Budaya Pus Am

Sebenarnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Sedikit khawatir bila tulisan ini akan menuai kontraversi seperti jambul Khatulistiwanya Syahrini, karena artikel yang akan saya angkat menyangkut adat-istiadat masyarakat luas di daerah tempat tinggal saya. Setelah saya mempertimbangkan lebih lanjut, saya harus menulis artikel ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu hal senantiasa memiliki dua sisi yang bertolak belakang: baik dan buruk, positif dan negatif, menguntungkan dan merugikan.

Masyarakat di daerah barat daya provinsi Kalimantan Tengah mengenal budaya pus-am sejak zaman nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut yang meliputi kabupaten Sukamara, kabupaten Lamandau, dan sebagian kabupaten Kotawaringin Barat. Ada pula masyarakat di wilayah selatan kabupaten Ketapang yang terletak di provinsi Kalimantan Barat. Lalu, apakah yang dimaksud dengan budaya pus am itu?

Lebih tepatnya pus am atau kerap juga dilafalkan pusam dalam aksen cepat, adalah suatu kebiasaan masyarakat di wilayah yang telah saya sebutkan di atas, di mana mereka enggan memedulikan suatu persoalan yang mungkin dianggap penting oleh lawan bicaranya. Secara harfiah pus dapat diartikan ‘biar saja’ dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi masyarakat cenderung mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang berarti ‘masak bodoh’. Masyarakat di perbatasan Kalbar dan Kalteng seringkali melafalkannya, “pus am!” atau “pus am bah!” dengan intonasi meninggi pada kata ‘am’ dan memanjang pada pengucapan kata ‘bah’ menjadi ‘baaah!’ 

Kata ‘am’ dan ‘bah’ itu sendiri tidak memiliki makna yang berarti. Kedua kata tersebut hanya menjadi penghias kalimat, atau penekan kalimat yang mengindikasikan kasar-halusnya suatu pengucapan. Bunyi ucapan tersebut memang tidak nyaman didengar dan terkesan kasar. Akan tetapi kebiasaan mengucapkan kata-kata pus am telah mendarah daging di masyarakat sehingga menjadi tradisi. Saya kerap dibuat jengkel tatkala mendengar seseorang mengatakan pus am kepada saya. Seringnya saya mendengar kata-kata tersebut akhirnya saya menjadi terbiasa dan bersikap sabar ketika menyikapinya. Beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah saya alami dengan budaya pus am antara lain sebagai berikut:

Pertama, waktu itu saya baru menjadi seorang guru di sebuah SMA. Murid-murid saya tidak berpakaian rapi layaknya pelajar. Dan saya menegur mereka, “Tolong dimasukkan pakaiannya ya, supaya kelihatan rapi!” Namun mereka membalas ucapan saya dengan pernyataan, “Pus am, Pak! Apa guna rapi-rapi?” sambil berlalu meninggalkan saya tanpa mengindahkan teguran saya. Melihat hal itu, saya hanya menggeleng-geleng kepala.

Kedua, pernah suatu ketika saya menyuruh salah seorang siswa untuk menjenguk temannya yang beberapa hari tidak masuk sekolah. “Sudah beberapa hari Rafta tidak masuk sekolah, bisakah kamu mampir ke rumahnya sepulang sekolah nanti? Barangkali dia sakit,” pinta saya waktu itu. Tak disangka jawaban murid yang saya mintai tolong itu seperti ini, “Pus am bah! Apa guna juga menjenguk dia? Biar ja amun dia sakit.” Ujarnya dengan nada datar. Mulut saya ternganga mendengar jawaban tersebut. Apakah dia tidak memiliki solidaritas, pikir saya.

Ketiga, saat sedang ujian berlangsung salah seorang siswa tak kunjung mengisi lembar jawabannya. Sementara waktu ujian akan segera habis. Secara kebetulan saya sedang mengawas. Tentu saja begitu saya melihat kejadian itu, saya langsung menegur siswa yang bersangkutan. “Tolong lembar jawabanmu segera diisi, karena waktu ujian sudah mau habis. Maaf, saya tidak bisa memberi perpanjangan waktu untuk itu,” ucap saya dengan hati-hati. Lagi, mata saya harus membelalak lebar mendengar tanggapan si empu kertas. “Alah, pus am bah, Pak! Mau waktunya habiskah, mau diperpanjangkah nggak urus. Biar nggak dapat nilai juga!” 

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang di daerah tempat tinggal saya memiliki pola pikir yang begitu pendek. Mereka tidak mau memedulikan apa yang orang lain khawatirkan meskipun hal tersebut berkaitan erat hubungannya dengan mereka. 

Kejadian lain yang pernah saya alami, suatu hari saya melihat seorang anak balita kira-kira berusia dua tahun berjalan kaki mengikuti ibunya keluar masuk hutan untuk mencari rebung. Panas matahari begitu terik, bocah itu tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Bocah itu meraung-raung kesakitan sambil terus mengejar sang ibu yang berjalan jauh di depan. Saya tidak tega melihatnya, apalagi kaki si bocah dipenuhi luka parut akibat bergesekan dengan semak berduri dan ranting pepohonan yang tidak bersahabat dengannya. “Aduh Bu, ini anaknya kasihan luka-luka. Ayo saya antar ke puskesmas,” tawar saya seraya menggendong si bocah. Sang ibu dengan sikap acuh tak acuh, hanya menoleh ke arah saya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya jauh ke dalam hutan. “Pus am, Pak! Suruh dia jalan lagi!” teriaknya tiba-tiba dari kejauhan. Ya, saya maklum penduduk lokal memang terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Karena itulah mereka memiliki fisik yang sangat kuat. Tapi untuk anak seusia itu? Terlalu dini rasanya. Atau jiwa saya yang terlalu lembut?

Di lain waktu pernah pula seorang teman meminjam beberapa barang milik saya antara lain jam tangan, jaket, dan sepatu. Entah disengaja atau tidak, semua barang yang dipinjam oleh teman saya itu ditinggalkannya di kamar hotel ketika ia berjalan-jalan ke kota dengan kekasihnya. Setelah saya memintanya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, dengan enteng teman saya ini menjawab, “Pus am bah! Ambil aja sendiri ke hotel sana!” Grr… Benar-benar menjengkelkan punya teman seperti itu. 

