jadi intinya gue udah gak serepot harus door to door kaya dulu lagi. Biasanya para calon pelanggan gue datang sendiri ke rumah karena mendengar promosi dari kerabat mereka soal bimbel gue.

Well, pembaca pasti bertanya-tanya sebenarnya modal bikin bimbel itu gede gak sih? Terus kaya apa manajemennya supaya bimbel kita bisa awet tahan lama dan tetap menjadi primadoni? (maaf, primadonanya lagi izin ke wc sebentar. Hihihi… 😄). Nih, gue kasih tips sama bocorannya ya. Kali aja pembaca ada yang langsung bikin bimbel sehabis baca tulisan ini.

image

1. Tempat bimbel bisa rumah pribadi. Enggak harus di pinggir jalan raya yang rame dilewatin banyak kendaraan. Kenyataannya suara bising kendaraan malah ngeganggu konsentrasi belajar para peserta didik. Kebetulan rumah gue berada di paling pojok sebuah gang (tapi mobil bisa masuk), suasananya sepi nyaris gak ada tetangga, halaman cukup luas, dan banyak pepohonan. Adem, asri, dan teduh bikin murid-murid gue nyaman belajar. Ruang belajar les hanya ada dua ruangan (indoor dan outdoor). Gue sengaja bikin kelas outdoor selain supaya murid-murid bisa menyatu dengan alam, murid-murid juga bisa menghirup udara segar, dan nggak ngerasa jenuh belajarnya.

2. Sediakan fasilitas penunjang pelajaran mulai dari buku paket, buku kumpulan soal, peta, atlas, kerangka manusia, struktur tubuh manusia, globe, CD untuk listening bahasa asing, meja belajar, mikroskop, alat musik, dll. Kisaran biayanya kira-kira Rp3.000.000,00-Rp5.000.000,00.

3. Penataan ruang belajar dibuat senyaman mungkin. Buatlah posisi duduk lesehan supaya para peserta didik nggak terlalu pegal. Ajak para peserta didik menikmati fasilitas yang kita sediakan, misalnya nonton film kartun berbahasa Inggris. Niscaya para murid cepat nyerap bahasa asing yang lagi mereka pelajari. Atau bisa juga ajak mereka nyanyi diiringi piano dan alat musik lainnya. Suasana belajar kaya gini bikin murid nggak ngerasa boring.

4. Kalau bimbel kita pengen dapet izin operasional dari dinas pendidikan, sebaiknya kita bikin izin dulu ke notaris. Persyaratannya antara lain surat keterangan usaha dari kepala desa dan  fotokopi KTP 6 orang: pembina lembaga bimbingan, ketua, sekretaris, bendahara, dan dua orang anggota lainnya. Biaya izin notaris relatif terjangkau, kemaren gue cuma disuruh bayar satu juta rupiah. Sedangkan waktu ngajuin izin operasional ke dinas pendidikan nggak diminta uang administrasi sama sekali alias free. Malahan kalau bimbel kita rutin bikin laporan ke dinas pendidikan, pihak yang terkait di dinas pendidikan bakal ngasih bantuan operasional seperti buku-buku penunjang pelajaran, meja, kursi, dan fasilitas lainnya. Asyik kan? 🙂

5. Meskipun bimbel kita udah maju, kita harus komitmen dan konsisten terhadap usaha kita! Para tenaga pengajar harus selalu mau belajar mengikuti perkembangan dunia pendidikan, dan jangan pernah ngerasa ‘mentang-mentang sudah jadi guru, kita sudah pintar, dan nggak perlu belajar!’ itu sih sama aja nonsense! Sejatinya guru itu harus selalu meningkatkan skill, supaya enggak dipandang remeh sama muridnya. Mengajar tanpa belajar itu namanya guru sombong! Belajar tanpa mengajar itu namanya guru malas dan pelit!

6. Kuasai jenis usaha! Lihat usaha bimbel yang menjadi pesaing bisnis kita. Apakah mutu kita berada di bawah mutu bimbel mereka. Kalau iya, cari segera solusinya! Kalau ternyata bimbel kita lebih baik mutunya daripada bimbel sebelah, pertahankan dan terus tingkatkan! Gue pribadi pada prinsipnya nggak pernah memandang orang yang sama-sama buka usaha bimbel sebagai saingan. Toh rezeki itu sudah ada yang mengatur, yaitu Tuhan! Gue selalu menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan ngebiarin semua berjalan apa adanya. Tukang baju aja di pasar nggak cuma ada satu kan? Biarkan konsumen yang memilih. Semakin banyak konsumen yang tahu kualitas kita, niscaya semakin banyak pula orang yang ingin menjadi pelanggan.

7. Buatlah laporan berkala mengenai pemasukan bimbel dan kegiatan bimbel supaya program bimbel menjadi terarah dan berjalan dengan baik! Ada kalanya dana yang masuk dari peserta bimbel harus dialokasikan untuk berbagai keperluan yang menunjang kegiatan bimbel. Usahakan agar dana yang masuk tidak tercampur dengan kepentingan pribadi. Jadi sebaiknya dana pribadi dipisahkan terlebih dahulu.

Well, segitu aja kali ya cerita soal bimbelnya. Semoga tipsnya bermanfaat. Kalo ada yang mau daftar di bimbel gue, gue tunggu lho… Ini alamatnya:

Bimbingan Belajar Sugih
Desa Bangun Jaya
Jalan Raya PT. KSK RT1/1
Kec. Balai Riam
Kab. Sukamara
Kalimantan Tengah 74173

