Lomba Peneliti Belia Kalimantan Tengah Berbasis Muatan Lokal 2016

Setahun lamanya saya tidak menulis di sini. Rasa malas yang begitu besar mengalahkan niat saya untuk konsisten menulis. Pekerjaan di kantor dan di rumah yang tak pernah ada habisnya membuat saya lelah sehingga saya malas untuk menulis. Belum lagi tugas kuliah yang terus bertambah dari minggu ke minggu semakin membuat saya enggan untuk mengetik. Saya sangat capek berkutat di depan laptop terlalu lama. Ah ya, pembaca mungkin kaget mengetahui saya kuliah lagi. Belum puas rasanya dengan sederet gelar yang saya miliki. Tugas dan inisiasi yang diberikan para tutor setiap minggu membuat saya stress tingkat dewa. Bagaimana tidak, dalam satu minggu saja terdapat lebih dari 20 latihan dan inisiasi diberikan. Oh, tidaaaak… Ada Baygon di situ? Tetapi ini sudah menjadi keputusan saya. Suruh siapa bercita-cita jadi profesor?
Tapi justru karena tugas dari para tutor inilah yang menyebabkan saya pada akhirnya kembali lagi ke sini. Hallo kring… kring… olala, apa kabar dunia? Teuteup asyeek! Tugas seabreg yang diberikan oleh para tutor membuat saya harus rajin online di dunia maya. Bukan untuk membuka Fakebook dan Nitrogram, atau mencari daftar tahanan yang kabur dari LP Cipinang. Melainkan buka-buka blog orang, pemirsa! Sst… jangan bilang-bilang siapa-siapa yah kalo saya suka nyontek! Hihihi…
Nah, gara-gara sering membuka blog orang demi mencari secuil jawaban, mengapa tidak membuka blog sendiri saja? Bukankah lebih baik kita yang menjadi narasumber bagi setiap tukang nyontek musafir yang berkelana di dunia maya? Sejumlah ide untuk dituangkan ke dalam tulisan pun kembali merangsek di dalam pikiran saya. Sebenarnya sudah lama juga sih menjadi draft di kepala. Baru sekarang bisa direalisasikan. Tulisan saya kali ini akan bercerita tentang pengalaman saya mendampingi para siswa saya yang mengikuti Lomba Peneliti Belia Provinsi Kalteng 2016. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 1-4 September 2016 silam. Belum basi untuk dibicarakan, bukan? Jujur saja, ini merupakan kali pertama sekolah kami mengikuti kegiatan LPB (Lomba Peneliti Belia). Tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami tidak pernah mendapat tawaran dari dinas pendidikan kabupaten. Maklumlah, sekolah kami bukan berada di kota. Mungkin karena kebetulan tahun ini prestasi sekolah kami sangat baik dalam kontes debat bahasa Inggris di tingkat kabupaten, barulah dinas pendidikan memberi kepercayaan kepada kami untuk mengikuti kegiatan LPB di Palangka Raya. Mungkin pembaca tidak mengerti, apa korelasi prestasi debat bahasa Inggris dengan lomba ini? Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali. Namun perlu pembaca ketahui, Lomba Peneliti Belia umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Mengunggah…
Sekilas mengenai Lomba Peneliti Belia, merupakan suatu kegiatan lomba penelitian yang dilakukan oleh para pelajar SMP dan SMA yang berusia maksimal 20 tahun. Karena subjeknya masih berstatus sebagai pelajar muda, maka tak heran bila lomba penelitian ini disebut Lomba Peneliti Belia. Kegiatan ini diselenggarakan setiap tahun oleh lembaga CYS (Center for Young Scientist) dan bekerja sama dengan dinas pendidikan provinsi. Hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia yang ditunjuk oleh CYS untuk melaksanakan kegiatan ini. Saya beruntung karena provinsi Kalimantan Tengah termasuk salah satu di antara sepuluh provinsi itu. Oh ya, lomba ini tidak putus sampai di tingkat provinsi saja. Tapi juga terus berlanjut hingga tingkat internasional. Saya begitu kaget ketika mengetahui bahwa perwakilan dari provinsi saya dua tahun silam berhasil menjadi juara umum di tingkat internasional. Sekali lagi, INTERNASIONAL pemirsa! (Beri tepuk tangan untuk putra daerah Kalimantan Tengah).Tidak memiliki bekal maupun pengalaman, saya mengajak 4 orang siswa yang dibagi ke dalam 2 kelompok dan saling berpasangan, untuk melakukan penelitian sederhana. Penelitian kami berhubungan dengan ekologi. Kelompok pertama meneliti suatu media yang dapat memadamkan api secara efektif, mengingat daerah saya rawan sekali terjadi kebakaran hutan. Akhirnya setelah melakukan percobaan dan berobservasi langsung di hutan belakang sekolah, kelompok pertama ini berhasil menciptakan larutan yang dapat memadamkan api hingga ke titik api di dalam tanah. Pembaca bingung kan? Sama, saya juga bingung. Bahannya sangat sederhana dan mudah diperoleh. Mudah pula pembuatannya. Tinggal campurkan saja bahan-bahan berikut ini: air jeruk lemon, larutan NaCl (bisa air garam, atau cairan infus), soda kue, dan cuka. Kemudian semprotkan larutan yang sudah dibuat ke arah titik api di lokasi kebakaran. Hasilnya, api langsung padam begitu cepat karena kinerja larutan yang efektif mencapai titik api di dalam tanah. Bahkan tidak ada asap yang tersisa. Karena bila masih terdapat asap yang tersisa dapat memicu kembali terjadinya kebakaran. Sederhana sekali, bukan?Kelompok kedua melakukan penelitian pupuk three in one terhadap berbagai jenis tanaman. Pupuk ini merupakan campuran antara kotoran hewan, limbah kelapa sawit, dan janjangan kelapa sawit yang sudah dipreteli buahnya. Campuran ketiga jenis pupuk ini diujikan terhadap beberapa jenis tanaman baik tanaman perkebunan maupun tanaman pertanian. Tanaman perkebunan yang kami uji khusus tanaman kelapa sawit. Pupuk yang kami buat bereaksi mengembalikan kesuburan tanah, dan meminimalisir tingkat penyerapan air yang berlebihan yang dilakukan oleh tanaman kelapa sawit. Seperti yang kita ketahui tanaman kelapa sawit sangat rakus akan air, sehingga tanaman lain di sekitarnya bisa mengalami dehidrasi tingkat dewa (kaya orang aja ya). Sedangkan tanaman pertanian yang kami uji adalah tanaman cabai. Luar biasa dalam hitungan hari saja tanaman cabai yang kami uji tumbuh pesat dibandingkan dengan tanaman cabai seumurnya yang tidak diberi pupuk. Dalam waktu dua minggu tanaman cabai yang diberi pupuk berbuah sangat lebat. Sedangkan yang tidak diberi pupuk tak kunjung berbuah sama sekali. Tak ketinggalan kami pun melakukan uji coba pupuk three in one buatan kami terhadap tanaman enceng gondok yang biasa tumbuh di rawa-rawa atau tanah gambut. Awalnya tanaman eceng gondok kami pindahkan ke dalam sebuah polybag berisi tanah tandus. Kemudian setelah kami beri pupuk three in one, ajaib tanaman tersebut mampu hidup hingga saat ini, pemirsa! Sedangkan tanaman eceng gondok lain yang juga dipindahkan ke dalam polybag berisi tanah kering tanpa diberi pupuk buatan kami, namun kami sirami sehari tiga kali. Hasilnya? (Mengutip perkataan Teteh Syahrini) Alhamdulillah ya, tanaman tersebut mati keesokan hari. Cerita mengenai 2 penelitian para siswa saya akan saya tulis pada postingan berikutnya.