Ada banyak sekali kejadian berujung pus am yang saya alami. Kebanyakan pus am-pus am itu lebih bermakna ‘Sorry ya, aku nggak peduli’. Sampai akhirnya saya memahami mengapa tradisi pus am telah mendarah daging di masyarakat sejak zaman bahari. Konon dahulu kala di pedalaman pulau Kalimantan pada masa kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, para kompeni tidak pernah sampai ke area pedalaman. Sehingga penduduk di pedalaman tidak terlalu menderita seperti halnya penduduk di kota yang notabene banyak mengalami penyiksaan. Penduduk pedalaman berjiwa bebas. Mereka berperang bukan untuk melawan penjajah, melainkan suku lain yang dianggap musuh oleh suku mereka. Begitu negara Indonesia merdeka dan pulau Kalimantan masuk ke dalam wilayah NKRI, penduduk di pedalaman tidak begitu mengerti makna sebuah kemerdekaan. Mereka kurang menjiwai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila seperti tenggang rasa, toleransi, musyawarah, dan jiwa nasionalisme. Saking kurang memahaminya, pernah saya mengunjungi suatu dusun di pelosok Kalbar pada bulan Agustus untuk melihat perayaan dirgahayu RI di sana. Setibanya di sana saya sangat kaget, karena saya merasa tiba-tiba bukan berada di negara sendiri. Sepertinya saya sudah tersesat ke Republik Polandia. Karena apa? Sang saka merah putih dikibarkan terbalik di setiap halaman rumah para penduduk dusun. Saat saya memberitahu warga bahwa pemasangan bendera di dusun mereka semua terbalik, lagi-lagi warga hanya menanggapi perkataan saya dengan kata, “Pus am!”

Apa saya terus tinggal diam menyikapi orang-orang di sekitar saya untuk melestarikan budaya pus am? Awalnya saya maklum, dan hanya bisa menerima perlakuan yang tidak mengenakkan ini secara sepihak. Seiring bergulirnya waktu akhirnya saya mencoba untuk menentangnya. Tentu saja bukan dengan cara yang ekstrim dan anarkis. Cara saya adalah menempatkan diri saya sebagai bintang drama Korea. Haha… mungkin ini lucu kedengarannya. Silakan Anda baca kembali cerita kejadian-kejadian yang telah saya alami di atas. Bayangkan kalau Anda sedang menyaksikan adegan drama Korea di mana para tokoh-tokohnya sedang cekcok satu sama lain. 

Setiap ada murid yang penampilannya tidak rapi, saya tetap menegur mereka untuk merapikannya tak peduli bila mereka mengatakan pus am kepada saya. Bila mereka tak mengindahkan perkataan saya, maka aksi drama Korea saya adalah menghalangi langkah mereka sebelum mereka berlalu meninggalkan saya. “Hey, biar saya saja yang merapikan pakaian kalian! Orang tua kalian tidak pernah mengajari bagaimana cara berdandan ya? Ayo, sini saya ajarkan sekalian! Penampilan saya sepuluh kali lebih rapi daripada Lee Min Ho. Kalian tahu itu?” Sengit saya seraya bergerak menghampiri mereka.

Setiap kali melihat murid yang tidak peduli terhadap keadaan temannya, saya membujuk mereka dari hati ke hati, “Ayolah, kalian tidak sedang putus cinta kan? Apa kamu tahu kalau dia selama ini sebenarnya sangat perhatian terhadapmu? Kamu pasti tidak tahu kan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan selama ini untukmu? Jadi, saya mohon jenguklah dia di rumahnya. Dia pasti akan sembuh setelah melihat kedatanganmu! Ayo, kita jenguk dia sama-sama!” 

Dan setiap kali saya mendapati teman yang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang mereka pinjam dari saya, maka aksi drama Korea saya selanjutnya adalah: “Bisa tolong tunjukkan kartu identitasmu? Silakan tunggu sebentar, tidak lama lagi polisi akan tiba di sini. Baru saja saya melaporkan kalau ada anggota teroris yang mengidap penyakit demensia di sini.”

Haha… Ini konyol sekali, kan? Mungkin ini terlalu frontal. Akan tetapi memang demikianlah karakteristik penduduk di daerah saya. Karakter mereka tidak berbeda dengan karakter orang Korea dalam drama. Saat seseorang bersikap frontal terhadap kita, maka cara jitu yang bisa mengatasinya adalah membalas tindakan secara frontal kembali. Bukan hanya diam menerimanya begitu saja secara sepihak. Karena itulah mengapa saya bersikap layaknya para aktor Korea.  

Usaha saya selama ini tidak sia-sia. Sebagai seorang guru yang berpacu dengan arus globalisasi, saya harus memiliki sikap kontemporer. Di mana jiwa pendidik yang bersemayam di dalam diri saya tidak harus selamanya ortodoks yang senantiasa mengikuti sikap kharismatis Oemar Bakri, sang guru teladan yang fenomenal itu. Katakan saja saya adalah seorang guru yang sensasional, tetapi justru sikap seperti inilah yang cocok diterapkan dalam mendidik putra-putri generasi muda di daerah saya. Dengan berbagai metode pendekatan sensasional yang saya lakukan terhadap orang-orang di sekeliling saya, pada saat ini budaya pus am telah berbalik memberi kesan yang jauh lebih baik daripada empat belas tahun sebelumnya. 

Ketika seorang teman belum mengembalikan uang yang dipinjamnya, sang pemberi pinjaman berkata: “Pus am bah! Enggak apa-apa, nggak dikembalikan juga. Saya ikhlas kok!” Oh, tidakkah ini sangat dermawan? 

Ketika seorang teman membayarkan makanan yang kita makan, kita bermaksud mengganti biaya yang telah dibayarkannya. Maka teman itu akan berkata, “Nggak usah diganti! Pus am bah, biar saya yang bayar!” 

Dengan demikian dari dua contoh kejadian di atas, perkataan pus am telah mengalami pergeseran makna menjadi: “Sudahlah, biar saja tidak apa-apa!” dengan penekanan yang sangat halus. Itulah pengalaman saya dalam kurun empat belas tahun terakhir mengenai budaya pus am di daerah saya. Tak diduga budaya dalam drama Korea bisa memberikan manfaat dalam kehidupan saya. Percayalah, di mana ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya ya. Salam…

Sulitnya Menjadi Guru

image

Hari ini semua guru di Indonesia sedang memperingati hari istimewa mereka: Hari Persatuan Guru Republik Indonesia. Tidak terkecuali saya. Sebagai seorang guru yang telah berkecimpung di dunia pendidikan selama belasan tahun (sok tua ya saya), saya turut memperingati perayaan tersebut secara pribadi. Lho kok? Mungkin para guru di kecamatan tempat tinggal saya, lupa kalau hari ini merupakan hari istimewa bagi mereka. Entah mengapa perayaan yang biasanya diperingati dengan upacara di depan kantor kecamatan, hari ini tidak diselenggarakan. Tidak ada acara makan bersama seperti yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Hari ini seolah sama seperti hari-hari biasa. Oleh karena itu saya merayakannya secara pribadi di blog saya ini.

