Budaya Pus Am

Sebenarnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Sedikit khawatir bila tulisan ini akan menuai kontraversi seperti jambul Khatulistiwanya Syahrini, karena artikel yang akan saya angkat menyangkut adat-istiadat masyarakat luas di daerah tempat tinggal saya. Setelah saya mempertimbangkan lebih lanjut, saya harus menulis artikel ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu hal senantiasa memiliki dua sisi yang bertolak belakang: baik dan buruk, positif dan negatif, menguntungkan dan merugikan.

Masyarakat di daerah barat daya provinsi Kalimantan Tengah mengenal budaya pus-am sejak zaman nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut yang meliputi kabupaten Sukamara, kabupaten Lamandau, dan sebagian kabupaten Kotawaringin Barat. Ada pula masyarakat di wilayah selatan kabupaten Ketapang yang terletak di provinsi Kalimantan Barat. Lalu, apakah yang dimaksud dengan budaya pus am itu?

Lebih tepatnya pus am atau kerap juga dilafalkan pusam dalam aksen cepat, adalah suatu kebiasaan masyarakat di wilayah yang telah saya sebutkan di atas, di mana mereka enggan memedulikan suatu persoalan yang mungkin dianggap penting oleh lawan bicaranya. Secara harfiah pus dapat diartikan ‘biar saja’ dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi masyarakat cenderung mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang berarti ‘masak bodoh’. Masyarakat di perbatasan Kalbar dan Kalteng seringkali melafalkannya, “pus am!” atau “pus am bah!” dengan intonasi meninggi pada kata ‘am’ dan memanjang pada pengucapan kata ‘bah’ menjadi ‘baaah!’ 

Kata ‘am’ dan ‘bah’ itu sendiri tidak memiliki makna yang berarti. Kedua kata tersebut hanya menjadi penghias kalimat, atau penekan kalimat yang mengindikasikan kasar-halusnya suatu pengucapan. Bunyi ucapan tersebut memang tidak nyaman didengar dan terkesan kasar. Akan tetapi kebiasaan mengucapkan kata-kata pus am telah mendarah daging di masyarakat sehingga menjadi tradisi. Saya kerap dibuat jengkel tatkala mendengar seseorang mengatakan pus am kepada saya. Seringnya saya mendengar kata-kata tersebut akhirnya saya menjadi terbiasa dan bersikap sabar ketika menyikapinya. Beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah saya alami dengan budaya pus am antara lain sebagai berikut:

Pertama, waktu itu saya baru menjadi seorang guru di sebuah SMA. Murid-murid saya tidak berpakaian rapi layaknya pelajar. Dan saya menegur mereka, “Tolong dimasukkan pakaiannya ya, supaya kelihatan rapi!” Namun mereka membalas ucapan saya dengan pernyataan, “Pus am, Pak! Apa guna rapi-rapi?” sambil berlalu meninggalkan saya tanpa mengindahkan teguran saya. Melihat hal itu, saya hanya menggeleng-geleng kepala.

Kedua, pernah suatu ketika saya menyuruh salah seorang siswa untuk menjenguk temannya yang beberapa hari tidak masuk sekolah. “Sudah beberapa hari Rafta tidak masuk sekolah, bisakah kamu mampir ke rumahnya sepulang sekolah nanti? Barangkali dia sakit,” pinta saya waktu itu. Tak disangka jawaban murid yang saya mintai tolong itu seperti ini, “Pus am bah! Apa guna juga menjenguk dia? Biar ja amun dia sakit.” Ujarnya dengan nada datar. Mulut saya ternganga mendengar jawaban tersebut. Apakah dia tidak memiliki solidaritas, pikir saya.

Ketiga, saat sedang ujian berlangsung salah seorang siswa tak kunjung mengisi lembar jawabannya. Sementara waktu ujian akan segera habis. Secara kebetulan saya sedang mengawas. Tentu saja begitu saya melihat kejadian itu, saya langsung menegur siswa yang bersangkutan. “Tolong lembar jawabanmu segera diisi, karena waktu ujian sudah mau habis. Maaf, saya tidak bisa memberi perpanjangan waktu untuk itu,” ucap saya dengan hati-hati. Lagi, mata saya harus membelalak lebar mendengar tanggapan si empu kertas. “Alah, pus am bah, Pak! Mau waktunya habiskah, mau diperpanjangkah nggak urus. Biar nggak dapat nilai juga!” 