Tibalah saatnya lomba. Kegiatan LPB Kalteng tahun ini diselenggarakan di Hotel Royal Global Palangka Raya, Jalan Tjilik Riwut KM2,5. Oh ya hotel ini cukup unik, karena saat saya menaiki lift menuju lantai 6 saya tidak menemukan adanya lantai 4. Pun begitu saat turun-naik tangga. Begitu lantai 3 dilewati langsung bablas lantai 5. Di manakah lantai 4 berada? Banyak tamu yang menduga kalau lantai 4 berada di dunia maya. Maksudnya? Kembali ke perlombaan, setelah acara dibuka secara resmi oleh perwakilan dinas pendidikan provinsi, para peserta yang mencapai 91 orang diminta untuk memajang poster penelitian dan menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan dewan juri terkait penelitian yang mereka buat. Saya sangat kagum dan bangga kepada para pelajar SMP dan SMA yang mengikuti kegiatan ini. Murid-murid saya sangat minder setelah melihat poster penelitian para peserta lain. Terlebih mereka sangat grogi melihat peserta lain sangat mantap dan meyakinkan saat menjawab pertanyaan dewan juri dalam bahasa Inggris yang amat fasih. Hanya 20 peserta yang layak masuk ke babak final. Di mana para finalis harus tampil mempresentasikan makalah yang telah mereka buat mengenai penelitian mereka di hadapan dewan juri yang super kritis (dosen berbagai universitas ternama tanah air) dan para peserta lainnya. Presentasi ditampilkan menggunakan layar LCD dengan format power point dan menggunakan bahasa Inggris. Wow cool.

Berselfie ria di depan poster penelitian kami.
Saya tidak mengira penelitian para peserta umumnya penelitian sederhana namun sangat bermanfaat bagi manusia. Beberapa penelitian yang saya ingat di antaranya ramuan kalapapa sebagai obat tonsillitis (keluar menjadi juara pertama untuk bidang ekologi), saripati tanaman cemot sebagai hand sanitizer (juara favorit pilihan juri), penerapan rumus matematika ke dalam motif batik khas Kalimantan Tengah, pembuatan aplikasi kamus 3 bahasa: Dayak-Indonesia-Inggris, penemuan lintasan bunglon (suatu alat yang dapat membuktikan bahwa energy tidak dapat diciptakan dan energy tidak dapat dimusnahkan), dan pembuatan biopolybag dari pelepah kelapa sawit, serta masih banyak penelitian lainnya yang sangat luar biasa hebatnya. Sepertinya saya tidak dapat bercerita lebih banyak lagi. Silakan amati saja galeri foto yang saya pajang di sini. Sebagai penutup, saya berharap dengan adanya kegiatan ini akan semakin banyak generasi muda Indonesia yang berhasil menciptakan suatu penemuan baru dan bermanfaat bagi masyarakat dunia. Maju terus generasi muda Indonesia!

Bersama para murid kebanggaan.

Presentasinya pakai Bahasa Inggris. Jurinya itu lho kalo nanya bilang ‘pertanyaannya simple’, tapi ko pesertanya pada kesusahan menjawabnya ya..

Ini para peneliti senior. Coba tebak, saya di mana?

Narsis bareng boleh kan?
Silakan klik LPB Kalteng 2016

My Trip In Java

 
image

Hari ini merupakan hari ke-9 aku berada di Pulau Jawa. Semua keluarga sudah kusambangi mulai dari Tangerang, Bogor, hingga Sumedang. Aku sangat bersyukur semua keluargaku dalam keadaan sehat wal’afiat tidak kekurangan suatu apapun. Aku senang keadaan keluarga besarku jauh lebih maju daripada dulu. Saat aku kecil, keluarga besarku hanyalah keluarga besar yang sangat sederhana tidak terlalu kaya dan juga tidak terlalu miskin, meskipun ada sebagian yang telah memiliki usaha atau wiraswasta. Keluargaku ini adalah keluarga besar mama, yang mana terdiri dari dua keluarga besar yaitu keluarga kakek (ayahnya mama) yang tinggal di Leuwiliang-Bogor Barat dan keluarga mendiang nenek (ibunya mama) yang bermukim di Cimanggu Kecil Kota Bogor Tengah. Keluarga besar kakek adalah keluarga yang didominasi oleh tentara dan guru/kepala sekolah. Semua saudara kakek berprofesi sebagai tentara sama seperti halnya dengan kakek. Sementara semua saudari kakek berprofesi sebagai praktisi pendidikan (guru dan kepala sekolah). Dulu ketika aku masih tinggal di Bogor, setiap lebaran tiba keluarga besar kakek berkumpul di rumah apih dan emih (kakek-neneknya mama) di Leuwiliang. Apih dan emih memiliki buku silsilah keluarga yang konon pernah kubaca dalam buku tersebut tercatat jumlah anggota keluarga kami yang telah mencapai ribuan anggota. Dan pada saat aku berlebaran (kelas 3 SD) di mana rumah apih dan emih menjadi sangat padat oleh para keturunannya, terhitung lebih dari 300 anggota keluarga yang masih hidup pada saat itu (1995). Di antara semua keturunan apih dan emih, mama merupakan cucu tersayang mereka dan sering dielu-elukan karena kepintaran dan kecantikannya. Wajar saja, saat sekolah dasar mama pernah terpilih menjadi bintang pelajar sekabupaten Sukabumi. Waktu itu kakek memang sedang bertugas di sana, sekitar tahun 1970-an. Mama bahkan menjadi lulusan terbaik pada masa itu. Semua nilai ujian negara diraih dengan hasil yang sempurna 10,00. Hebat kan? Dan pada masa remaja mama juga pernah memenangkan kontes kecantikan putri kebaya Jawa Barat. Sayang, keinginan mama menjadi seorang kowad tidak terlaksana karena kakek menentangnya. Kakek memaksa mama masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru) mengingat keluarga besar kami terutama kaum wanita berprofesi sebagai tenaga pengajar.