Seperti yang pernah saya ceritakan pada tulisan-tulisan sebelumnya, karakteristik guru pada zaman sekarang jauh berbeda dengan karakteristik guru zaman dahulu. Untuk menjadi guru teladan yang sejatinya patut digugu dan ditiru oleh para muridnya, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Tidak hanya faktor eksternal, faktor internal guru itu sendiri pun turut mempengaruhi. Sejak saya kembali mengajar di sekolah yang sempat saya tinggalkan dua tahun lalu, saya menemukan semakin banyak alasan bagi para guru untuk maju. Para guru mengeluh peraturan-peraturan pemerintah yang begitu banyak diberikan kepada para guru pada masa ini semakin mempersulit kinerja guru dalam menjalankan roda pendidikan dan mencerdaskan anak bangsa. Sertifikasi, Uji Kompetensi Guru, PUPNS, dan lain sebagainya terkesan sangat memberatkan beban para guru yang seharusnya bertugas mengajar. Terutama para guru yang tinggal di daerah pelosok. Sarana prasarana yang terdapat di daerah maupun sekolah-sekolah di daerah masih terbilang sangat minim. Oleh karena itu kendala yang dihadapi para guru dalam memajukan pendidikan bangsa ini terbilang sangat sulit. Padahal seharusnya para guru tidak menjadikan hal tersebut sebagai halangan untuk maju. Justru sebaliknya, dengan adanya keterbatasan keadaan, para guru menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk menjadi guru yang jauh lebih baik.

Saya akui menjadi guru yang baik pada masa ini memang relatif sulit. Sebagai guru yang mengajar di jenjang SMA, saya sering menemukan kendala dalam menanamkan kedisiplinan dan solidaritas kepada murid-murid saya. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya karakter guru tentu berbeda-beda. Ada guru yang kerap menceramahi murid-muridnya tentang budi pekerti, tata krama, dan sopan-santun. Namun ada pula segelintir lainnya yang bersikap acuh tak acuh. Biasanya guru yang termasuk pada kelompok terakhir ini hanya menganggap ‘yang penting saya sudah mengajar’. Mereka tidak menghiraukan peserta didik mereka akan bersikap apa dan bagaimana baik di dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyrakat. Saya sangat prihatin setiap bertemu dengan guru tipe terakhir ini. Tidakkah mereka berpikir bahwa ujung tombak dunia pendidikan adalah guru? Guru sering menjadi tumpuan kesalahan setiap kali siswa mengalami suatu masalah. Sebagai contoh misalnya: saat seorang siswa mengalami kekalahan dalam suatu perlombaan, masyarakat kerap bertanya “siapa gurunya?” Sebaliknya saat seorang siswa meraih kemenangan dalam suatu perlombaan, biasanya masyarakat akan bertanya “Wah, siapa orang tuanya?” Miris memang…

Guru pada masa ini harus berpacu dengan teknologi. Karakteristik pelajar zaman sekarang dominan tertarik dengan perkembangan zaman. Tidak hanya televisi atau mainan yang mereka miliki di rumah. Telepon genggam yang mereka pakai merupakan kendala terbesar yang harus dihadapi oleh para guru. Karena telepon genggam saat ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap para pelajar dalam bersikap dan bertindak. Banyak sekali fitur yang disajikan di dalam sebuah telepon genggam, mulai dari aplikasi permainan, internet, kamera, pemutar music dan video, dan berbagai macam aplikasi lainnya yang menawarkan kecanggihan teknologi. Penggunaan telepon genggam tanpa batas menyebabkan para pelajar menjadi malas, dan kurang berinteraksi dengan lingkungannya. Mereka tidak hanya menjadi malas mengerjakan tugas-tugas di rumah, ataupun ibadah, tetapi juga malas mengerjakan tugas sekolah. Mereka bahkan mulai tidak memahami apa makna solidaritas dalam lingkungan pergaulannya.

Pernah suatu ketika seorang murid perwalian saya mengalami suatu penyakit dan menyebabkannya harus menjalani operasi. Selang beberapa hari kemudian orang tua murid tersebut menghubungi saya via telepon mengharap kunjungan dari teman-teman anaknya. Tentu ini merupakan kewajiban bagi saya untuk menyampaikan kepada teman-teman sekelasnya. Bukan sambutan hangat yang saya terima, murid-murid perwalian saya berkata, “Kami capek, Pak! Nanti sore ada acara,” “Kita tengoknya nanti saja Pak, pada hari ulang tahunnya dia!”, “Aduh, saya mau kemah nih. Jadi nggak bisa jenguk!”, “Wah, saya nggak bisa ninggalin COC, Pak! Nanti kampung yang sudah saya bangun diserang musuh!”, “Jenguknya pake Instagram aja ya, Pak! Kita suruh dia upload fotonya waktu dioperasi!”, “Saya sudah kirim SMS sama dia, Pak. Supaya dia cepat sembuh.”

Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala tatkala mendengar tanggapan murid-murid perwalian saya. Saya tidak mengharap satu kelas untuk datang menjenguk teman mereka yang sakit itu. Setidaknya ada perwakilan dari mereka yang bersedia memenuhi permintaan dari anak yang sakit. Tidak terkecuali saya. Anak yang sakit itu pada dasarnya ingin dihibur dan dimotivasi oleh teman-temannya agar ia lekas sembuh. Apa boleh buat, ini mungkin tantangan untuk saya menumbuhkan rasa solidaritas murid-murid saya agar mereka dapat berkembang sebagai jiwa yang selalu peduli terhadap sesama. Masalah seperti ini mungkin tidak dialami oleh saya sendiri. Di pelosok daerah lainnya mungkin masalahnya jauh lebih beragam. Belum termasuk kenakalan pelajar seperti tawuran, penggunaan narkoba, dan free sex yang kian merebak karena pengaruh penggunaan internet yang melampaui batas. Tentu semua permasalahan ini belum terselesaikan. Dan ini masih menjadi PR bagi para guru di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengajak kepada rekan-rekan seprofesi di manapun Anda berada, mari kita tingkatkan semangat, dedikasi, dan kinerja kita untuk mencetak generasi muda yang jauh lebih baik lagi. Selamat hari guru 2015.