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang di daerah tempat tinggal saya memiliki pola pikir yang begitu pendek. Mereka tidak mau memedulikan apa yang orang lain khawatirkan meskipun hal tersebut berkaitan erat hubungannya dengan mereka. 

Kejadian lain yang pernah saya alami, suatu hari saya melihat seorang anak balita kira-kira berusia dua tahun berjalan kaki mengikuti ibunya keluar masuk hutan untuk mencari rebung. Panas matahari begitu terik, bocah itu tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Bocah itu meraung-raung kesakitan sambil terus mengejar sang ibu yang berjalan jauh di depan. Saya tidak tega melihatnya, apalagi kaki si bocah dipenuhi luka parut akibat bergesekan dengan semak berduri dan ranting pepohonan yang tidak bersahabat dengannya. “Aduh Bu, ini anaknya kasihan luka-luka. Ayo saya antar ke puskesmas,” tawar saya seraya menggendong si bocah. Sang ibu dengan sikap acuh tak acuh, hanya menoleh ke arah saya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya jauh ke dalam hutan. “Pus am, Pak! Suruh dia jalan lagi!” teriaknya tiba-tiba dari kejauhan. Ya, saya maklum penduduk lokal memang terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Karena itulah mereka memiliki fisik yang sangat kuat. Tapi untuk anak seusia itu? Terlalu dini rasanya. Atau jiwa saya yang terlalu lembut?

Di lain waktu pernah pula seorang teman meminjam beberapa barang milik saya antara lain jam tangan, jaket, dan sepatu. Entah disengaja atau tidak, semua barang yang dipinjam oleh teman saya itu ditinggalkannya di kamar hotel ketika ia berjalan-jalan ke kota dengan kekasihnya. Setelah saya memintanya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, dengan enteng teman saya ini menjawab, “Pus am bah! Ambil aja sendiri ke hotel sana!” Grr… Benar-benar menjengkelkan punya teman seperti itu. 

Ada banyak sekali kejadian berujung pus am yang saya alami. Kebanyakan pus am-pus am itu lebih bermakna ‘Sorry ya, aku nggak peduli’. Sampai akhirnya saya memahami mengapa tradisi pus am telah mendarah daging di masyarakat sejak zaman bahari. Konon dahulu kala di pedalaman pulau Kalimantan pada masa kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, para kompeni tidak pernah sampai ke area pedalaman. Sehingga penduduk di pedalaman tidak terlalu menderita seperti halnya penduduk di kota yang notabene banyak mengalami penyiksaan. Penduduk pedalaman berjiwa bebas. Mereka berperang bukan untuk melawan penjajah, melainkan suku lain yang dianggap musuh oleh suku mereka. Begitu negara Indonesia merdeka dan pulau Kalimantan masuk ke dalam wilayah NKRI, penduduk di pedalaman tidak begitu mengerti makna sebuah kemerdekaan. Mereka kurang menjiwai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila seperti tenggang rasa, toleransi, musyawarah, dan jiwa nasionalisme. Saking kurang memahaminya, pernah saya mengunjungi suatu dusun di pelosok Kalbar pada bulan Agustus untuk melihat perayaan dirgahayu RI di sana. Setibanya di sana saya sangat kaget, karena saya merasa tiba-tiba bukan berada di negara sendiri. Sepertinya saya sudah tersesat ke Republik Polandia. Karena apa? Sang saka merah putih dikibarkan terbalik di setiap halaman rumah para penduduk dusun. Saat saya memberitahu warga bahwa pemasangan bendera di dusun mereka semua terbalik, lagi-lagi warga hanya menanggapi perkataan saya dengan kata, “Pus am!”