Gallery

image

image

image

image

image

image

Kepulanganku ke Kalimantan yang Menyedihkan

Allowh pembaca, kumaha daramang? (Bagaimana kabarnya?) Pasti pada sehat semua kan? Syukur deh kalau pada sehat, kalau lagi sakit cepet minum Baygon ya… 😀 Ups… Kembali lagi BJ (baca : Blog Jockey) Sugih akan berbagi cerita untuk kalian semua. Sorry nih sebelumnya kalau aku lama hilang dari blogku selama beberapa bulan terakhir ini. Maklum, berhubung aku sudah kembali ke Kalimantan aku terlalu serius bermeditasi di rimba raya pulau ayam betina ini. Wuahahaha… *lalat masuk mulut* Eh ngomong-ngomong soal Kalimantan, kalian sependapat nggak dengan pikiranku kalau pulau ini bentuknya mirip dengan ayam betina yang sedang bertelur? (Pembaca menyahut : “Hah, ayam betina?”) Iya, bener! AYAM BETINA YANG LAGI NELOR! (tuh, sudah diCAPLOCKS kan! Eh salah, maksudnya diCAPSLOCK!) Coba deh bayangkan Sabah (Malaysia) itu kepala ayamnya, terus Sarawak (Malaysia) sayapnya, dan wilayah Kalimantan (Indonesia) adalah badannya yang lagi duduk mendekam di atas sarangnya. Sementara Pulau Laut yang terletak di sebelah tenggara Provinsi Kalimantan Selatan diimajinasikan seperti sebutir telur yang menggelinding keluar dari bawah perut induknya. Nah, gimana? Nggak nyambung kan? Itu pasti karena khayalanku yang terlalu tinggi. Gkgkgk… *ketawa sambil keselek sepatu* 🐔🐤🐥🐣

Tuh, imajinasiku nggak salah kan?

image

image

Hmm, sebenarnya selama dua bulan terakhir ini pikiranku sedang rusuh:|:(. Sampai-sampai aku malas membuka lagi blogku yang tercinta ini. Padahal banyak sekali notifikasi yang masuk ke blogku ini. Ada pembaca yang minta foto plus tanda tangan-lah, ada yang pengen ketemuan-lah, yang mau pinjem duit juga ada ✋#PLAK *Ditampar pembaca penulisnya ngibul*. Selama dua bulan terakhir aku sering melamun, menangis sesenggukan, dan tertawa-tawa sendiri di dalam kamar. Pembaca pasti mengira aku gila kan? Kalau diperiksakan ke psikiater atau psikolog, mereka pasti akan memvonisku bahwa aku jauh lebih akut daripada gila! 😱 Jadi, aku ini kenapa? Apakah aku sudah menjadi teman seperguruannya Wiro Sableng? Wow, asyik dong! Berarti guruku adalah Sinto Gendeng yang nyentrik itu. Hoho… Salam hormat, Guru! 😀 😘🙏

Hallo Bro, what’s up Bro?^^

image

Pembaca masih ingat kan ceritaku pada postingan sebelumnya? (Pembaca menyahut : NGGAK!!!) Hadeuh, pembacanya habis kebentur tembok ya, jadi pada amnesia! Kepulanganku ke Kalimantan Tengah adalah memenuhi perintah mantan atasanku (sebut saja Mrs. Headmi-STRESS) bahwasanya namaku telah terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi di dinas pendidikan kabupaten. Mendengar sertifikasi, siapa sih yang tidak menginginkannya? Apalagi tunjangannya! Padahal saat menerima panggilan dari Mrs. Headmi-STRESS, aku sedang berada di Pulau Jawa guna mempersiapkan aplikasi beasiswa S2 ke luar negeri. Akhirnya aku terpaksa menunda pengajuan aplikasi beasiswa itu lagi. Lantas aku segera pulang untuk menyerahkan berkas sertifikasi ke kantor dinas pendidikan kabupaten. Waktu yang kumiliki hanya tersisa satu hari, deadline penyerahan berkas ke kantor dinas jatuh pada tanggal 16 Maret silam. Sebelum berangkat ke kantor dinas, pagi-pagi sekali aku datang ke sekolah tempat terakhirku bekerja untuk menjumpai Mrs. Headmi-STRESS dan meminta tanda tangan beliau. Namun sayangnya Mrs. Headmi-STRESS sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Mau tidak mau aku harus menghubungi pihak dinas pendidikan kabupaten agar berkenan memberikan kelonggaran waktu untukku. Dengan resiko aku harus membayarnya dengan menerima makian dari staf kantor dinas yang kuhubungi. Hiks nasib diomeli… T_T  😭 *Ijah pembantu tetangga sebelah rumah pun ikut menitikkan air mata* “Terima kasih ya, Ijah!” (Mata saya kepedesan ngiris bawang, Pak!–> sahut Ijah) #GUBRAK! 😥

Selagi aku mengunjungi sekolah, aku pun bertemu dan berkenalan dengan Bu Atun (bukan nama sebenarnya, karena beliau adalah tersangka kasus pembunuhan kecoa di rumahnya), guru baru yang menggantikan posisiku setelah aku hengkang dari sekolah. Setelah berbasa-basi sebentar, Bu Atun menanyakan berkas apa yang kubawa. Tanpa meminta izin terlebih dahulu beliau langsung melihat-lihat map yang kubawa. Beliau langsung memprotes mengapa aku memiliki berkas-berkas pengajuan sertifikasi sementara beliau tidak. Well, tentu saja aku punya karena aku sudah menghonor sangat lama : SEBELAS TAHUN sodara-sodara. Salahkah aku bila namaku terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi setelah pengabdian yang begitu lama? Sedangkan Bu Atun sendiri baru menghonor beberapa bulan di Kalimantan. Selebihnya beliau lebih lama menghonor di Pulau Jawa. So, mengapa beliau tidak mengikuti sertifikasi di Pulau Jawa saja. Pemirsa setuju? Lucunya Bu Atun menggugatku karena aku masih memiliki Surat Keperjakaan, eh salah, maksudku Surat Keputusan (SK) Kepala Sekolah yang menyatakan kalau aku masih aktif mengajar. SK tersebut memang dibuat oleh kepala sekolah atas inisiatif kepala sekolah (Mrs. Headmi-STRESS) sendiri. Saat meneleponku selagi aku masih di Jawa, Mrs. Headmi-STRESS memohon padaku agar bilamana aku lolos sertifikasi maka aku harus kembali aktif mengajar di sekolah. Tentu itu adalah sebuah komitmen, bukan?