Demam Tere Liye

image

Ceritanya pas gue mulai ngajar lagi di SMA Negeri 1 Balai Riam, gue duduk di kantor bersebelahan sama seorang guru baru yang cantik banget masih single lagi. Asyeek… siapa tahu bisa pdkt, huhu emang dasar modus ya gue! :D. Namanya Bu Ririn. Beliau mengampu pelajaran Bahasa Indonesia. Cerita punya cerita ternyata beliau punya hobi yang sama dengan gue, baca novel. Dan ternyata lagi nih, beliau adalah seorang penggemar berat novelis yang karya-karyanya kerap menjadi best seller. Pembaca tahu kan novel Hafalan Shalat Delisha, Bidadari-Bidadari Surga, dan Ayahku (Bukan) Pembohong? Yup, itu semua adalah karya-karyanya Tere Liye. Gue pribadi sering banget dengar nama penulis itu, tapi belum pernah baca karya-karyanya (Hellooo… ke mana aja dirimu selama ini, Gih? Nyasar di bulan ya?). Sampai suatu hari gue juga lupa gimana awal ceritanya, tiba-tiba aja Bu Ririn nyodorin salah satu koleksinya ke gue. Judul novelnya Rindu. Jujur, pertama kali baca novel itu kesannya membosankan. Menurut gue novel Rindu karya Tere Liye termasuk bacaan yang berat. Gue baru mulai suka sama karya-karya Tere Liye setelah gue disodorin lagi novelnya sama Bu Ririn, kali ini judulnya Ayahku (Bukan) Pembohong. Lagi di awal-awal cerita gue ngerasa bosan ngebacanya. Setelah gue paksa diri gue buat menyelesaikan bacaan tersebut, di pertengahan cerita gue baru mulai tertarik. Kesempatan ketiga kalinya, gue mendapat kehormatan dari Bu Ririn buat baca novel-novelnya yang baru aja dibeli (masih dibungkus plastik Gramedia) dan belum dibaca sama sekali sama beliau. Dua buah novel berseri (mungkin trilogi atau kwartet) judulnya Bumi, dan Bulan. Nah, sejak baca novel-novel inilah gue mulai ketularan virus addicted-nya Bu Ririn terhadap karya-karya Tere Liye.

Mungkin waktu awal baca karangan Tere Liye gue sempat ngerasa minat nggak minat lantaran gue ngira kalau Tere Liye itu adalah cewek. Gue lebih suka novel yang ditulis sama cowok, seperti Hilman Hariwijaya, Raditya Dika, Andrea Hirata, dan si AK sahabat gue dari Katingan yang belakangan ini udah nerbitin 5 buah novel karyanya. Huhu… iri banget sama si AK ini. Tapi setelah tahu kalau sebenarnya Tere Liye itu adalah seorang cowok, minat baca gue terhadap karya-karya Tere Liye semakin besar. Maafin ane ya Bang, udah salah ngira selama ini. Tahu gitu, gue juga udah jadi member ‘Tereh Lieur’ dari dulu. Eh salah, maksud gue Tere Liyers (fans-nya Tere Liye). Gak perlu banyak basa-basi lagi kali ya, kali ini gue mau ngebahas sedikit karya-karya Tere Liye yang udah gue baca. Walaupun sebenarnya udah telat buat dibahas. Tapi gak apa-apa donk kalo gue mau nulis juga. Siapa tahu jadi rekomendasi buat kalian yang belum pernah baca.

1. Pulang
Novel satu ini merupakan novel terbaru Tere Liye. Buku yang gue pegang merupakan cetakan keempat yang dipublikasikan bulan Oktober kemarin. Cerita ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Bujang yang tinggal di sebuah desa di Bukit Barisan. Sejak kecil ia tidak pernah makan bangku sekolah (lagian, siapa juga yang mau ‘makan’ bangku! 😀 ). Akan tetapi Midah, ibunya, getol mengajarinya membaca, berhitung, pelajaran agama dan sembahyang. Entah mengapa Samad, ayahnya, sering memukulnya bila ia menunaikan shalat dan mengaji. Hingga suatu hari datang seorang pria bernama Tauke Muda, sahabat dari Samad, datang mengunjungi Bukit Barisan. Tauke Muda beserta rombongannya membawa sebuah misi menangkap babi hutan yang merusak perkebunan warga. Bujang diajak serta bersamanya atas seizin Samad. Bujang yang sebenarnya penakut berubah menjadi pemberani tatkala ‘Raja Babi Hutan’ menyerang Tauke Muda. Akhirnya Tauke Muda berhasil diselamatkannya dan Bujang ikut ke kota bersama Tauke Muda. Midah melepas kepergian anaknya dengan hati berat.

Singkat cerita Bujang akhirnya disekolahkan oleh Tauke Muda atau lebih sering disebut Tauke Besar dalam keluarga Tong, sebuah keluarga yang menguasai shadow economy. Tauke Muda telah menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Ada dua orang penting yang ada di rumah Tauke. Satu bernama Kopong, kepala tukang pukul. Dua, Mansur, kepala keuangan, logistik, dan lain-lain. Kawan pertama Bujang bernama Basyir, pemuda keturunan Arab. Di keluarga tersebut, Basyir mendapat tugas sebagai tukang pukul. Setiap hari, Basyir menceritakan aksinya kepada Bujang. Bujang pun menginginkan pula posisi tukang pukul di keluarga Tong. Ia pun meminta kepada Tauke Besar. Akan tetapi, Tauke menolaknya. Dia justru menyuruh Bujang untuk sekolah dan belajar. Bujang dikenalkan dengan Frans, guru dari Amerika. Awalnya Bujang menolak. Tapi, setelah kalah di amok, semacam tes untuk menjadi tukang pukul, Bujang pun akhirnya mau belajar. Dia menyelesaikan sekolahnya. Bahkan dia menyelesaikan kuliah master di luar negeri. Selain sekolah, Bujang juga belajar menjadi tukang pukul. Kopong yang mengajarinya. Dia juga mencarikan guru untuk Bujang agar dapat melatih kemampuan beladirinya. Bujang tumbuh menjadi pemuda yang pintar dan kuat fisiknya. Ia pun menjadi tukang pukul nomor satu di keluarga Tong. Dia menyelesaikan banyak masalah tingkat tinggi. Namun, masalah demi masalah muncul, hingga tiba saatnya Sang Pengkhianat keluar dan memicu peperangan. Siapakah pengkhianat tersebut? Dimanakah letak ‘pulang’ dalam cerita? Apakah Bujang berhenti menjadi tukang pukul dan kembali ke kedua orang tuanya yang tinggal di Bukit Barisan? Perjanjian apa yang telah disepakati antara Samad dan Tauke di masa lalu?

image

2. Ayahku (Bukan) Pembohong
Dam adalah seorang anak yang dididik dan dibesarkan dengan segala cerita hebat masa muda ayahnya. Tapi dengan semua cerita itulah, tumbuh kepribadian yang baik dalam diri Dam. Pengajaran yang sederhana, namun berdampak sangat besar. Ayah Dam adalah seseorang yang dikenal sebagai pegawai negeri biasa yang ramah, baik dan tidak pernah berbohong dalam setiap ucapannya. Hampir seluruh kota tempat mereka tinggal, kenal dengannya. Dam sangat mengidolakan ayahnya karena cerita-cerita itu, salah satunya adalah tentang seorang pemain sepak bola terkenal yang dijuluki “Sang Kapten”. Ayah menceritakan bagaimana pekerja kerasnya sang Kapten saat masih kecil, bekerja menjadi pengantar sup untuk menghidupi keluarganya dan juga terus berlatih saat ada waktu demi meraih cita-citanya menjadi pemain sepak bola. Dari cerita itu Dam belajar yang namanya kerja keras.