Apa saya terus tinggal diam menyikapi orang-orang di sekitar saya untuk melestarikan budaya pus am? Awalnya saya maklum, dan hanya bisa menerima perlakuan yang tidak mengenakkan ini secara sepihak. Seiring bergulirnya waktu akhirnya saya mencoba untuk menentangnya. Tentu saja bukan dengan cara yang ekstrim dan anarkis. Cara saya adalah menempatkan diri saya sebagai bintang drama Korea. Haha… mungkin ini lucu kedengarannya. Silakan Anda baca kembali cerita kejadian-kejadian yang telah saya alami di atas. Bayangkan kalau Anda sedang menyaksikan adegan drama Korea di mana para tokoh-tokohnya sedang cekcok satu sama lain. 

Setiap ada murid yang penampilannya tidak rapi, saya tetap menegur mereka untuk merapikannya tak peduli bila mereka mengatakan pus am kepada saya. Bila mereka tak mengindahkan perkataan saya, maka aksi drama Korea saya adalah menghalangi langkah mereka sebelum mereka berlalu meninggalkan saya. “Hey, biar saya saja yang merapikan pakaian kalian! Orang tua kalian tidak pernah mengajari bagaimana cara berdandan ya? Ayo, sini saya ajarkan sekalian! Penampilan saya sepuluh kali lebih rapi daripada Lee Min Ho. Kalian tahu itu?” Sengit saya seraya bergerak menghampiri mereka.

Setiap kali melihat murid yang tidak peduli terhadap keadaan temannya, saya membujuk mereka dari hati ke hati, “Ayolah, kalian tidak sedang putus cinta kan? Apa kamu tahu kalau dia selama ini sebenarnya sangat perhatian terhadapmu? Kamu pasti tidak tahu kan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan selama ini untukmu? Jadi, saya mohon jenguklah dia di rumahnya. Dia pasti akan sembuh setelah melihat kedatanganmu! Ayo, kita jenguk dia sama-sama!” 

Dan setiap kali saya mendapati teman yang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang mereka pinjam dari saya, maka aksi drama Korea saya selanjutnya adalah: “Bisa tolong tunjukkan kartu identitasmu? Silakan tunggu sebentar, tidak lama lagi polisi akan tiba di sini. Baru saja saya melaporkan kalau ada anggota teroris yang mengidap penyakit demensia di sini.”

Haha… Ini konyol sekali, kan? Mungkin ini terlalu frontal. Akan tetapi memang demikianlah karakteristik penduduk di daerah saya. Karakter mereka tidak berbeda dengan karakter orang Korea dalam drama. Saat seseorang bersikap frontal terhadap kita, maka cara jitu yang bisa mengatasinya adalah membalas tindakan secara frontal kembali. Bukan hanya diam menerimanya begitu saja secara sepihak. Karena itulah mengapa saya bersikap layaknya para aktor Korea.  

Usaha saya selama ini tidak sia-sia. Sebagai seorang guru yang berpacu dengan arus globalisasi, saya harus memiliki sikap kontemporer. Di mana jiwa pendidik yang bersemayam di dalam diri saya tidak harus selamanya ortodoks yang senantiasa mengikuti sikap kharismatis Oemar Bakri, sang guru teladan yang fenomenal itu. Katakan saja saya adalah seorang guru yang sensasional, tetapi justru sikap seperti inilah yang cocok diterapkan dalam mendidik putra-putri generasi muda di daerah saya. Dengan berbagai metode pendekatan sensasional yang saya lakukan terhadap orang-orang di sekeliling saya, pada saat ini budaya pus am telah berbalik memberi kesan yang jauh lebih baik daripada empat belas tahun sebelumnya. 

Ketika seorang teman belum mengembalikan uang yang dipinjamnya, sang pemberi pinjaman berkata: “Pus am bah! Enggak apa-apa, nggak dikembalikan juga. Saya ikhlas kok!” Oh, tidakkah ini sangat dermawan? 

Ketika seorang teman membayarkan makanan yang kita makan, kita bermaksud mengganti biaya yang telah dibayarkannya. Maka teman itu akan berkata, “Nggak usah diganti! Pus am bah, biar saya yang bayar!” 