Pada hari selanjutnya, Mrs. Headmi-STRESS berhasil kutemui setelah beberapa kali bolak-balik di teras rumahnya. Pembaca jangan meniru perilaku mantan pimpinanku ini ya, Mrs. Headmi-STRESS baru berangkat ke sekolah pukul 8 pagi, di mana pada pukul tersebut rekan-rekan kerjaku pun baru mengisi absen di kantor guru sambil ngopi dan sarapan pagi. Sedangkan para murid sudah masuk ke lingkungan sekolah sejak pukul 05.30 pagi. Hebat kan para murid di sekolahku itu? Mereka luar biasa disiplin.  Mereka belajar tidak dibimbing oleh para guru lho, melainkan oleh ketua kelasnya! Keren kan? *Ayo kumpulkan orang tua murid, kita demo sekolahnya!* GLEKH! 😅

Mrs. Headmi-STRESS bukannya mempersilakanku masuk ke dalam rumahnya malah menyuruhku untuk merapikan berkas di sekolah. Otomatis ini akan mengulur waktu keberangkatanku ke kantor dinas pendidikan kabupaten karena aku harus menantikan beliau selesai berdandan. Manakala staf pegawai dinas yang kuhubungi kemarin memintaku untuk datang selambat-lambatnya pukul 2 siang. Sedangkan lagi perjalananku dari sekolah menuju kantor dinas pendidikan memerlukan waktu sekitar 3 hari 3 malam (itupun kalau sanggup jalan kaki 😛 ). Yang membuatku kesal pada hari itu adalah Mrs. Headmi-STRESS malah sengaja mengulur-ulur waktu sehingga membuatku berangkat agak siang. Sempat kulihat olehku Bu Atun menemui Mrs. Headmi-STRESS di ruangannya. Tampaknya mereka terlibat percakapan yang sangat serius. But I don’t know what’s the topic about…  Apakah Mbah Google mengetahuinya?

Yeah, akhirnya seluruh berkasku telah ditandatangani dan dilegalisir oleh Mrs. Headmi-STRESS. Berhubung aku sudah tidak memiliki kendaraan pribadi, aku terpaksa berangkat ke kantor dinas dengan menumpangi speedboat. Pembaca tahu speedboat enggak? Kalau belum tahu, speedboat itu adalah kapal pesiar mewah yang dapat menampung delapan sampai sepuluh orang penumpang dengan kecepatan yang maha dahsyat dan mengalahkan kecepatan kilat saat balapan dengan petir. Sayangnya ketika aku tiba di pelabuhan speedboat, matahari sudah tinggi (heran matahari kok bisa tinggi ya, padahal tidak minum susu *pembaca ikut nyeletuk*), sehingga suasana di pelabuhan pun sudah sangat sepi. Tidak ada satupun calon penumpang yang menampakkan batang hidungnya (untung bukan batang kemaluannya ye…😜). Alhasil kalau sudah begini aku harus pasrah kepada supir speedboat yang suka memasang tarif semaunya. Kata ‘sepakat’ pun terpaksa ditempuh setelah supir speedboat menyebutkan Rp400.000,00 sebagai ongkos perjalananku pulang pergi. Tarif tersebut termasuk mahal bagiku, karena tarif umum sebenarnya hanyalah Rp60.000,00. Berhubung sekarang mencarter, apa boleh buat daripada tidak berangkat sama sekali. Heuh, jadi seperti bos besar saja pakai acara mencarter speedboat segala. Mana uang tabungan sudah menipis sisa ongkos pulang dari Jawa. Sepanjang perjalanan di atas speedboat dalam hati aku tak putus berdoa,”Ya Allah, tolong Baim Ya Allah!” eh salah deng, doaku kira-kira begini : “Ya Allah, semoga semua pengorbanan hamba ini tidak sia-sia. Hamba sudah banyak mengorbankan biaya, waktu, pikiran, dan tenaga untuk masa depan hamba. Kiranya mudahkanlah jalan hamba untuk meraih kesuksesan. Amin.” Setibanya aku di kantor dinas pendidikan kabupaten, aku beruntung tidak bertemu dengan staf yang mengomeliku via telepon kemarin. Langsung saja aku menaruh berkasku di atas meja si pengomel tersebut yang konon kata teman-temannya sedang menikmati makan siang di luar. Segera kuambil langkah seribu sebelum staf itu kembali ke kantor dan mungkin akan menatapku dengan sinis karena keterlambatanku menyerahkan berkas. Lha wong kabar yang kuterima dari Mrs. Headmi-STRESS saja telat, jadi salahkah kalau aku terlambat? 🐣

2 Minggu kemudian…

Whatsapp from Mrs. Moon… (maaf demi keamanan bumi dan jagad raya, nama terpaksa disamarkan) : “Good afternoon Mr. Sugih. How are you?”
Me: “Good aftie Mrs. Moon…  Jus sosro (maksudnya ‘Just so so’), and you?”
Mrs. Moon… : “Very well, ngomong-ngomong kenapa Mr. Sugih mengundurkan diri dari sertifikasi?”
Me (mata melototin layar hp) : “HAAHH?” 😨
Mrs. Moon… : “Lho emangnya enggak ya?” 😓
Me (calm down) : “Ya enggaklah Bu, ngapain saya ngundurin diri dari sertifikasi?” 🐙
Mrs. Moon… : “Ya, saya pikir juga gitchu. But my hubby bilang YES!” 🐳

*Azeeek… aku dapet YES!* 🙌

Me (melototin layar hp lagi) : “Ciyuz Bu? Bukan Mie Bakso kan?” 🐨
Mrs. Moon… : “Uhm, gimana ya… Sebaiknya Bapak hubungi orang dinas pendidikan kabupaten deh!”
Me (penasaran) : “Madam, kasih tahu dong ada apa sebenarnya?” 🐲
Mrs. Moon… : “Just call kantor dinas, OK?”
Me (hopeless) : “Alright, thank you for your information!” 👍
Mrs. Moon… : “Anything for you!” 🐧

Entah mengapa semenjak hari itu aku menjadi gelisah sendiri (pengennya sih ditemenin sama Chelsea Islan). Ingin menghubungi kantor dinas takut kena omel seperti kejadian dua minggu lalu. Akhirnya kuputuskan untuk memancing ikan bersama Mrs. Moon… agar beliau bersedia menceritakan hal yang disembunyikannya dariku.

Me : “Hallo Bu, saya sudah menghubungi kantor dinas tetapi mereka tidak memberikan informasi apapun mengenai berkas sertifikasi saya.”
(sorry Mrs. Moon… I’m lying).
Mrs. Moon… : “Masak sih, Pak? Padahal suami saya bilang dia melihatnya sendiri lho Pak!”
Me : “Melihat apa Bu?”