Di sekolah, Jarjit, teman sekelas Dam (berarti Dam teman sekelas Ipin-Upin donk 😀 ), selalu menggangu Dam. Tapi Dam selalu berusaha sabar karena ia ingat bagaimana sabarnya suku Penguasa Angin walaupun sudah dijajah beratus-ratus tahun. Mereka hanya diam agar tidak terjadi pertumpahan darah. Sampai suatu ketika, mereka berhasil mengusir para penjajah itu dalam suatu pertandingan yang dimenangkan suku Penguasa Angin. Begitu pula halnya dengan Dam dan Jarjit, mereka akhirnya berteman karena sebuah pertandingan, namun kali ini tidak ada sang pemenang. Hari berganti menjadi minggu, bulan dan tahun, kini Dam sudah lulus SMP dan ayahnya mendaftarkannya di sekolah berasrama bernama Akademi Gajah (Si Dam anak gajah apa ya?). Dam tiba di sana dengan menaiki kereta api selama 8 jam dari kotanya. Di tahun pertama ini Dam sering membuat masalah yaitu dengan menonton Piala Dunia beramai-ramai di kamarnya sehingga Dam dan Retro (teman sekamar Dam) dihukum kepala sekolah. Juga saat pelajaran tentang gravitasi, mereka merusak alatnya sehingga dihukum menunggui buah apel jatuh dari pohonnya. Awalnya Dam memang kesal dan bosan di sana, tapi akhirnya Dam memiliki kesenangannya sendiri di sana, yaitu menggambar bangunan sekolah untuk ditunjukkan kepada ibunya. Akhirnya Dam pulang untuk liburan, sepanjang perjalanan Dam membantu seorang ibu untuk mengurus anak-anaknya.

Selama di rumah, Dam mengerjakan pekerjaan rumah karena ibunya sakit. Menceritakan pengalamannya di Akademi Gajah dan juga menunjukkan gambarnya. Mereka juga merayakan ulang tahun ibu secara kecil-kecilan. Sampai akhirnya Dam harus kembali ke Akademi Gajah. Setelah liburan kali ini, Dam membuat masalah dengan mengundang teman-temannya ke kamarnya untuk merayakan ulang tahun Retro. Akhirnya mereka berdua dipanggil kepala sekolah dan dihukum membersihkan perpustakaan. Retro sangat kesal sedangkan Dam senang karena bisa melanjutkan gambarnya. Tingal beberapa hari menjelang pembebasan hukuman, Dam dikagetkan dengan judul buku yang sedang dibaca Retro, “Apel Emas Lembah Bukhara”. Dam ingat itu adalah cerita petualangan ayahnya tentang keindahan lembah Bukhara yang dibangun selama 100 tahun karena kerusakan yang ditimbulkan oleh penambang liar. Juga tentang adanya apel emas yang diberikan pada ayahnya.

Karena hal itu berhari-hari Dam mencari buku lain, dan akhirnya Dam menemukan buku berjudul: Suku Penguasa Angin. Ini membuat Dam semakin penasaran dengan keaslian cerita ayahnya. Sampai pertanyaan itupun terlontarkan pada liburan Dam yang kedua. Pertanyaan yang membuat ayahnya tersinggung dan sampai Dam pulang pun mereka masih dalam keadaan canggung. Liburan kali ini pun ibu terlihat semakin kurang sehat. Selesai liburan, Dam kembali ke Akademi Gajah dan langsung dihadiahi hukuman untuk membayar buku perpustakaan yang rusak. Akhirnya Dam bekerja di rumah penduduk dan banyak temannya yang ikut serta. Dam juga menabung untuk biaya pengobatan ibunya. Namun pada pagi setelah acara perburuan tim memanah, Dam mendapatkan kabar bahwa ibunya sakit. Ia langsung membereskan barangnya dan pulang.

Sampai di sana, Dam sangat marah pada ayahnya karena berbohong tentang keadaan ibunya setahun lalu. Melalui penanganan dokter, ibu Dam tetap tidak dapat diselamatkan. Malam itu Dam memutuskan untuk berhenti mempercayai semua cerita ayahnya. Sehari setelah pemakaman ibunya, Dam kembali ke Akademi Gajah. Sekolah itu kosong. Dam menemui kepala sekolah dan mendapatkan ijazah beserta sertifikat penghargaannya, Dam juga mendapatkan surat pengantar masuk universitas. Akhirnya Dam dapat kuliah dengan menggunakan surat itu. Beberapa tahun kemudian, Dam bertemu dengan Taani (teman SMP Dam), mereka mengobrol dan jadi sering bertemu. Semakin lama mereka menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah dengan syarat dari Taani, bahwa kelak ayah bisa tinggal dengan mereka.

Dua tahun kemudian
Lahirlah anak pertama mereka, Zas. Taani sering mengunjungi ayah bersama Zas dan lebih sering lagi saat lahirnya anak kedua mereka 2 tahun kemudian, Qon. Saat Zas berusia 8 tahun dan Qon 6 tahun, akhirnya Dam memperbolehkan ayah tinggal dengan mereka. Selama ayah tinggal dengan mereka, Dam selalu berusaha menjauhkan anak-anaknya dari segala cerita ayahnya, tapi dilarang Taani. Yang selalu ayah ceritakan sama dengan yang diceritakannya pada Dam. Hanya saja kini ayah menceritakan pemain sepak bola terkenal pada masa kini “Si Nomor 10” yang baru saja meneleponnya. Sampai suatu hari Dam mengetahui kalau anaknya membolos yang ternyata karena mencari cerita kakeknya di perpustakaan kota. Dam marah dan menghukum mereka juga melarang ayahnya bercerita. Saat Dam pergi dinas, ayah kembali bercerita hanya saja itu tentang Akademi Gajah dan ibu Dam. Dam yang mengetahuinya marah dan di malam hujan itu ayah disuruhnya pergi dari rumah. Dam kembali ke ruang kerjanya dan mencari Akademi Gajah namun tidak ditemukan, ini membuat Dam bingung sampai Dam menuliskan nama ibunya di kolom pencarian dan keluarlah semua berita tentang ibunya yang ternyata seorang artis saat masih muda seperti yang diberitahukan semua orang selama ini padanya.