Dengan demikian dari dua contoh kejadian di atas, perkataan pus am telah mengalami pergeseran makna menjadi: “Sudahlah, biar saja tidak apa-apa!” dengan penekanan yang sangat halus. Itulah pengalaman saya dalam kurun empat belas tahun terakhir mengenai budaya pus am di daerah saya. Tak diduga budaya dalam drama Korea bisa memberikan manfaat dalam kehidupan saya. Percayalah, di mana ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya ya. Salam…

My First Year In Kalimantan

image

Dear readers,
In my post this time, I would like to continue my story about the joys and grief for teaching in remote areas of Borneo. Yes, I know you prefer to call it as ‘hinterland’,  right? Whatever!  Actually it is located on the island of Borneo. Precisely at the border line of Central Kalimantan and West Kalimantan Province. It took a day and night to get to Palangka Raya (capital of Central Kalimantan) and the same time to Pontianak (West Kalimantan’s capital) from my place where I used to live during eleven years till now. The village where I live called Bangun Jaya village, while the name of the locality is Balai Riam Subdistrict. The regency name is ‘Sukamara’, without ‘H’ at the end of the word. Because it could be ‘SUKAMARAH’ (easy to be angry)!  LOL  😛

Surely you do remember where I came from? Yup true, from my mother’s belly was! Hehe… Ups, I mean I came from Bogor, the rain city southern Jakarta! After reading a letter from my cousin who lived in Borneo, no longer after that I graduated from high school and I was failed to obtain a college scholarship to Japan, I was desperate then I decided to move from Bogor to Borneo. Many people say that if we want our lives to grow then we need to do to move. So, it looks like my decision was not wrong, Yippee … Life moved!  😀

In short, when I arrived in Borneo  I saw my cousin’s report that there was no English subject. So I tried to meet the headmaster. I didn’t bring any certificates to apply for job at that time. I just said that I intended to advance the villagers to teach English. Warmly he accepted me to work as a teacher of English. Lucky me!  🙂

July 2004
It was my first time for being a teacher. I taught at SDN Bangun Jaya (Bangun Jaya Primary School). The school building was made of bulin (ironwood) with shingle roof. Bulin  known as ironwood, but the condition of the school where I worked was very alarming. There was no infrastructure that support for teaching and learning activities. Anyway pathetic me, going to the toilet there’s no water. Must wait for students who had a first fault to be punished draw water from the well.

Because all children in the primary school never learned English before, I obligated to teach them from zero, began from alphabet. I often called them to come forward to the front of the class to read directly, and they seemed shy to try. Sometimes they laughed when I was  explaining a material or slightly made a joke with them. “Hey kid, why your hairs are like popcorn? Mama selling popcorn then?” My jokes to a frizzy-haired child, with the sound of Batak accent. And suddenly the whole class laughed. The child that I joked with, laughed.The students were never sleepy when I was teaching because they always laughed for my jokes.

Besides working as a teacher at school, I began to open a business tutoring at my aunt’s house. I lived with my aunt. Many students were interested in taking courses with me. Not only for English lessons but also mathematics. Since the first open, the number of students in my course had reached 40 students. Until there was a junior high school student who took a course with me. She often followed me everywhere I went because she had a crush on me. Hihi… ♡♡♡

The funny thing was most of my students outside the school called me ‘Abang’ (elder brother) because of my age’s still young, that time I was 18 years old. But in contrast their parents called me ‘Sir’ or ‘Mr. Sugih’. Feel so old! “Mr. Sugih, Mr. Sugih, where are you going to? Here stopping first! Would you like corn on the cob?” called their parents when I crossed walk in front of their house. That lives in the village, the nature of the hospitality of the villagers still noticeable.

I was grateful to the school where I taught had built a new building. We would have three additional classes so that later no longer shift the morning and afternoon shifts between junior and senior grades. Our school would be in the form of letter L stage. The new building was also made of ironwood boards but the roof made of multiroof.

You know if I was happy living in remote Borneo? Yes, I was happy not to be an unemployed! I was happy even though I just graduated from high school, I had my own business capitalize the brain and intelligence had. At least I could show the rest of my family that I could stand on my feet especially to my mother. I’m not the kind of child who likes to whine and requires parents to comply with any desire. But I was sad. I often thought of my old school comrades, before our separation they told me that they would continue to renowned universities both within and outside the country. While I? I found it to be a prince dreamer who were stranded on the island of Borneo for failing to realize his dreams.