 

Keluarga besar mendiang nenek adalah keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak ada profesi yang menonjol seperti keluarga besar kakek. Oya, nenekku meninggal dunia di Lipat Kain-Riau, pada 1986 saat kakek bertugas dinas tentara di sana. Waktu itu umurku baru menginjak satu tahun, jadi seharusnya aku tidak ingat apa-apa tentang beliau. Hanya saja terkadang alam pikiranku yang rada ‘indigo’ (ceileh… gaya amat ya! 😀 ) sering membawaku pada bayangan-bayangan masa aku bayi. Pembaca bingung kan? Jadi begini pemirsa, waktu aku duduk di sekolah dasar kalau sedang termenung aku sering membayangkan kenanganku semasa bayi dipangku, dimandikan, digendong, dan ditimang-timang oleh nenek. Bahkan aku sangat hafal lagu pengantar tidur yang sering dinyanyikan oleh nenek. Kira-kira seperti ini liriknya :

 

Anakku yang kusayangi

Apa yang kau tangisi?

Mari kita bersama menyanyi

Lagu yang menarik hati…

 

Pernah aku melontarkan kepada mama mengenai apa yang kulamunkan tersebut. Semua yang kulihat dalam lamunan mengenai wajah nenek, suara nenek, hingga warna-warna dan corak pakaian yang dipakai oleh nenek, kuceritakan kepada mama. Mama sangat kaget mendengarkan penuturan ceritaku. Karena ternyata semua itu adalah nyata dan pernah terjadi pada masa aku bayi. Jadi, sebenarnya apa yang sudah aku alami? Apakah itu sebatas De Javu? Atau aku memang terlahir sebagai anak indigo yang bisa melihat masa lalu? Benar-benar aneh tapi nyata.

 
image

Kembali ke topik judul tulisanku di atas, kali ini aku akan melanjutkan ceritaku yang terputus pada tulisanku sebelumnya. Setibanya aku di bandara Soekarno-Hatta Cengkareng sembilan hari yang lalu (2 Maret 2015), aku berpisah dengan Mr. X teman seperjalananku yang baik hati. Dia melanjutkan perjalanannya ke kota kelahirannya, Bandung, sedangkan aku langsung menaiki bis Damri guna melanjutkan perjalananku menuju Tangerang setelah sebelumnya aku sempat beberapa kali dibujuk oleh supir taksi yang ingin mendapatkan penumpang. Mereka bilang, berhubung perjalanan yang kutempuh sangat jauh mereka bersedia mematikan argo dan aku cukup membayar Rp250.000,00 saja. Namun aku enggan mengikuti keinginan para supir taksi itu. Bersyukur aku tidak kena paksa seperti supir taksi yang pernah nyaris membunuhku saat aku pertama kali menginjak Semarang sebelas tahun lalu. Selang beberapa menit setelah aku menaiki bis Damri, aku turun persis di depan Rumah Sakit Harapan Kita (Harkit). Ongkos yang kubayar hanya Rp40.000,00. Relatif mahal untuk ukuran bis Damri. Kemudian setelah turun dari bis, aku bergegas menaiki jembatan penyeberangan dan menaiki bis jurusan Blok M-Poris Plawad AC 34. Kali ini aku mengocek Rp8.000,00 lumayan murah. Setelah mengalami kemacetan yang panjang, aku turun di Islamic Center. Dari sana aku menyambung perjalanan dengan menaiki angkot jurusan Binong. Kepada abang supir yang terlihat masih remaja aku sempat berpesan minta diturunkan di depan McD Lippo. Eh dasar ABG labil, si abang supir malah asyik ugal-ugalan hingga nyaris menyerempet mobil angkot lainnya. Sampai-sampai pesanku sama sekali tak dihiraukan. Manakala aku tidak hapal daerah Tangerang. Emaaaak… aku tersesat! Setelah berhasil menyalip banyak kendaraan yang dilaluinya, si abang supir baru teringat pesan yang kusampaikan saat aku menaiki angkotnya. “Tadi Bapak pesan minta diturunkan di depan McD Lippo kan?” ujarnya dengan mimik tanpa dosa. “Wah maaf Pak, McD Lippo-nya sudah kelewat!” imbuhnya santai. Whatdezzig! Mana sarung tinju? *tanduk keluar dari kepala*

 

Untung aku orang yang sabar. Segera aku meminta berhenti dan turun dari angkot, tak lupa aku membayar Rp3.000,00 sebagai ongkos. Buru-buru aku menyeberang jalan dan menaiki angkot yang berlawanan arah dengan angkot tadi. Untung saja angkot berikutnya lebih santai mengemudikan mobilnya, akupun tiba di depan McD Lippo dengan selamat. Begitu aku turun dari angkot, aku sangat kaget dan takut untuk menyeberang. Kendaraan yang berlalu-lalang jumlahnya terbilang sangat banyak dan aku sudah lama tidak terbiasa dengan hiruk-pikuk suasana kota di mana kendaraan saling berebut jalan. Berbeda dengan para pengemudi kendaraan di Kalimantan Tengah, mereka sangat santun di jalan raya. Para pengemudi kendaraan di Kalimantan Tengah terbiasa menghormati para pejalan kaki yang akan menyeberang jalan. Biasanya para pengemudi itu akan berhenti sejenak dan mempersilakan para pejalan kaki untuk lewat atau melintas. Sangat sopan bukan? Tanpa kusadari ketakutanku akan keramaian lalu lintas kota Tangerang sempat diperhatikan oleh pamanku yang telah menjemputku di seberang jalan. Diam-diam pamanku menertawakan tingkah lakuku yang menurutnya sangat lucu.