Esok harinya ayah dibawa ke rumah sakit karena pingsan di pemakaman kota. Setelah ditangani ayah sempat siuman dan memanggil Dam. Ayah meminta Dam mendengarkan cerita terakhirnya tentang Danau Para Sufi. Danau Para Sufi adalah danau yang dibuat oleh ayahnya selama bertahun-tahun untuk mencari tahu definisi dari kebahagiaan dan akhirnya ayah mendapatkan jawaban. Definisi kebahagiaan itu adalah hati yang lapang, jika seseorang memiliki hati yang lapang maka hidup dalam kesederhanaan pun akan terasa indah dan itulah kebahagiaan. Setelah bercerita, akhirnya ayah pergi untuk selama-lamanya. Dan hari itu Dam tahu bahwa selama ini ibunya bahagia.

Pada hari pemakaman ayah Dam, tempat itu dipenuhi hampir seluruh warga kota itu sendiri. Mereka menyalami Dam dan mengucapkan rasa belasungkawanya. Namun saat melihat ke langit Dam dikejutkan dengan adanya formasi layang-layang di musim hujan seperti ini yang menurut Qon adalah formasi layang-layang suku Penguasa Angin. Namun yang membuat Dam merasa lebih kaget, bersalah sekaligus terharu adalah ketika “Sang Kapten” dan “Si Nomor 10” datang dan mengucapkan rasa sedihnya karena tidak sempat bertemu dengan ayahnya. Dam hanya bisa terisak mendengarnya.

Pagi itu Dam tahu, ayahnya bukan pembohong.

image

3. Bumi
Nah, cerita yang satu ini lumayan seru. Adalah Raib seorang gadis remaja berusia 15 tahun kelas sepuluh SMA yang menyimpan sebuah rahasia. Hanya dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, Raib bisa menghilang tak terlihat oleh siapa pun. Raib punya 2 ekor kucing angora yang dipeliharanya sejak ulang tahunnya yang ke-6. Akan tetapi mama-papanya hanya melihat satu ekor saja yang dipelihara Raib. Mereka menyebut kucing peliharaan Raib, ‘Si Hitam Atau Si Putih’. Dan mereka beranggapan kalau selama ini Raib suka berimajinasi. Suatu hari Si Hitam menghilang. Dan tiba-tiba saja sesosok misterius datang menemui Raib melalui cermin yang ada di kamarnya. Ia menyuruh Raib agar menghilangkan sebuah novel tebal milik Raib. Sosok itu terus datang mengusiknya hingga menyulap Si Hitam yang selama ini menghilang menjadi serigala yang menakutkan dan mencengkeram Si Putih agar Raib dapat berkonsentrasi menghilangkan novel seperti yang diperintahkannya. Dalam keadaan terpaksa Raib berhasil melakukannya. Sejak saat itu Raib dapat menghilangkan berbagai benda yang ada di dalam kamarnya. Tetapi ia tidak dapat mengembalikannya ke tempat semula. Nah lho!

Di sekolah Raib memiliki seorang sahabat bernama Seli, guru matematika yang galak bernama Miss Selena tetapi biasa dipanggil Miss Keriting, dan seorang teman laki-laki yang selalu membuat ulah bernama Ali. Ali sangat yakin kalau Raib memiliki kemampuan dapat menghilang. Diam-diam Ali tengah melakukan penyelidikan terhadap Raib dengan memasang benda-benda aneh yang sengaja dibuatnya sebagai alat penyadap. Benda-benda itu  disimpan di dalam tas Raib dan sebagian dipasang di rumah Raib saat Ali berkunjung ke rumah Raib dengan berpura-pura ingin mengerjakan tugas pelajaran bahasa bersama.

Permasalahan mulai timbul ketika terjadi kerusakan listrik di sekolah. Tiang listrik yang terletak di dekat kantin sekolah mendadak roboh hingga nyaris menghantam Raib dan Seli. Entah mengapa demi menyelamatkan Raib, Seli dapat menyingkirkan kabel-kabel listrik yang menjuntai laksana tentakel gurita yang ingin menyambar mereka. Seli tidak tersengat aliran listrik sama sekali. Ia bahkan dapat menahan tiang listrik yang sudah mendekati tubuhnya dan Raib. Seketika itu pula Raib berkonsentrasi menghilangkan tiang listrik dari atas tubuh mereka. Tiang listrik akhirnya menghilang entah ke mana. Ali yang melihat kejadian itu mengajak kedua gadis berkekuatan ajaib tersebut bersembunyi di aula sekolah guna menghilangkan jejak dari polisi dan para pemadam kebakaran yang mungkin akan menginterograsi mereka mengenai bagaimana peristiwa itu dapat terjadi.

Keadaan semakin mencekam tatkala tiba-tiba sosok misterius yang sering mengusik Raib melalui cermin di kamarnya muncul secara nyata di hadapan mereka. Sosok itu bernama Tamus. Ia datang bersama 8 orang pasukannya guna membawa Raib ke dunianya, yakni Klan Bulan. Ternyata Raib bukan manusia bumi. Begitu juga dengan Seli. Raib merupakan keturunan manusia yang berasal dari Klan Bulan, sedangkan Seli merupakan keturunan manusia yang berasal dari Klan Matahari. Akan tetapi Raib enggan diajak Tamus kembali ke dunianya. Perlawanan pun terjadi. Di saat keadaan Raib dan teman-temannya mulai lemah, Miss Selena datang menyelamatkan mereka. Di luar dugaan Miss Selena memiliki kekuatan yang begitu hebat. Ia mampu melawan Tamus. Rupanya dulu ia adalah bekas murid Tamus, kemudian ia berbalik mengkhianati Tamus setelah tahu rencana jahat Tamus untuk menguasai seluruh klan yang ada di dunia: Klan Bumi, Klan Bulan, Klan Matahari, dan Klan Bintang. Tamus sangat sulit dikalahkan. Perlawanan Miss Selena berhasil dipatahkannya. Bahkan Miss Selena berhasil diringkusnya dengan menggunakan jaring perak. Sebelum Tamus berhasil menangkap Raib, Miss Selena memerintahkan Raib dan kawan-kawan untuk membuka buku PR matematika milik Raib. Semua rahasia tentang mereka terdapat di dalam buku itu. Melalui lorong pemintas yang dibuka oleh Miss Selena, Raib dan kawan-kawan berhasil lolos dari Tamus dan pasukannya.