*Badan langsung merinding jangan-jangan suami Mrs. Moon habis melihat penampakan di rumahnya. Hiii….* 😨

Mrs. Moon… : “Tapi jangan bilang ke orang lain, kalau saya yang ceritain soal ini ke Bapak ya Pak!”
Me : “Of Course!” ✌
Mrs. Moon… : “Suami saya melihat Mrs. Headmi-STRESS membuat surat pengunduran diri Pak Sugih dari tes sertifikasi, dan Mrs. Headmi-STRESS sudah memalsukan tanda tangan Pak Sugih di atas materai pada surat tersebut.”
Me : “impossible! Mrs. Headmi-STRESS justru yang menyuruh saya pulang ke Kalimantan untuk mengikuti tes sertifikasi. Bagaimana mungkin beliau membuat surat pengunduran diri saya dari sertifikasi?”
Mrs. Moon… : “Saya juga bingung, Pak. Padahal hubungan Bapak sama Mrs. Headmi-STRESS baik-baik saja kan?”
Me : “Kami nggak ada masalah kok, Bu. Mrs. Headmi-STRESS malah meminta saya untuk kembali mengajar di sekolah kalau saya lulus tes.”
Mrs. Moon… : “Mungkin ada faktor lain yang menyebabkan Mrs. Headmi-STRESS memalsukan tanda tangan Bapak.”

Ooh… tega sekali Mrs. Headmi-STRESS mempermainkanku. Belum tahu dia kalau aku ini adalah siluman terganteng kesayangan Ratu Hangcinda. Bisa terjadi badai salju di Kumayan kalau dia berani mempermainkanku. Oh merapi dan laut….  Ups…. (Kok ceritanya jadi gene seh? *pembaca mulai sewot*). Maaf… maaf pembaca, penulis terbawa es-mosi 😅. Dia yang memaksaku pulang ke Kalimantan agar aku mengikuti tes sertifikasi, akan tetapi justru dia juga yang menghapus namaku dari calon peserta sertifikasi. Tidak ingatkah dia betapa besarnya pengabdianku kepada sekolah selama ini? Betapa banyak murid di sekolah kami yang berhasil menyabet gelar juara Olimpiade Sains baik tingkat kabupaten maupun provinsi berkat bimbinganku, karena guru-guru lain merasa tidak mampu. Setiap tahun sekolah kami selalu memborong seluruh kejuaraan olimpiade sains di daerah kami hingga tidak ada sekolah lain yang mampu menandingi sekolah kami. Bayangkan sodara-sodara, tahun ini saja semua juara 1-2-3 Olimpiade Matematika dan IPA diborong oleh sekolah kami tanpa ada yang tersisa.  Semua orang mengatakan mengapa sekolah kami selalu menjadi juara karena sekolah memiliki ‘aku’. Guru yang paling dielu-elukan masyarakat sebagai guru terpintar di daerah kami. Guru yang selalu diandalkan oleh pihak sekolah dalam berbagai perlombaan hingga sekolah mendapat anugerah sekolah unggulan. Bahkan sampai aku mengundurkan diri dari sekolah pun, semua pihak sekolah masih terus mendatangiku untuk meminta bantuanku di saat sekolah mengikuti suatu lomba. Apakah tidak ada guru lain di sekolah yang dapat diandalkan selain aku? Mereka selalu menjawab : “TIDAK ADA!”

Setelah mendengar kesaksian Mrs. Moon dan suaminya, aku tidak mendatangi Mrs. Headmi-STRESS sama sekali untuk meminta penjelasan darinya. Orang-orang di sekelilingku mengomporiku agar aku menuntut Mrs. Headmi-STRESS karena telah memalsukan tanda tanganku. Sebentar, mengompori artinya memberi kompor ya? Azeeek… kita masak yuk! Eeh… *salah fokus*. Namun aku pikir, apa gunanya pula menuntutnya sedangkan hal itu tidak dapat mengembalikan keadaan menjadi seperti semula. Meskipun akhirnya aku mendengar langsung kesaksian dari guru-guru lain bahwa apa yang telah diceritakan oleh Mrs. Moon… padaku adalah benar. Ternyata secara terang-terangan Bu Atun telah mendesak Mrs. Headmi-STRESS agar namaku dihapus dari daftar calon peserta sertifikasi dan digantikan oleh Bu Atun karena Bu Atun sangat berkeinginan sekali mendapatkan tunjangan sertifikasi.

“Pak Sugih kan sudah tidak mengajar lagi di sekolah ini. Jadi untuk apa dia didaftarkan sertifikasi? Mending diganti saya aja, Bu! Toh, saya kan guru penggantinya!” 👻 cerita para guru menirukan ucapan Bu Atun saat mendesak Mrs. Headmi-STRESS (untung bukan menirukan suara binatang ya 😛 ).

image

Aku heran pembaca, mengapa di dunia ini banyak sekali orang yang rakus akan harta? Meskipun Bu Atun adalah pendatang namun beliau termasuk orang yang cukup kaya di desa kami. Ayahnya membuka usaha toko kain dan konveksi. Bu Atun sendiri meskipun belum berkeluarga namun memiliki usaha toko kelontong yang sangat besar di desa kami. Beliau bahkan memiliki beberapa unit truk dan beberapa pegawai di tokonya. Lantas belum cukup jugakah dengan gaji honor yang diterimanya dari bendahara sekolah setiap bulan? Sampai harus menggeser namaku dari calon peserta sertifikasi hanya untuk mendapatkan uang tunjangannya.