 
image

image

Pamanku ini adalah adik mama nomor 5. Mama memiliki 6 orang adik, akan tetapi adik mama yang bungsu meninggal dunia pada tahun 2000 tepat saat aku masih kelas 2 SMP. Beliau meninggal pada usia remaja 17 tahun karena penyakit malaria yang dibawanya ketika pulang dari Kalimantan. Jadi paman yang sedang kukunjungi di Tangerang ini sekarang menjadi paman bungsuku. Beliau memiliki 2 orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Adik-adik sepupuku ini masih duduk di sekolah dasar. Zaky adalah adik sepupuku yang laki-laki, sejak usia satu tahun dia sudah menguasai komputer. Baik software maupun hardware. What, satu tahun sudah menguasai komputer? Pembaca tidak percaya kan? Dikasih makan apa ya bisa jenius begitu? Pamanku memang seorang perakit komputer di rumahnya sebagai pekerjaan sampingan. Jadi tidak heran kalau sekarang Zaky sudah kelas 5 SD sangat handal mengotak-atik komputer. Memang beda ya perkembangan anak zaman dulu dengan anak zaman sekarang. Begitu pula halnya dengan Fathiya, adik Zaky yang masih kelas 1 SD. Fathiya sangat senang bermain game on line sejak usia balita. Istri paman sangat resah kalau kedua adik sepupuku ini tidak ingat waktu untuk belajar, makan, dan shalat bila mereka terlalu asyik bermain game on line. Terlebih di rumah pamanku ini berlangganan wifi bulanan. Aku sendiri juga keasyikan berselancar internet via wifi di rumah paman. Sebagai seorang kakak sepupu yang berjiwa pendidik, aku berkewajiban membimbing Zaky dan Fathiya dalam belajar. Syukurlah selama aku menginap di rumah paman, Zaky dan Fathiya sangat menurut kepadaku. Mereka tidak pernah membantah perkataanku. Aku sangat sayang kepada dua adik sepupuku ini. Sayangnya aku tidak bisa bertahan lebih lama di Tangerang. Sebab aku harus menyambangi keluargaku yang lain di Bogor dan Sumedang, mengingat banyaknya keluargaku di Pulau Jawa. Aku hanya menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di rumah paman. Tepat pada hari ketiga aku berada di Tangerang, aku pamit kepada paman untuk berkunjung ke rumah umi (adik mendiang nenek) yang tinggal di Bogor. Meskipun umi adalah adik mendiang nenek, beliau tetap adalah nenekku juga. Hubungan kami sangat akrab, terlebih aku dilahirkan di rumah umi. Dan ketika aku dikhitan, umilah satu-satunya orang yang menenangkan perasaanku agar aku tidak takut kepada mantri khitan. Umi bahkan setia menemaniku di ruang khitan selama prosesi khitanan berlangsung. I love you umi… ❤

 

Dari Tangerang menuju Bogor perjalananku ditempuh dengan menaiki bis jurusan Kampung Rambutan dengan tarif ongkos Rp16.000,00 tetapi aku turun di Stasiun Cawang karena aku rindu dengan kereta listrik. What a surprise! Begitu aku turun dari bis, mataku terbelalak tak percaya. Suasana stasiun sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi pedagang kaki lima yang biasa mangkal dan menjual barang-barang murah seperti dompet, ikat pinggang, VCD bajakan, gelang manik-manik, kacamata, dan lain sebagainya. Tampaknya Ignatius Jonan semasa menjabat kepala PT. KAI berhasil menyapu bersih para pedagang illegal tersebut. Yah, padahal aku kepengen banget membeli souvenir dari para pedagang itu. Tapi mengingat hal ini untuk keteraturan masyarakat, dalam hati aku mengacungi jempol kinerja bapak mantan kepala KAI yang kini menjabat sebagai menteri perhubungan itu. Dua jempol untuk Bapak Menteri! Mataku semakin terbelalak lebar setelah membeli tiket yang murahnya minta ampun. KRL yang dulu kukenal sekarang telah berganti nama menjadi commuter line alias CL. Tiketnya sudah tidak berupa lembaran karcis macam obat nyamuk elektrik seperti zaman dulu. Adapun tiket CL zaman sekarang berupa sebuah kartu yang menyerupai kartu ATM dan berlaku untuk 5 stasiun dalam sehari tanpa keluar dari zona stasiun. Kartu ini juga dipakai untuk keluar masuk besi pembatas dari dan menuju stasiun bagian dalam. Hanya dengan Rp8.500,00 kita dapat menaiki CL jurusan Jakarta-Bogor. Harga tersebut sudah termasuk biaya jaminan kartu apabila kita menghilangkannya dalam perjalanan atau terbawa pulang. Jadi apabila kita telah sampai di stasiun tujuan, alangkah lebih baik bila kita menukarnya kembali dengan uang jaminan kita Rp5.000,00 di loket pembelian tiket. Berarti ongkos kereta dari Jakarta ke Bogor hanya Rp3.500,00 dong? Wow, murah sekali bukan! Naik kereta lagi ah… 😀

 
image

Kereta jurusan Bogor selalu tersedia setiap 5 menit sekali. Aku terpana melihat gerbong CL yang begitu rapi dan bersih. Apalagi sekarang sudah tidak ada pengamen, pedagang asongan, dan pengemis lagi. Suasananya benar-benar membuatku nyaman. Semua penumpang dapat duduk dengan tenang. Beberapa orang security berjalan hilir-mudik mengawasi setiap gerbong. Aku semakin terpukau dibuatnya. Uniknya lagi gerbong paling depan merupakan gerbong khusus kaum perempuan. Tapi kira-kira mengapa khusus untuk perempuan ya? Memangnya di dalam gerbong itu ada apaan sih? Apa ada arisan khusus ibu-ibu? Atau ada ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya? Atau kamar bersalin mungkin? Akh, aneh-aneh saja ya sodara-sodara? Coba ada gerbong khusus laki-laki juga! Mungkin isi gerbongnya adalah sekumpulan bapak-bapak yang sedang main gapleh, main catur, nonton sepak bola, adu tinju, dan mancing ikan. Hehe… ngarep.com

 

Pemandangan demi pemandangan berlalu di hadapanku melalui kaca jendela. Perasaanku berdebar-debar tidak menentu. Tinggal beberapa menit lagi aku akan segera tiba di kota kelahiranku. Kota yang dijuluki sebagai kota hujan, kota patung sapi (Baqor), kota Buitenzorg (Holland van Java), dan juga Tanah Pajajaran. Aku begitu rindu kepada umi dan kotaku tercinta. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk segera turun dari kereta. Akhirnya kereta pun berhenti setelah 30 menit perjalanan. Langkah-langkah kakiku sudah tidak tahan untuk segera menginjak tanah Bogor. Sayang cerita ini harus kusambung lagi pada postinganku berikutnya. Sampai jumpa pembaca semua…

My Flight to Java Island

image

Akhirnya di sinilah aku berada sekarang, di tanah kelahiranku Bogor. Setelah tujuh tahun lamanya tidak mengunjungi nenek, bibi, paman, dan keluarga besarku lainnya berhasil memecahkan rasa rindu yang membuncah selama ini. Tujuh tahun lamanya aku terkurung kesunyian di Pulau Kalimantan yang sepi sejak kepulangan terakhirku pada 2008. Bagai seorang pertapa di tengah hutan yang menuntut ilmu tinggi. Dan sekalinya aku kembali ke tengah-tengah keramaian, aku bagai orang katrok yang tidak pernah menjamah kota besar. Benar, aku telah menjadi ‘wong ndeso’ yang begitu polosnya mengamati hiruk-pikuk kegiatan orang-orang kota. Bahkan saat aku akan menyebrang jalan raya sekalipun, alamak… “AKU TAKUT MENYEBRANG… PAK POLISI TOLOOOONG DONG!”