Lorong pemintas yang dibukakan oleh Miss Selena mengantarkan Raib dan kawan-kawannya ke dalam kamar Raib. Mereka segera membuka buku PR matematika Raib guna menyelamatkan Miss Selena. Ajaib, buku PR matematika Raib berhasil membawa mereka bertiga ke dunia yang aneh, Klan Bulan. Dimulailah petualangan ketiga sahabat itu. Di sana mereka bertemu dengan keluarga Ilo yang baik hati. Vey, istri Ilo yang lembut. Juga Ou, anak bungsu Ilo dan Vey yang masih berusia 4 tahun dan sangat menggemaskan. Berkat pertolongan Ilo, Raib dapat menyusuri asal-usulnya dan mencari tahu keberadaan Miss Selena. Ilo juga mempertemukan Raib dan kawan-kawan dengan Av, kepala Perpustakaan Sentral yang dapat menjelaskan segala hal akan kejanggalan-kejanggalan yang dialami Raib. Mereka kemudian memasuki ruangan terlarang di dalam gedung perpustakaan. Di sanalah Raib mendapatkan segala jawaban atas semua rasa penasarannya. Oleh Av, Raib diberi sarung tangan yang dapat menyerap cahaya, sedangkan Seli diberi sarung tangan yang dapat mengeluarkan cahaya. Sementara itu di luar gedung, Tamus dan pasukannya (pasukan bayangan) telah mengepung, merangsek, dan terus mendesak untuk dapat memasuki ruangan terlarang yang sedang Raib masuki. Ilo mengantar Raib dan kawan-kawan ke vila peristirahatannya guna menghindari Tamus. Namun seluruh sistem transportasi yang ada di Klan Bulan telah disabotase oleh Tamus. Beruntung Ily, putra sulung Ilo, menyelamatkan mereka  dari kejaran pasukan bayangan melalui sistem transportasi yang dioperasikannya.

Setelah kucing-kucingan dengan pasukan Tamus di Klan Bulan, akhirnya Raib dan kawan-kawan masuk perangkap Tamus di Perpustakaan Sentral. Tamus tidak pernah bermaksud menguasai seluruh klan yang ada di dunia. Ia hanya menginginkan agar Raib menyerahkan buku PR Matematika miliknya yang merupakan buku kehidupan dan berisi kebijakan-kebijakan hidup. Kemudian Raib diminta untuk membukakan penjara bawah bayangan demi mengeluarkan Si Tanpa Mahkota yang telah terkurung selama ribuan tahun di dalamnya. Menurut pemaparan Tamus, Tanpa Mahkota adalah kakek kakeknya Raib. Selama ini Tanpa Mahkota telah mendapat perlakuan yang tidak adil dari ayahnya yang merupakan Raja Klan Bulan dan rakyat Klan Bulan yang telah menganggapnya jahat. Tamus juga menceritakan kalau kedua orang tua yang telah membesarkan Raib selama ini bukanlah orang tua kandung Raib. Kedua orang tua kandung Raib tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat ketika Raib masih bayi. Lantas, bagaimanakah kisah petualangan ini berakhir? Mungkinkah Raib bersedia mengeluarkan Tanpa Mahkota dari penjara bawah bayangan? Mendingan baca aja sendiri ceritanya ya, hehe…

4. Bulan
Ini merupakan sekuel dari novel Bumi. Masih menggunakan sudut pandang yang sama dengan Raib sebagai tokoh utama. Cerita ini dimulai dengan kehidupan Raib, Seli, dan Ali sekembalinya dari Klan Bulan. Enam bulan lamanya mereka menjalani kehidupan layaknya manusia bumi yang normal, tentu saja tanpa kekuatan. Miss Selena yang telah cuti mengajar karena harus menyelesaikan berbagai persoalan di Klan Bulan, akhirnya kembali menemui mereka. Miss Selena bermaksud mengajak Raib ke Klan Matahari guna berdiplomasi dengan para penguasa di sana mengingat mungkin saja sebelumnya Tamus telah mengajak para pemimpin di setiap klan untuk tunduk kepada Si Tanpa Mahkota. Ali dan Seli tidak mau ketinggalan, apalagi Klan Matahari adalah tanah leluhur Seli. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Raib, Seli, Ali, dan Ily (yang diutus menggantikan Ilo) didampingi Miss Selena dan Av. Setibanya di sana mereka disambut meriah oleh rakyat Klan Matahari. Kedatangan mereka bertepatan dengan Festival Bunga Matahari, di mana 9 fraksi di klan tersebut akan berkompetisi mencari bunga matahari pertama yang mekar pada hari ke-9. Di luar dugaan Raib dan kawan-kawan mendapat kehormatan menjadi kompetitor ke-10 dalam pencarian bunga tersebut. Awalnya Av sangat marah kepada teman korespondensinya. Tetapi Dewan Konsil Klan Matahari akan menolak diplomasi bila permintaan mereka tidak dikabulkan.

Maka dimulailah kembali petualangan Raib dan kawan-kawannya. Sebagai sarana transportasi mereka diberi harimau-harimau putih sebagai tunggangan, yang sebenarnya didatangkan dari Klan Bulan ribuan tahun yang lalu (Jadi inget sinetron 7 Manusia Harimau nih). Av dan Miss Selena tidak ikut serta karena mereka harus berdiplomasi dengan Dewan Konsil. Ketua Konsil memberi keempat remaja tangguh itu petunjuk berupa teka-teki yang mengharuskan mereka bergerak ke utara mencari seruling tak berkesudahan. Perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh. Sementara hari mulai gelap dan mereka tidak menemukan perkampungan penduduk untuk bermalam. Beruntung mereka menemukan sebuah rumah di tengah peternakan lebah. Pemilik rumah itu bernama Hana-tara-hata yang berhati baik dan mempersilakan Raib bersama kawan-kawannya untuk bermalam di rumahnya. Hana sempat bercerita kalau putranya yang bernama Mata, meninggal saat mengikuti Festival Bunga Matahari. Keesokan harinya rombongan Raib melanjutkan perjalanan. Sebelum berpisah, Hana sempat berpesan kepadanya agar Raib mau mendengarkan alam, ikuti suara alam. Dalam perjalanan ke arah utara, kelompok Raib melewati hutan di mana sekawanan gorilla mengamuk menyerang mereka. Burung-burung kecil yang lucu tetapi pemakan daging turut menyerang di hutan berikutnya. Hingga akhirnya sampailah mereka di sebuah air terjun yang memancarkan cahaya pada malam hari. Di sanalah Raib mendapatkan petunjuk berikutnya yang mengharuskan mereka bergerak ke arah timur. Berbagai macam ujian dan tantangan mereka hadapi mulai dari teka-teki seorang nelayan di sebuah dermaga tua, monster gurita yang kerap menyerang penduduk, terpisah dari harimau-harimau tunggangan setelah melewati bendungan besar yang jebol karena pintu air dibuka oleh Fraksi Salamander yang sengaja ingin menyingkirkan kelompok Raib, diusir penduduk di Perkampungan Sawah karena tidak menyukai Festival Bunga Matahari, melewati lembah jamur beracun yang dapat meledak dan menebarkan serbuk yang dapat membutakan mata, hingga bertempur melawan ratusan tikus raksasa di Lorong Tikus Bawah Tanah.