I could not find the windows of science at the local library as often as I did when I was in Bogor. If I wanted to watch TV, I had to turn on the generator. Since there was no electricity in the village where I lived at that time. If I wanted to buy fresh fruits, I could not go shopping to the market, because unfortunately there was no market. In addition, neither public transport like in the city. Living in a remote area of ​​Borneo made me feel constrained as in prison, all completely within the limitations. But I kept trying to convince me. I had to live to help my students. They were budding nation in this country. They needed me to look at the window wider world. Sad indeed, but my heart was much more sad when seeing our school buildings were burned because of lightning. None of the items that we could save in the building. Chairs and tables were all engulfed in the flames. Just lived the new building which became the basis of our hope only to still be able to continue teaching and learning activities. Surely shift between junior and senior classes would continue as usual. I vividly recall the fire that occurred one week before the General Deuteronomy Odd Semester, just two weeks before the tsunami in Aceh occurred. In the fire that burnt our school, I heard a whisper that say to me if I must live for them. For my students!

Lingua Franca di Kalimantan Tengah

Kalimantan adalah pulau yang sangat besar menempati urutan ketiga di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Irian (Papua). Suku pribuminya adalah suku Dayak yang terbagi ke dalam berbagai subsuku antara lain : Dayak Ngaju, Dayak Kenyah, Dayak Maanyan, Dayak Otdanum, Dayak Katingan, Dayak Kapuas, Dayak Mendawai, Dayak Iban, dan lain sebagainya. Katanya bahasa pemersatu suku-suku Dayak tersebut adalah bahasa Busang. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih saya berdomisili di pulau ini belum sekalipun saya mendengar seperti apa bahasa Busang itu. Sebagai seorang poliglot yang gemar mempelajari berbagai bahasa *termasuk bahasa alien planet Mars dan bahasa Klingon*, saya sudah banyak mendengar berbagai aksen dan ragam bahasa Dayak. Mulai dari bahasa Dayak Ngaju yang paling moderat hingga bahasa Kapuas yang sangat mirip dengan bahasa Mendawai karena persamaan akhiran ‘-bi’ yang sering diucapkan. Ironisnya justru malah terdapat bahasa lain yang menjadi bahasa pergaulan di bumi Kalimantan Tengah ini. Tentu bukan bahasa ‘gue-elo’ seperti yang banyak dituturkan di kota-kota besar di Pulau Jawa, melainkan bahasa ‘ulun-pian’ atau bahasa Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan. Jangan heran bila pembaca datang berkunjung ke Kota Sukamara, Pangkalan Bun, Sampit, Palangka Raya, Pulang Pisau, atau Kapuas di Kalimantan Tengah banyak pedagang dan pembeli di pasar berkomunikasi dalam bahasa Banjar. Sebelum provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 1957, wilayah provinsi ini merupakan bagian dari provinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena itu Suku Banjar yang gemar berniaga dan merantau sangat mudah ditemui di provinsi pemekarannya ini. Jujur, menurut saya pribadi bahasa Banjar lebih mudah dipahami dan dipelajari daripada bahasa Dayak yang sangat rumit. Mungkin karena hal ini pulalah alasan masyarakat Kalimantan Tengah lebih gemar menggunakan bahasa Banjar ketimbang bahasa Dayak yang merupakan bahasa ibu mereka sendiri. Tak dinyana bahasa Banjar itu sendiri menguasai 2/3 wilayah Kalimantan Indonesia (ingat pulau Kalimantan ditempati oleh 3 negara : Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) dan hanya di provinsi Kalimantan Barat bahasa Banjar tidak digunakan. Adapun bahasa yang populer digunakan di Kalimantan Barat adalah bahasa Melayu yang terbagi lagi menjadi beberapa langgam antara lain : Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Ketapang, Melayu Sanggau, dan lain-lain.