Mungkin saat ini aku terpuruk karena kebodohanku yang mau saja disuruh kembali ke Kalimantan hanya untuk dipermainkan. Sedangkan angan-angan yang belasan tahun lamanya kuimpikan untuk dapat mengecap pendidikan di luar negeri, lagi harus kuurungkan. Selama beberapa hari aku mengurung diri di dalam kamar berintropeksi diri adakah selama ini aku telah berbuat salah kepada orang lain. Jika ada, mungkin ini adalah teguran dari tuhan untukku. Mama turut sedih melihat keterpurukanku. Mama bahkan merasa sakit hati oleh perbuatan Mrs. Headmi-STRESS sang kepala sekolah yang tidak bertanggung jawab. Di saat yang bersamaan dengan masalah ini, seorang murid kebanggaanku berhasil menembus olimpiade sains nasional. Kepada pihak sekolah muridku ini memohon agar dia mendapat bimbingan ekstra dariku lagi. Dia tidak mau dibimbing oleh guru lain, karena dia merasa hanya akulah satu-satunya guru yang dapat membimbingnya dalam olimpiade. Hanya dengan bimbinganku dia mudah mengerti persoalan matematika yang tidak dipahaminya. Akhirnya pihak sekolah pun menghubungiku dan memintaku untuk membimbingnya. Haruskah aku menolak permintaan pihak sekolah setelah aku dipermainkan oleh sang kepala sekolah? Hatiku berontak mengatakan TIDAK! Enak sekali mereka masih berani memerasku setelah apa yang mereka perbuat terhadapku. Akan tetapi aku tetap membimbing murid kebanggaanku itu. Bukan demi sekolah. Melainkan karena dia adalah jerih payahku. Aku yang telah membinanya selama ini. Semoga kesuksesan muridku ini menjadi tamparan keras bagi Mrs. Headmi-STRESS bahwa akulah yang berdiri di balik kesuksesan muridku itu.

Selang beberapa hari setelah aku selesai membimbing murid kebanggaanku, tersiar kabar dari rekan sesama guru yang kebetulan mengantarkan berkas sertifikasi milik Bu Atun ke kantor dinas pendidikan provinsi (Eh, kirain kantor polisi).

“Wah Pak, Bu Atun menangis sesenggukan sepanjang malam kata bapaknya!” cerita Bu TEB (yang enggan disebutkan nama aslinya).

“Kenapa Bu?” tanyaku sedikit cuek. 😚

“Berkas sertifikasi Bu Atun ditolak mentah-mentah oleh dinas pendidikan provinsi karena beliau mengikuti sertifikasi tidak sesuai dengan jalur yang seharusnya. Bu Atun itu kan sarjana agama, seharusnya beliau mengikuti tes sertifikasi melalui Departemen Agama, bukan Departemen Pendidikan. Beliau bersikeras ingin menggantikan Pak Sugih yang di jalur Departemen Pendidikan karena beliau tidak memenuhi kualifikasi di jalur Departemen Agama,” runut Bu TEB panjang kali lebar tetapi tidak menghasilkan luas.

Dalam hati aku berkata, “Itulah kekuasaan Illahi! Tuhan itu Maha adil. Dia Maha mengetahui mana yang berhak dan mana yang tidak layak!”

Suasana kelas terbuka bimbingan belajarku

image

image

image

Sekarang hari-hariku penuh dengan kegiatan mengajar di Bimbingan Belajar-ku lagi. Rumahku selalu penuh tawa canda murid-murid les yang selalu menjadi kebanggaanku. Walaupun aku belum menikah, namun kehadiran mereka di rumah rasanya membuatku telah menjadi seorang ayah. Di saat kalian mempunyai masalah, jangan sampai kalian mengorbankan buah hati yang kalian sayangi! Itulah hikmah yang kuambil dari permasalahanku. Pesanku kepada pembaca, jika kalian memiliki suatu tujuan hendaklah kalian fokus terhadap tujuan kalian. Jangan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat membuat kalian berbelok dari tujuan kalian. Selain mengajar saat ini aku juga cukup sibuk dengan persiapan tes TOEFL-ku. Setiap hari aku belajar Bahasa Inggris online lho. Semoga aku tetap bisa mewujudkan impianku untuk melanjutkan pendidikanku di luar negeri.  Terima kasih buat kalian yang sudah baca. Salam…. Sampai jumpa di tulisanku berikutnya ya. Oh ya, buat kalian yang sedang sakit semoga cepat sembuh, jangan lupa minum obat! (pesanku yang menyuruh kalian minum Baygon, maaf itu cuma bercanda. Jangan masukkan ke dalam hati ya, masukkan ke rekeningku saja! Hehehe… 😉 ) Bye… bye…  👋

Belajar English British

Buat kamu-kamu yang sedang ingin belajar bahasa Inggris British tapi tidak memiliki cukup uang untuk mengikuti kursus di lembaga formal, sementara kamu sangat berkeinginan mendapatkan skor tinggi pada tes IELTS, tidak usah cemas! Sebab bagi para pengguna ponsel android sekarang Play Store telah menyediakan aplikasi gratis : Learn English by Listening.

image

Dalam aplikasi ini terdapat enam level yang masing-masing level memuat sekitar 85-115 artikel wacana bahasa Inggris dilengkapi file suara yang dibacakan oleh native speaker. Keunggulan aplikasi ini adalah selain kita dapat mempelajari aksen British yang sangat kental, juga banyak sekali wawasan yang bisa kita peroleh. Seperti kehidupan di Canada, Australia, dan New Zealand. Selain itu artikel dalam aplikasi inipun banyak memuat tentang para tokoh dunia yang sangat legendaris.

Tutur kata yang disampaikan oleh para native speaker sangat easy-listening karena artikel dibuat secara bertahap mulai dari level satu yang sangat slow saat membacakan wacananya, kemudian sedikit lebih cepat dan semakin cepat pada tingkat level-level selanjutnya. Nah, tunggu apa lagi segera download sekarang juga aplikasi ini!

NB : Jangan lupa beri rating ya di Play Store  🙂

Nenek Meninggal

Kira-kira 2 minggu lalu tersiar kabar dari keluarga di Pulau Jawa bahwa Umi Ating (bibinya mama) meninggal dunia. Meskipun beliau bukan nenekku secara langsung namun kabar duka tersebut sangat membuatku terpukul. Pasalnya sudah 6 tahun aku tidak bertemu beliau dan kini di saat aku merindukannya, beliau telah berpulang ke Rahmatullah. Tidak ada suara burung gagak yang biasanya mengabari kami bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Tidak ada mimpi gigi tanggal sebagai pertanda yang dapat kami tafsirkan. Tidak ada nasi yang selalu menjadi basi sebagai mitos kepercayaan orang Sunda bila akan kehilangan seseorang. Ya, kabar itu tiba-tiba datang begitu saja. Hari-hari sebelumnya saat aku mengajar murid lesku, entah mengapa aku mencium bau napas Umi Ating yang sangat kukenal. Aroma napasnya adalah aroma napas orang yang selalu menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Quran. Begitulah biasanya yang dilakukan oleh nenekku itu.