 

Perjalananku menuju Pulau Jawa berawal tanggal 1 Maret 2015 silam. Dari Desa Bangun Jaya (rumahku) aku berangkat menaiki travel ke Pangkalan Bun dengan biaya Rp150.000,00. Biaya yang cukup mahal bukan? Padahal kalau kita naik bis dari Pangkalan Bun ke Palangka Raya yang jaraknya mencapai 5 kali lipat jarak yang kutempuh (Bangun Jaya-Pangkalan Bun), ongkosnya hanya Rp100.000,00. Lalu apa yang menyebabkan ongkos travel yang kunaiki begitu mahal? Sampai saat ini akupun belum mengetahuinya dengan pasti. Dugaanku barangkali agar para pengusaha travel di tempatku cepat kaya. Atau mungkin karena tingkat pendapatan penduduk di desaku sudah lumayan tinggi sehingga para pengusaha travel memanfaatkan situasi ini. Well, lanjut ke perjalanan, ternyata tidak ada penumpang lain selain aku. Supir travel sengaja memilih jalan lintas Kotawaringin Lama yang sebenarnya masih belum diaspal dengan tujuan menghemat waktu. Padahal jalan lintas Lamandau jauh lebih baik selain aspalnya mulus, pemandangan sepanjang perjalanan pun sangat indah dan segar. Banyak bukit batu yang tertata sangat rapi dan unik membuat kita ingin berfoto ria di sana. Akh, mari kita lupakan pemandangan indah! Pada malam sebelum keberangkatanku menuju Pangkalan Bun, desaku dilanda hujan. Tidak terlalu deras memang, namun sangat fatal akibatnya. Apa pasal? Jalan lintas Kotawaringin Lama yang kutempuh berhasil menjebakku dalam kemacetan! Waduh… bisa mengantri berjam-jam nih! Karena jalan lintas Kotawaringin Lama belum diaspal, otomatis hujan semalam membuat jalanan menjadi kubangan lumpur yang siap menelan kendaraan-kendaraan yang melintasinya. Antrean panjang kemacetan pun sempat membuatku jenuh. Beruntung, mobil terdepan yang terjebak lumpur (baca : KEPLATER) berhasil diselamatkan nyawanya (emangnya orang?). Begitu kami terbebas dari antrean panjang mobil travel yang kunaiki langsung melesat kencang. Alhamdulillah, aku selamat sampai di Pangkalan Bun.

image

Sebelum berhenti di hotel tempatku bermalam, karena aku akan mengikuti penerbangan keesokan harinya (2 Maret 2015) terlebih dahulu om supir travel (aku biasa memanggilnya Om, biar kelihatan muda terus 😀 ) membawaku ke agen di mana aku telah membooking tiket penerbangan yang akan kunaiki. Aku membooking tiket pesawat Trigana tujuan Cengkareng seharga Rp570.000,00. Tiket ini telah kubooking satu hari sebelumnya (28 Februari 2015). Wow, murah sekali. Bandingkan jika aku harus membeli tiket kapal laut tujuan Semarang, Rp400.000,00! Mana yang akan pembaca pilih? Alasanku memilih pesawat Trigana adalah ingin mencobanya (dasar katrok, kan? 😀 ), berhubung aku sudah cukup sering menaiki pesawat Kalstar dan kebetulan pada saat itu harga tiket Kalstar sedang tinggi Rp1.130.000,00 dengan jadwal penerbangan yang sama. Oke, setelah transaksi pembayaran tiket selesai, aku dan om supir travel melanjutkan perjalanan ke Hotel Abadi tempatku menginap. Just for information biaya menginap di hotel ini berkisar antara Rp165.000,00-Rp200.000,00 permalam dengan fasilitas standar layaknya hotel pada umumnya. Relatif murah kan?

image

Mumpung masih di Pangkalan Bun, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membeli oleh-oleh. Pamanku yang tinggal di Bogor memesan batu permata kecubung yang belum diolah. Heran, mengapa batu permata sedang menjadi trend terutama orang-orang di Pulau Jawa? Tidak sulit bagiku mendapatkan batu kecubung itu, karena daerahku merupakan tempat penghasilnya. Satu kilogram batu kecubung ungu dihargai Rp200.000,00-Rp300.000,00. Sedangkan batu kecubung putih dihargai Rp150.000,00 perkilogramnya. Usai membeli batu, akupun mencari oleh-oleh lainnya untuk nenek. Akhirnya aku mendapatkan beberapa penganan khas Kalimantan Tengah : kerupuk ikan, amplang dengan berbagai rasa ikan (haruan/gabus, tenggiri, dan belida), keripik buah naga, dan chestick rasa ikan. Wah, satu dus penuh hanya berisi oleh-oleh, semoga tidak over bagasi di bandara.

 
image

Sayang cuaca di Pangkalan Bun sedang tidak bersahabat, sehingga membuatku tidak leluasa menikmati tamasya di dalam kota. Sepanjang hari hingga malam aku terpekur di dalam hotel, berselancar di internet via ponsel, sambil menonton televisi. Begitu pagi menjelang aku segera mencari ojek untuk berangkat menuju bandara. Karena penerbanganku tepat pukul 7 pagi. Kali ini aku harus mengocek Rp30.000,00. Sebenarnya sih Rp25.000,00, tapi sisa kembaliannya dibawa kabur oleh tukang ojek (hadeuh, pasti rezeki tukang ojek itu nanti menjadi tidak halal). Segera aku menuju antrian calon penumpang yang sedang memasuki pintu pemeriksaan. Ternyata oh ternyata, sudah seminggu ini pesawat Trigana delay terbang dikarenakan suatu alasan yang tidak diketahui dengan jelas. Ngakunya sih sedang reschedule, tapi entahlah. Beruntung ya bandaranya tidak menjadi sasaran amukan massa seperti kasus Lion Air di Jakarta. Singkat cerita, rupanya aku telah memasuki antrean yang salah. Antrean itu adalah khusus calon penumpang pesawat Kalstar dengan tujuan Semarang. Dan, aku tidak mendapatkan sama sekali calon penumpang pesawat yang sama denganku. Hey… ada apa ini? Apa aku sudah ketinggalan pesawat? Buru-buru aku segera menghampiri loket reservasi Trigana Air. Dan di sana kudapati sekelompok bapak yang sedang komplain kepada petugas ticketing. Mereka menuntut agar mereka dapat terbang pada hari itu juga (2 Maret 2015). Berhubung aku enggan untuk kembali ke hotel, aku turut bergabung dengan kelompok bapak-bapak itu. Dengan sangat memaksa kami meminta agar kami dialihkan ke pesawat lain dengan penerbangan yang terjadwal pada hari itu. Alhasil hanya dalam waktu 30 menit, kami berhasil mendapatkan tiket Kalstar yang akan terbang pada pukul 1 siang. Tentu saja tanpa menambah biaya yang kurang mengingat mahalnya harga tiket Kalstar. Lucky me, akhirnya aku bisa bertemu pramugari-pramugari cantik pesawat Kalstar lagi. Hehehe… 😀