Bahasa Banjar di provinsi Kalimantan Tengah boleh dikatakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) penduduk Kalimantan Tengah. Meskipun demikian pada perkembangannya bahasa Banjar yang dipakai oleh masyarakat Kalimantan Tengah mengalami adaptasi dan asimilasi dengan bahasa asli penduduk setempat. Berikut ini merupakan beberapa contoh percakapan dalam bahasa Banjar yang berkembang di Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah dan sekitarnya.

Apa habar ikam? : Apa kabarmu?
Bungas banar : Cantik sekali
Bungas : cantik/ganteng
Jalan jahat am! : Jalan buruk, nih!
Handak menukar apa garang? : Mau membeli apa sih?
Handak ka mana ikam te? : Mau ke mana kamu nih?
Ulun handak bulik : Saya mau pulang
Ulun handak guring : Saya mau tidur
Ulun handak tulak begawi : Saya mau berangkat kerja
Ulun handak baelang ka wadah kawal ulun : Saya mau bertamu ke rumah teman saya
Handak : Mau/hendak
Wadah : tempat/rumah
Kawal/kekawalan : teman
Batamu jua kita nih : bertemu juga kita akhirnya
Bubuhan : rombongan/genk
Bubuhan Amir : Genknya Amir
Ulun : Saya
Unda : Aku
Pian : Anda
Ikam : kamu
Sida ulun : kami
Sida pian : Anda semua
Sida ikam : kalian
Sida : dia/mereka
Sida Budi : mereka Budi dan kawan-kawannya
Inya : dia
Ulun kada tahu  : Saya tidak tahu
Ulun kada kawa  : Saya tidak bisa
Dasar pengeramput! : Dasar pembohong!
Enggih : Iya
Kada : Tidak
Kadada/kadida : Tidak ada
Au bujur am! : Ya, benar tuh!
Kada am/kada mah! : Enggaklah!
Segak  : Ganteng/cantik/bagus
Segak bujur ikam nih! : Ganteng banget kamu nih!
Kaymana?/Kayapa? : Bagaimana?
Tulung ambilkan Amang Andi di wadah kayi! : Tolong jemput Paman Andi di rumah kakek!
Wayah nih ikam di mana? : Sekarang kamu di mana?
Ganal bujur burit ikam! : Besar sekali pantat kamu!
Kena am! : Nanti saja!
Kada papa mah! Enggak apa-apa deh!
Bungul ikam nih! : Bodoh kamu nih!
Handal am ikam nih! : Pintar ya kamu nih!
Bebungulan bujur! : Benar-benar bodoh!
Ampun : Milik/punya
Buku ini ampun ulun : Buku ini milik saya
Dasar pengoler! : Dasar pemalas!
Kupi : Kopi
Tupi : Topi
Sekulah : Sekolah
Rukmini : Rok mini
Mereng : Miring
Kemerawaan : Keterlaluan
Kepohonan : Pamali/Tidak boleh ditolak!
Hiba am! : Kasihan deh!
Akay!/Ukuy! : Wow/Walah/Waduh!
Ukuy bungasnya! : Walah cantiknya!
Akay-akay halusnya biak nih! : Waduh-waduh kecilnya anak ini!
Manilik : Melihat
Manulih : Menoleh
Amun handak tulak bapadah dolo lawan uma! : Kalau mau pergi bilang dulu sama ibu!
Amun : Kalau
Tulak : Pergi
Bulik : Pulang
Tulak dudi bulik sungsung : Pergi belakangan pulang awal
Bapadah : bilang, ngomong
Bapandir : Berbicara
Lawan : Dengan
Uma : Ibu
Abah : Bapak
Kayi : Kakek
Nini : Nenek
Amang : Paman
Acil : Bibi
Julak : Uwak, Pakde/Bude
Alung (panggilan untuk anak sulung)
Angah (panggilan untuk anak tengah)
Usu (panggilan untuk anak bungsu)
Unggal (panggilan untuk anak tunggal)

#Kebanyakan vokal ‘O’ dalam bahasa Indonesia dilafalkan ‘U’ dalam Bahasa Banjar dan vokal ‘I’ dilafalkan ‘E’ maupun sebaliknya vokal ‘I’ dilafalkan ‘E’ pada kata-kata tertentu. CMIIW  🙂 ♡♡♡