Keluargaku adalah keluarga besar. Hampir semua keluarga dari kakek (ayahnya mama) berprofesi sebagai tentara dan guru. Dan satu dari kedua profesi tersebut menurun padaku. Umi Ating adalah adik kakek nomor pertama dari sekian jumlah bersaudara yang tidak kuketahui pasti saking besarnya keluarga kami. Beliau adalah seorang pensiunan guru pengajar Bahasa Sunda dan Bahasa Inggris. Kedekatanku dengan beliau bermula ketika aku akan mempersiapkan diri menghadapi ujian kelulusan SD yang pada masa itu dikenal dengan istilah EBTANAS (evaluasi belajar tahap akhir nasional). Beliau banyak memberiku ilmu guna menghadapi EBTANAS. Dan subhanallah hasilnya dari 5 mata pelajaran yang diujiankan nilai rata-rataku kontan di atas 8,5 hampir menembus 9 dengan nilai tertinggi Matematika 9,5. Padahal sebenarnya aku ingin sekali bisa menyaingi kepintaran mamaku yang nilai rata-rata EBTANAS-nya menembus angka 10 pada masa SD-nya. Tapi apalah daya kemampuan otakku hanyalah separuh kemampuan otak mamaku.

Umi Ating selalu rutin memberiku bimbingan pelajaran termasuk materi agama. Karena beliau dikenal sebagai pemuka agama di daerah kami. Setiap kali kami bertemu hal pertama yang beliau tanyakan padaku adalah, “Apakah kamu sudah shalat, Sugih?” Bahkan Umi Ating selalu mengajariku mengaji Al-Quran beserta ilmu tajwid yang terkandung di dalamnya. Masih kuingat dengan jelas beliaulah orang pertama yang memberitahuku tentang huruf-huruf qolqolah dengan rumus ‘bajuditoko’. Beliau juga yang menceritakan kisah para nabi yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Beliau sangat praktis dan sistematis saat mengajar sehingga ilmu yang ditransferkan sangat mengena dan membekas dalam ingatan.

Sebelum masuk SMP, pada suatu sore Umi Ating mengajakku melihat sebuah sekolah negeri terfavorit di kota kami. Menurut cerita mama, dulu mama sangat berkeinginan bisa bersekolah di sana namun mama gagal karena tidak mampu secara finansial. Lalu Umi Ating bercerita pula kepadaku kalau sekolah yang sedang kami lihat itu banyak menghasilkan artis-artis ternama ibukota. Hatiku pun tergugah ingin bisa masuk ke sana. Alhamdulillah sekolah tersebut menerimaku karena NEM (Nilai Ebtanas Murni)-ku di atas passing grade sekolah tersebut. Mamapun bangga kepadaku.

Setelah aku masuk SMP, jujur aku sangat minder karena teman-temanku mayoritas berasal dari kalangan kelas atas. Banyak dari mereka yang merupakan anak pejabat, dosen perguruan tinggi terkemuka, ilmuwan peneliti, pengusaha, dan artis terkenal. Hal yang membuatku sedih kala itu aku sangat tertarik dengan mata pelajaran Bahasa Inggris namun teman-temanku mencemooh pronunciation-ku setiap aku berlatih speaking. Kata mereka apa yang kuucapkan hanyalah cuap-cuap tak jelas. Lantas mereka memamerkan kemampuan mereka berbahasa Inggris hasil dari pengalaman tinggal di luar negeri bertahun-tahun. Kuakui kemampuanku masih nol dibandingkan mereka. Bahkan untuk mengucapkan nama ‘George’ saja aku menyebutnya dengan kata ‘Geyorj’. Di saat itulah aku yang sebenarnya sudah berhenti les pada Umi Ating kembali berguru kepada beliau dan rela menemui beliau satu minggu 3 kali dengan menaiki angkot yang jaraknya 20 km dari tempat tinggalku. Umi Ating dengan tangan terbuka menerimaku kembali sebagai murid dengan catatan akupun harus belajar agama pada beliau. Bila aku bermalam di rumahnya, Umi Ating pasti akan memasakkan semur jengkol kesukaanku walaupun kuakui masakan beliau selalu kurang garam atau vetsin. Kata Umi vetsin dan garam bisa mengurangi kecerdasan otak. Setelah beberapa bulan aku mengikuti les bahasa Inggris, Umi Ating berpesan padaku kalau sebenarnya aku mampu belajar bahasa Inggris secara otodidak (tanpa guru) karena beliau pun dulu belajar sendiri hanya dengan cara mempelajari buku. Umipun memberi motivasi kepadaku agar aku jangan minder di sekolah, aku harus menunjukkan kepada teman-temanku bahwa aku mampu menyamai bahkan melebihi kemampuan mereka. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti saran beliau. Selain aktif berbicara bahasa Inggris dengan guru di sekolah, akupun mulai terjun mengikuti organisasi English Club di RRI. Alhamdulillah nilai bahasa Inggrisku di rapor selalu mendapat angka 9. Dan ketika SMA karangan bahasa Inggrisku selalu mendapat nilai excellent. Teman-teman yang dulu pernah mencemooh kemampuan bahasa Inggrisku semasa SMP berbalik menyanjungku dan mengagumi kemampuanku. Hingga akhirnya kini aku telah menjadi seorang guru bahasa Inggris. Semua berkat Umi.

Akh, Umi…
Aku menyesal semasa Umi sakit tak sedetikpun aku berada di dekatnya. Padahal kata hatiku selalu berbisik untuk dapat bertemu dengannya. Saat kabar meninggalnya Umi kuterima aku menangis sejadi-jadinya, hingga aku tertidur dan terbawa ke alam mimpi yang mengantarkanku melihat kenangan kami bersama. Dan di saat aku terbangun dalam gelapnya kamar dini hari aku memekik. Sesosok bayangan seorang wanita tua mengenakan mukena menoleh padaku seolah tengah mengajakku, “Ayo kita shalat, Sugih!” Aku menangis dan segera berwudhu. Dalam doa tak henti kupanjatkan, “Ya Allah terimalah nenekku di sisi-Mu!” Amin.