 

Menunggu hingga pukul 1 siang memang sangat membosankan. Terlebih Bandara Iskandar Pangkalan Bun sangat minim fasilitas. Jadi aku kurang menikmati suasana di bandara. Untunglah aku bertemu dengan calon penumpang yang mengalami kejadian sama denganku. Sebut saja Mr. X, karena kami tidak saling memperkenalkan diri. Ternyata dia berasal dari Bandung, otomatis kami langsung akrab dan mengobrol menggunakan Bahasa Sunda. Umurnya masih muda (23 tahun) dan cukup good-looking. Dari tiket yang diperolehnya ternyata dia duduk di deret bangku pesawat yang sama denganku. Persis di sebelahku. Waktu yang mempertemukan kami hanya beberapa jam membuat kami sangat akrab. Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku dan menyapaku. Beliau adalah Bapak Leo, tetanggaku. Beliau baru saja tiba dari Semarang. Beliau bercerita kalau sebenarnya beliau seharusnya menaiki pesawat Trigana pada dua hari yang lalu. Namun lagi-lagi terjadi kasus yang sama di Semarang. Penerbangan Trigana terpaksa delay hingga beberapa hari kemudian. Padahal beliau harus terbang pada hari keberangkatan tersebut. Dengan sangat terpaksa beliau turut mengikuti para calon penumpang lainnya di Semarang. Yakni meminta uang mereka kembali dan membeli tiket pesawat lain dengan harga yang relatif lebih mahal. Otomatis Bapak Leo harus menambah biaya Rp300.000,00 untuk membeli tiket pesawat Kalstar yang akan dinaikinya. Kasus yang sama denganku namun berbeda penanggulangan. Dari pengalaman yang baru saja kualami dan kuceritakan kepada Bapak Leo, beliau menarik kesimpulan bahwa pengalaman itu sangat mahal harganya. Pengalamanku dapat dijadikan contoh oleh beliau bila suatu saat beliau mengalami kasus pesawat delay lagi.

 
image

Sedang asyik-asyiknya mengobrol, kami mendengar panggilan di pengeras suara yang meminta para calon penumpang pesawat Kalstar untuk segera memasuki ruang tunggu. Selang setengah jam kemudian pesawat yang kami tunggu tiba tepat pada waktunya. Aku dan teman seperjalanku yang berasal dari Bandung tadi sangat senang melihat pesawat datang. Kami pun sempat berselfie ria sebelum menaiki tangga pesawat. Haha… perhatian kami tersita setelah kami duduk dan mengencangkan sabuk pengaman oleh sejumlah pramugari cantik berpenampilan modis dan beraroma parfum yang sangat wangi. Lima menit kemudian pesawat pun lepas landas. Penerbangan kali ini sangat nyaman karena aku mendapat pengalaman berharga dan teman seperjalanan yang menyenangkan. Hanya dalam 70 menit pesawat pun mengudara. Pulau Jawa, aku kembali!

Bertanam Sawit, Murid SD Bisa Study Tour Gratis!

20150222_161634

Sekolah-sekolah di Kalimantan Tengah pada umumnya memiliki areal tanah yang relatif luas. Dengan luas lahan minimal 4 hektar sedikitnya setiap sekolah memiliki lapangan sepakbola sendiri. Tidak jarang ada sekolah yang memiliki lahan seluas hingga 10 hektar (=100.000 m2). Namun bila tanah yang tidak terpakai terbengkalai, bisa menyebabkan tanaman ilalang dan rumput liar tumbuh subur. Sehingga lingkungan sekolah pun menjadi tidak sedap dipandang mata. Terlebih suhu udara di Kalimantan sangat panas bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. (Apa hubungannya rumput liar dengan suhu udara panas di Kalimantan? O_O” )

 

image

Daripada membiarkan tanah dipenuhi rumput liar, guru-guru SDN Bangun Jaya di Kabupaten Sukamara-Kalimantan Tengah memiliki ide yang sangat kreatif dan edukatif. Ya, lahan luas yang dimiliki sekolah ini kini telah dipenuhi oleh tanaman sawit yang kelak dapat menghasilkan uang. Tujuannya adalah dana yang terkumpul dari hasil panen sawit setiap bulan akan digunakan untuk biaya study tour siswa-siswi SDN Bangun Jaya. Dengan demikian para siswa-siswi SDN Bangun Jaya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kegiatan tersebut.

 

image

Sawit di bumi Kalimantan bagaikan ladang emas. Banyak warga yang menuai kesuksesan dari tanaman penghasil minyak goreng tersebut. Penghasilan para warga rata-rata setiap bulan dari setiap kapling yang mereka miliki sedikitnya adalah Rp3-4 jutaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang telah memiliki penghasilan Rp12-20 juta perbulan. Belum lagi jika dikalikan dengan jumlah kaplingan yang mereka miliki. Wow, sangat menggiurkan bukan? Maka tak heran bila harga lahan sawit di Kalimantan Tengah saat ini mencapai berkisar Rp120-200 juta perkapling.