Seharusnya kelompok Raib keluar sebagai pemenang jika saja mereka tidak dicurangi oleh fraksi penunggang salamander. Sempat terjadi kekeliruan tujuan terakhir mereka. Ali menduga kalau Kota Ilios merupakan tujuan terakhir mereka. Namun dalam 6 jam terakhir sebelum bunga matahari itu mekar, Raib menyadari bahwa mereka seharusnya berjalan menuju peternakan lebah milik Hana. Benar-benar di luar dugaan, padahal pesan yang disampaikan oleh Hana beberapa hari lalu merupakan indikasi dari jawaban yang sedang Raib cari. Seli kehabisan tenaga menjelang detik-detik terakhir tujuan mereka hingga akhirnya ia terjatuh pingsan di atas harimau tunggangannya. Kedatangan Raib dan teman-temannya tengah dinanti-nantikan oleh Ketua Konsil yang ternyata memiliki niat busuk. Meskipun Fraksi Salamander telah memenangkan kompetisi, Ketua Konsil mendiskualifikasi mereka atas kecurangan yang telah mereka perbuat. Ketua Konsil bahkan membunuh kapten fraksi tersebut. Pertempuran pun tak terelakkan. Ali yang berubah menjadi gorilla pun tak berhasil mengalahkan Ketua Konsil, begitu pula halnya dengan Ily yang akhirnya tewas terkena serangan Ketua Konsil. Ketua Konsil menginginkan Raib yang memetik bunga matahari. Tujuannya adalah ingin membukakan penjara bawah bayangan guna membebaskan Si Tanpa Mahkota. Nah lho, benar-benar kejutan kan? Lantas bagaimana akhirnya, apakah Si Tanpa Mahkota berhasil dibebaskan? Ayo, ayo, buruan ke toko buku atuh!

Dari sekian novel yang udah gue baca, gaya bahasa yang disampaikan Tere Liye sebenarnya mudah dicerna. Banyak majas personifikasi dan metafora yang disebutkan seperti kalimat, “Malam membungkus kota”, “Hujan membasuh bumi”, dan lain sebagainya. Tetapi banyaknya repetisi (pengulangan) kalimat-kalimat tersebut tidak jarang malah membuat pembaca merasa bosan. Untuk membaca ‘Bumi’ aja gue mesti menunda baca gara-gara gue ngerasa bosan baca episode-episode (bab) awal sampai dua minggu lamanya. Pas udah di tengah cerita baru mulai seru, gue pun ngulang lagi bacanya sampai habis selama 20 jam nonstop.

Kalau baca novel Bulan, gue justru ngerasa banyak kejanggalan baik dari segi alur, latar, dan penokohan para karakter. Bukan maksud gue mencari-cari kesalahan Tere Liye sih, karena pada dasarnya gue suka banget baca serial Bumi dan Bulan, malahan gue udah nggak sabar baca sekuel selanjutnya: Matahari (dan mungkin juga Bintang #Ngarep). Mau tahu kejanggalan apa aja yang gue temukan di novel Bulan? Simak ya:

1. Bahasa Klan Matahari hanya Seli dan Av yang mengerti. Tapi pada adegan-adegan tertentu, Raib-Ali-Ily dibuat seolah-olah mengerti bahasa tersebut. Nelayan yang ngasih teka-teki di dermaga tua kok nggak curiga kenapa Seli berkali-kali menerjemahkan bahasa yang si nelayan pake ke teman-temannya? Terus pas detik-detik terakhir menuju rumah Hana, Seli kan pingsan duluan, lha yang nerjemahin omongan Fraksi Salamander sama Ketua Konsil siapa ya? Apa mungkin Hana sama Av yang translate tapi nggak ditulis sama Bang Tere adegannya?

2. Gue sebenarnya agak bingung dengan setting waktu di Bumi dan Bulan. Bulan bersetting di musim ulangan akhir semester, hal ini berarti bulan Desember. Tapi disebutin juga kalau itu adalah akhir dari musim hujan, di mana seharusnya ada di bulan Maret. Enam bulan lalu adalah kejadian Bumi, anggaplah itu bulan Juli, tetapi di Bumi disebutin bahwa saat itu sudah dua bulan sejak tahun ajaran baru maka seharusnya bulan September (dan ini cocok dengan musim pada buku tersebut) Oke anggaplah September dan Maret adalah benar dan ulangan yang dimaksud adalah ulangan tengah semester, bukan ulangan akhir semester. Masalahnya pada akhir ulangan tengah semester enggak ada libur dua minggu (sekolah mana punya kurikulum kaya gitu?)

3. Selain itu, sedikit banyak pertanyaan di buku Bumi sudah terjawab. Mengenai orang tua Seli, alasan kenapa Raib suka banget sama pelajaran bahasa, kekhawatiran pembaca terhadap Tamus. Memang enggak semua pertanyaan sih, seperti siapa orang tua Raib yang sebenarnya, kenapa mereka bisa mengalami kecelakaan pesawat dan lain-lain. Tapi, jujur aja gue lebih penasaran sama keluarga Ali daripada Raib. Masih menjadi misteri kenapa orang tua Ali bisa enggak peduli sama anak supercerdas sekaligus bermasalah, dan masih menjadi misteri kenapa Ali bisa menjadi beruang.

4. Klan Matahari mempunyai teknologi yang lebih maju dari Klan Bulan apalagi Klan Bumi. Meski begitu, teknologi ini hampir hanya dimiliki Kota Ilios. Permainan politik bikin daerah lain justru tertinggal. Teknologi mereka nggak jauh berbeda sama teknologi yang ada di Klan Bumi. Awalnya gue kira, poin ini menjadi kekurangan buku ini karena penjabaran tentang betapa majunya Klan Matahari jadi sedikit. Untungnya, ketimpangan ini bukan tanpa alasan dan masih punya kaitan erat dengan ceritanya sendiri.

Gue rasa cukup dulu ulasan dari gue soal novel-novelnya Tere Liye. Secara keseluruhan gue tetap suka karya-karyanya karena banyak berisi pesan moral dan nasihat-nasihat bijak tentang kehidupan yang harus diikutin. Gue berharap semoga novel Matahari segera terbit dan gue bisa baca. Thank you udah singgah di mari, and sorry kalo tulisan-tulisan gue bikin kalian semua pada ngantuk. Have a nice day ya, jangan lupa tinggalin jejak di bawah walaupun cuma say ‘hi’ doank. See you^^