Orang Tua Murid Jangan Mendikte Guru

image

Suka Dukaku Menjadi Seorang Guru di Kalimantan

Tak terasa waktu terus berlalu, sepuluh tahun sudah aku bekerja menjadi seorang guru sejak lulus SMA pada 2004 silam hingga sekarang. Kadang aku merasa ini semua hanya mimpi dan aku ingin keluar dari mimpi yang sedang kulihat ini. Banyak hal yang telah terjadi, dan cukup banyak sepak terjang yang kualami dalam dunia pendidikan. Kadang juga aku merasa jenuh, ingin mencoba dunia pekerjaan lain yang ingin kugeluti. Tetapi sangat sulit bagiku untuk melepas semua ini. Dulu, saat aku masih kelas 2 SD aku memang pernah mengatakan bahwa aku ingin menjadi seorang guru tatkala guru wali kelasku menanyakan apa cita-citaku. Kemudian saat aku kelas 6 SD, aku pernah berubah pikiran setelah aku mengagumi sosok Arief Suditomo presenter/reporter berita Liputan 6 SCTV, aku ingin menjadi seperti dia. Duduk di depan kamera membacakan berita untuk para pemirsa di depan layar kaca, sepertinya hal yang menyenangkan karena bisa memberitahukan suatu informasi penting kepada khalayak ramai. Selain itu menjadi seorang reporter tentu mendapat banyak tantangan dari berbagai kalangan yang mungkin melarang publikasi berita melalui media. Karena itulah seorang reporter dapat dikenal luas oleh masyarakat.

Saat aku beranjak lulus SMA, aku mulai bimbang pekerjaan apa yang kelak akan kugeluti mengingat mama sebagai satu-satunya orang tua yang kumiliki tidak sanggup untuk membiayaiku melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan harapanku hancur begitu aku gagal meraih beasiswa kuliah ke Jepang selepas SMA. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk hijrah ke Kalimantan, dan tak pernah kuduga kalau aku harus tertanam di negeri ini untuk menjadi seorang guru meskipun pada saat itu aku hanya berbekal kemampuan bahasa asing yang kukuasai tanpa gelar sarjana sekalipun.

Cukup banyak sekolah yang pernah menjadi tempatku berkiprah. Sebut saja antara lain SDN Bangun Jaya, SDN Natai Kondang, SMAN 1 Balai Riam, MTs An Nur, SMP PGRI Balai Riam, hingga Sekolah Pelita Cemerlang yang sangat bergengsi di Kota Pontianak. Di antara semua sekolah itu, SDN Bangun Jaya dan SMAN 1 Balai Riam adalah sekolah yang paling lama yang pernah kutapaki. Pada Juli 2004 adalah awal aku mengajar di SDN Bangun Jaya dan berhenti pada Juni 2008 yang mana pada masa itu sekolah tersebut dikepalai oleh seorang pria kharismatis Bapak H.Abdillah yang berasal dari Banjarmasin-Kalimantan Selatan, tetapi pada saat itu beliau belum menyandang gelar haji. Pada Juli 2011 aku masuk kembali ke sekolah yang sama setelah 3 tahun hengkang dikarenakan aku ingin fokus mengabdikan diri untuk SMAN 1 Balai Riam, aku ditarik kembali ke SDN Bangun Jaya atas permintaan kepala sekolahnya yang baru, Ibu Rensi S.Pd SD, beliau dulu adalah rekan sesama guru saat aku mengajar di zaman kepemimpinan Bapak H.Abdillah dan hingga sekarang aku masih tetap mengajar di SD tersebut. Awal aku mengajar di SMAN 1 Balai Riam adalah Juli 2005, tepat setahun setelah aku mengajar di SDN Bangun Jaya. Hingga akhirnya akupun hengkang dari SMA yang sebenarnya sangat kucintai ini karena beberapa faktor eksternal maupun internal yang membuatku semakin tidak nyaman untuk terus bertahan di sekolah tersebut. Jadwalku di SMAN 1 Balai Riam sering bentrok dengan jadwal mengajar di bimbingan belajar yang kukelola sejak pertama kali aku datang ke Kalimantan. Tepat pada Juni 2013 silam aku mengundurkan diri secara baik-baik kepada keluarga besarku staf pengajar SMAN 1 Balai Riam. Maka hanya tinggal satu sekolah yang aku pegang saat ini.

Beberapa malam yang lalu aku mendapat SMS dari salah seorang wali murid berinisial S. Sebut saja nama wali muridku itu Bu N. Beliau adalah seorang guru di MTs An Nur, sekolah yang juga pernah menjadi tempatku bekerja. Dulu aku pernah mengajar kelas malam untuk persiapan Ujian Akhir Nasional di sekolah berasrama tersebut. Wali murid yang bernama Bu N ini mendikteku dalam hal pemberian nilai rapor terhadap murid-muridku untuk mata pelajaran Bahasa Inggris yang kuemban. Jadi malam itu, di rumahku sedang mati lampu. Seharian penuh aku sama sekali tidak mengaktifkan ponselku berhubung aku sibuk memberikan bimbingan les kepada murid-muridku karena mereka sedang menghadapi ulangan umum kenaikan kelas. Saat malam tiba aku menyalakan generator agar bisa mencharge ponselku, dan kutinggalkan di dalam kamar sementara aku pergi menonton televisi di ruang keluarga. Saat aku kembali ke kamar untuk melihat ponselku, betapa terkejutnya aku mendapatkan 7 panggilan tak terjawab dan 3 SMS dari Bu N wali murid dari S. Baru selesai membaca SMS-nya yang ketiga, SMS-SMS lainnya turut menyusul hingga 8 SMS. Kalimat-kalimatnya sangat tidak menyenangkan hati. Dia menilaiku sebagai guru yang tidak pernah bijaksana dalam memberikan nilai rapor Bahasa Inggris kepada murid-muridku, terutama terhadap anaknya (S) dan rival dari anaknya yang berinisial G.