 

image

Para siswa dan siswi di SDN Bangun Jaya sangat bersemangat merawat tanaman sawit di halaman sekolah mereka. Setiap pohon yang mereka tanam diberi patok nama penanamnya, agar mereka dapat fokus merawat tanamannya masing-masing. Guru-guru turut mengawasi dan membantu mereka. Sambil praktek tak jarang guru-guru pun menjelaskan teori merawat tanaman yang baik. Anak-anak diperkenankan untuk melakukan perawatan rutin setiap hari Jumat pada jam mata pelajaran ‘Muatan Lokal : Pertanian’ usai melakukan senam SKJ. Mereka sangat berhati-hati saat menggunakan parang, sabit, dan cangkul. Bila terdapat rumput liar di sekeliling tanaman peliharaan mereka, maka mereka akan segera membersihkannya dengan menggunakan parang atau sabit. Pada saat itulah guru-guru harus turut mendampingi mereka agar tidak ada yang terluka karena kelalaian yang dilakukan siswa. Sangat riskan memang, tetapi untunglah para siswa-siswi SDN Bangun Jaya sangat cekatan, selalu berhati-hati dan patuh kepada guru. Saat membersihkan kebun setiap Jumat, anak-anak pun bernyanyi dengan riang. Terbersit harapan study tour segera tiba.

image

My Third Year in Borneo

image

This event has been a very long time ago, I will hardly remember when exactly. But I accidentally wrote back here just for the nostalgia even though without any  photos because I didn’t have a camera at the time. Understandably living in the rural areas, all completely within the limitations.

This incident took place at approximately the first quarter of 2006, second semester I taught at SMA Negeri 1 Balai Riam, or rather in its third year I lived in Borneo. I still remember clearly when it was Friday in which the activities in the school where I taught this very freely. Usually activities at school on Friday was limited to a healthy heart gymnastics, community service cleaning the school environment, and the specific subjects in each class. In short when I was filling the last hours in one class, one of the senior students of grade XII named Mispansyah, knocking on the door of the room where I was teaching.

“Excuse me Sir, you are asked by the people to go to Balai Riam now! We have two foreigners as our guests. But we don’t understand at all what they want,” said Mispansyah while struggling like he’s being chased by the ghost.

Because it happened when it was disbanded school hours, I immediately packed up and said goodbye to my students. Before I sat on the top of Mispansyah’s motorbike, some teachers, the co-worker expressed the same thing as what was conveyed by Mispansyah. “Hurry up Sir, you are being waited!” Said Mr. Jahrani,  our senior teacher.

Mispansyah immediately drove to
Mr Siong’s house, a resident whose
house used to be a shelter for the foreigners. I found them in the livingroom, we introduced ourselves each other. Apparently they were married couple named Sergey and Michelle. They came from Russia and doing hitchhiking. Initially I did not understand what was hitchhiking. But they kindly explain to me that they were traveling around the world just by walking and they asked for a ride to any rider who passed along the way. Wow, sounds interesting huh? It means they traveled the world for free. Then Sergey said that they went through 2/3 parts of the world. They had run out of water drink in the Kalahari desert of Africa, and ran out of food supplies in China’s Gobi desert, also became a captive in inland of Thailand. Until finally, they arrived in Indonesia. They even had Batam Island resident spotlight until in the paper. And Sergey showed me pieces of the newspaper article which ran a story about them for at Batam. If they understood the Indonesian language, they might be embarrassed or angry. Because the content of the article was the Batam resident judged them as beggars who wanted around the world for free and without bringing any money. (U_U)

The journey continued to Borneo after they managed to explore the island of Java. After taking the route Pangkalan Bun-Kudangan with riding a truck, they intended to continue the journey to Pontianak to extend the validity period of the visa. Unfortunately they should be kept up to Pontianak via Kudangan, but because of miscommunication between them and the truck driver did not speak English, the couple Sergey and Michelle brought to the truck drivers Balai Riam, subdistrict where I lived. Then finally I met them.

I was amazed to Sergey and Michelle, in the still fairly young age they’d managed to explore the 2/3 parts of the world such as: Europe, Africa, Australia, and Asia. Their final destination was the continent of America and perhaps including Antarctica. Their visit in Balai Riam Subdistrict would last for 3 days 2 nights. Because they deliberately wanted to rest for a while after traveling a very long and tiring. As a good host, I purposely took their tour to see the situation in Balai Riam. First I invited them to look across the village settlements (old village). Sergey and Michelle were amazed to see our local traditional house made of ironwood and very durable tens to hundreds of years. The public was enthusiastic welcome them. “Sir, please tell them later at night we held a party for them. We’ll make a roasted pork!” Said one resident familiarly. When I delivered to Sergey and Michelle mentioned subject, they were very happy as if they had not enjoyed a delicious meal, especially when I mentioned its specialties is the ‘pork barbeque’. They almost dripping saliva after hearing.

When we arrived at the indigenous leader house, we were greeted with a ceremony and drinking party. Our hands were each tied by a rope made of reeds and woven in a way that looked like a very beautiful bracelet. It signified that we had bound to be part of the Dayak in particular areas Balai Riam. We had become part of the family in the land of this amethyst gem. We should not be decided wrist strap that bound us intentionally. Because the rope would break up by itself right at the third, fourth, or fifth day. And magically, it’s true! Rope tying my wrist cut away on the third day. Though my hand did not experience friction with any object. The party  held at the home of indigenous leader house. Sergey and Michelle danced to follow the movements of the Dayak dancers form a circle. While dancing we were required to drink wine and wine interchangeably. Because I am a Muslim, so I just simply hold the cup to my lips without drinking a drop. Phew, it is a relief!

In the afternoon I again invited them both around while jogging look around the forest and look for cassavas. Michelle was very fond of fried cassava. For her cassava was the most delicious food  she had enjoyed. Well, fortunately the waitress of Mr. Siong had no objection to fry it for Michelle. The Dayak children continued to follow us along the way that we went through, they were even willing to help Michelle look for cassava growing in the woods. The children were very interested to interact with foreigners. Because it was the first time for people in Balai Riam met foreigners.

In the evening, after maghrib prayers, I asked Mr. Arif, the principal superiors, to take us to see the head of subdistrict. Our arrival was greeted warmly by the head of subdistrict. He explained on the composition of the population in Balai Riam Subdistrict, as well as the number of people in each village. I never thought we could talk familiarly together to laugh. Sergey and Michelle were very impressed with our service to them. Coming home to Mr. Siong’s house, I was asked specifically by Mr. Siong family to spend the night at their house. Worry if there something would happen to our guests or Sergey and Michelle needed something while Mr. Siong did not understand the language they use. So the whole night that I was with Sergey and Michelle spent time exchanging stories together.

Sergey taught the Cyrillic alphabet which is the Russian alphabet. I thought the Russian language was very difficult but very interesting. Many times Sergey trained me how to read any Russian alphabet written on a piece of paper. I very difficult pronounced, but Sergey was patient and humorous person. There were excerpts of the conversation which still burned into my memory.

I’m the Curious (IC): “Sergey, could you please tell me the life in your country during the heyday of the Soviet Union?”

Sergey (S): “What do you want to know about the Soviet Union?”

IC: “Frankly, when we hear the name of the Soviet Union, many Indonesian people are frightened.”

S: “What is fear?”

IC: “the Soviet Union communist state. In the past our country also had almost become a communist country.”