Singkat cerita S dan G adalah dua orang muridku yang selalu bersaing sejak mereka duduk di kelas 2 SD. Ketika itu G selalu menjadi juara kelas dan S menjadi runner up di bawahnya. Adapun ayah S, suami dari Bu N, adalah seorang tukang rumput yang bekerja di sebuah perusahaan sawit terkemuka di daerah kami, PT.KSK. Sedangkan ayah G adalah seorang asisten kepala (askep) pada perusahaan yang sama. Sejak kedua anak perempuan itu naik ke kelas 3, Bu N mulai mendekati Bu R yang menjadi guru wali kelas putrinya. Pendekatan Bu N terhadap Bu R membuahkan hasil, S diberi peringkat pertama oleh Bu R menggeser posisi G yang sangat dibanggakan kedua orang tuanya. Ternyata hal tersebut menimbulkan kemarahan kedua orang tua G, mereka tidak terima kalau putri kesayangan mereka peringkatnya tergeser oleh S. Sialnya aku yang tidak tahu-menahu mengenai masalah mereka jadi terbawa-bawa. Mamanya G mendatangiku ke rumah dan mencak-mencak karena aku memberi nilai yang sama untuk mata pelajaran Bahasa Inggris di rapor S dan G. Nilai yang kuberikan pada mereka adalah 85. Adalah sebuah nilai yang memuaskan menurut penilaian dewan guru SDN Bangun Jaya, karena kami memiliki standar nilai untuk rapor di mana kami sepakat untuk tidak memberikan nilai melebihi 90 bila kemampuan peserta didik kami dirasa belum cukup berkompeten untuk mencapai nilai tersebut. Akan tetapi mama G ini merasa sangat terhina nilai putrinya disejajarkan dengan nilai S. Beliau terus mendesakku agar aku meralat kembali nilai yang telah kuberikan. Dipikirnya bila aku mengabulkan permintaannya, maka dengan mudahnya beliau akan dapat menggugat Bu R untuk mengubah kembali rapor G dan S, yang mana nantinya G akan tetap bertahan sebagai juara kelas seperti sebelumnya. Kurang-lebih 3 jam mama G bertahan di rumahku karena terus mendesak agar aku mengabulkan keinginannya dengan penuh pemaksaan. Namun aku tak bergerak sama sekali dan membiarkannya begitu saja sampai akhirnya ia merasa bosan sendiri.

Selama di kelas 3, dua semester berturut-turut Bu R memberikan peringkat pertama kepada S dan membuat mama G semakin panas. Menurut pengamatanku, peringkat tersebut diberikan Bu R semata-mata karena kedekatannya yang semakin lengket dengan Bu N. Mama G sampai datang menemui Bu R seraya menyodorkan secarik kertas berisi rekapan nilai rata-rata keseharian putrinya. “Ini nilai rata-rata anak saya, Ibu berani ngasih peringkat berapa di rapor anak saya?” Begitulah tandas mama G.

Saat ini S dan G sudah duduk di kelas 4 dan akan segera naik kelas 5. Pada semester yang lalu, aku memberikan nilai Bahasa Inggris 90 untuk G, dan 88 untuk S di rapor mereka. Penilaian tersebut kuberikan secara jujur dan apa adanya. Aku tidak subjektif dalam memberikan nilai. Semua kuberikan berdasarkan kemampuan mereka masing-masing. Rupanya Bu N merasa kurang puas akan nilai yang telah kuberikan kepada S semester yang lalu. Oleh karena itu tepat satu malam menjelang ulangan Bahasa Inggris beberapa hari yang lalu, Bu N menerorku via sms, dan mengatakan aku tidak pernah bijak dalam memberikan nilai. Bahkan aku dikatakan takut kepada mama G kalau nilai G diberi lebih rendah daripada S. Dan hanya murid-murid lesku saja yang kuberi nilai tinggi di rapor. Astagfirullahaladzim, kalau saja aku kehilangan kendali mungkin aku sudah menyorongkan ulekan bekas sambal ke mulut Bu N itu! Pasalnya semua apa yang dituduhkan Bu N kepadaku itu sama sekali tidak benar. Aku tidak pernah pandang bulu dalam memberikan nilai, sekalipun nilai murid-murid lesku relatif rendah, untuk apa aku menaikkannya menjadi tinggi? Pada kenyataannya murid-murid lesku mendapat nilai tinggi di sekolah karena semua itu adalah murni hasil keseriusan mereka selama mengikuti bimbinganku di les. Lagipula G bukan murid lesku, kepintarannya murni hasil bimbingan mamanya di rumah. Setelah aku usut semua perkara yang dilontarkan Bu N padaku, ternyata Bu N menyimpan dendam kepada kedua orang tua G. Karena ayah G pernah berkata kepada rekan-rekan kerjanya di kantor mencemooh S tepat di hadapan ayah S yang hanya bekerja sebagai tukang rumput. Katanya begini, “Hebat ya zaman sekarang, anak tukang rumput bisa mengalahkan anak seorang asisten kepala!”  

Aku benar-benar jemu melihat perseteruan orang tua murid yang selalu berujung mendikte guru dalam memberikan nilai. Akhirnya aku bulatkan tekadku untuk berani memberikan nilai di rapor S dan G, sama besar yakni 95. Walaupun hal tersebut sebenarnya sangat ditentang oleh rekan-rekan pengajar di sekolah. Aku ingin tahu apakah kedua belah pihak masih belum puas atas nilai yang telah kuberikan itu. Bila mereka belum puas juga, haruskah aku menuliskan angka 100 di rapor S dan G? Nilai 95 adalah nilai yang sangat tinggi bukan?

Aku yakin, meskipun ini mungkin akan jadi masalah terakhirku di SDN Bangun Jaya karena aku tidak lama lagi akan segera hijrah ke kota, namun suatu saat nanti mungkin akan ada masalah lain yang menimpaku. Sebab sejatinya hidup adalah masalah. Bukan hidup namanya bila tidak ada suatu masalah. Tinggal bagaimana diri kita saja menyikapi masalah yang kita hadapi tersebut. Semakin banyak masalah yang kita hadapi, semakin matang kedewasaan kita dalam bertindak. Pesanku untuk para pembaca, bila Anda adalah seorang guru, bertindaklah tegas dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan murid. Jangan pernah lunak terhadap murid zaman sekarang yang sering mengadu domba antara orang tua dan guru. Dan bila Anda adalah orang tua yang memiliki anak berprestasi di sekolah, jangan pernah sekalipun mengintervensi nilai rapor anak Anda kepada guru wali kelasnya. Karena guru lebih tahu bagaimana keseharian peserta didiknya di sekolah! Semoga tulisanku ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Amin.