S: “So?”

(Ergh… Why Sergey often asked me back, huh?)

IC: “The Communist Party in our country had done a great incident. A number of our army leaders were arrested and killed. Places of worship such as mosques burned. Of course we are afraid of communists and strictly prohibits the existence of the communist party in our country.”

S: “In our country it had become commonplace.”

IC: “Was it not disturbing people in your country?”

S: “Why should fret? Let it all flows and community members are slowly going to enjoy it! ”

IC: “I heard the economic system in your country adopted a centralized economy. Could you please explain what kind of economy there? ”

S: “Yup, that’s right! So during the period of socialist rule, almost all the residents did not have a business license. Because all activities were controlled by the state of society. Agricultural activities, livestock, industry, fisheries, plantation, etc. were managed by the state. Thus the welfare of society equally. There was no person who was the richest or the poorest like here!”

IC: “Oh, I see. And what about the activities of worship? Was controlled by the government as well? ”

S: “Of course. If not so, the people in our country would not be  regular. Essentially all community activities were controlled by the state. You know, including our spouses also when in the mood to make love must wait for a mandate from the state! ”

(Sergey glanced at Michelle playfully)

Michelle giggled hear the narrative of her husband,”For the last statement that he said, please do not believe this!” Michelle said as she glanced at me.

IC: “Wew!”

Sergey was very interested in listening to myths inland Dayak that I told him. Like ‘kuyang’ an old woman who absorbs infant blood in order to make herself forever young, kayau the head hunter, cannibalism of the Dayak, and so forth. While Michelle was more interested in listening to the stories of tragedy Sambas and Sampit which had similarities of the  background chronology. Both asked me so I deign to write them all down and send them to their email addresses published into a book published in the country. It turned out their second job were journalist. Little vent also to me the reason they did hitch-hiking, as the background of their problems. Frankly they told me apparently they were a married couple who eloped because it was not sanctioned by their parents. OMG, nowadays still a ‘run-away marriage’. Mr. Deny … please please! (Imitating the style of Jarwo Kwat, member of Indonesian Comedy Club).

On the last day of our meeting, with the permission of Mr. Arif at night before I accidentally took Sergey and Michelle visited SMA Negeri 1 Balai Riam where I worked. I deliberately asked for them to be native speakers of English in school hours. Well, it turned out though their words were Caucasians, not necessarily a guarantee that their English must be good you know! The proof pronounce the word ‘banana’ are supposed to be pronounced ‘benane’ even pronounced the same as the ordinary Indonesian people mostly English. But this very memorable session for my students. Well, even though my students could only admonish ‘how are you?’, ‘Good morning’, and ‘what is your name?’ But we all really enjoyed the togetherness that only this moment. Sergey even had time to share his  knowledge to us how he and Michelle get drinking water in the middle of a vast desert when they ran out of drinking water supplies while no oasis around them. Wow that was very interesting and we also put it into practice, the results were amazing. Scorching sunshine very helpful our experiments. This way we refered to as ‘water condensation sun’.

Towards the final seconds of our time together, I and my students invited them both to play ‘kasti’ in the school field. Sergey said the game was very similar to the game of cricket. Before they actually went I was very curious with a backpack carried by them. According to Sergey explanation fill their backpacks include: tents, iron pegs, stove, pots, pans, clothes, flashlight, map, shoes and others. I was allowed by them to lift the backpack belongs to those who were so great, and beyond my expectation their bags were extremely heavy … To the extent that I fell backward carry. How not just my weight only 50 kg while Sergey’s bag 60 kg, like a rhino holding the horse …

As a memento of me so they always remember Indonesia, I purposely gave Sergey a Javanese batik shirt. Fortunately, the same size of our clothes. And one of my students gave a gift to Michelle who knows what was in it, I did not know it. Hopefully just not a bomb or stone. Hehe…  😀

After a while waiting for passing cars, came a silver Estrada in front of us and I stopped it. Fortunately I knew the driver of the vehicle. He was Mr. Darmadi  who was on his way home to HHK Timur, West Kalimantan. I told him a little bit about Sergey and Michelle, I entrusted this couple to him up in HHK Timur and introduced them to Mrs. Ani, one of my acquaintances who also worked as an English teacher at HHK Timur. Not to forget I dropped a letter to Mrs. Ani so Mrs. Ani pleased showed Sergey and Michelle road to Pontianak, so they did not get lost anymore, or was taken the wrong way by truck drivers who did not understand English as they had just experienced yesterday.

One week after their departure…
“Sir, I just arrived from the village of Tumbangtiti, West Kalimantan. Uh, there I met Sergey and Michelle again. Then I asked my brother there to lead them to Pontianak, Alhamdulillah now they’ve arrived in Pontianak!”Said a student of mine named Dina.

Ah, thank goodness. May they always be safety, and health by God during the journey to realize their dreams. Aspiration is not to simply remain a distant dream. Rather it should be a chain of struggle that never break up. Because life is not just for dreaming!

My First Year In Kalimantan

image

Dear readers,
In my post this time, I would like to continue my story about the joys and grief for teaching in remote areas of Borneo. Yes, I know you prefer to call it as ‘hinterland’,  right? Whatever!  Actually it is located on the island of Borneo. Precisely at the border line of Central Kalimantan and West Kalimantan Province. It took a day and night to get to Palangka Raya (capital of Central Kalimantan) and the same time to Pontianak (West Kalimantan’s capital) from my place where I used to live during eleven years till now. The village where I live called Bangun Jaya village, while the name of the locality is Balai Riam Subdistrict. The regency name is ‘Sukamara’, without ‘H’ at the end of the word. Because it could be ‘SUKAMARAH’ (easy to be angry)!  LOL  😛

Surely you do remember where I came from? Yup true, from my mother’s belly was! Hehe… Ups, I mean I came from Bogor, the rain city southern Jakarta! After reading a letter from my cousin who lived in Borneo, no longer after that I graduated from high school and I was failed to obtain a college scholarship to Japan, I was desperate then I decided to move from Bogor to Borneo. Many people say that if we want our lives to grow then we need to do to move. So, it looks like my decision was not wrong, Yippee … Life moved!  😀

In short, when I arrived in Borneo  I saw my cousin’s report that there was no English subject. So I tried to meet the headmaster. I didn’t bring any certificates to apply for job at that time. I just said that I intended to advance the villagers to teach English. Warmly he accepted me to work as a teacher of English. Lucky me!  🙂

July 2004
It was my first time for being a teacher. I taught at SDN Bangun Jaya (Bangun Jaya Primary School). The school building was made of bulin (ironwood) with shingle roof. Bulin  known as ironwood, but the condition of the school where I worked was very alarming. There was no infrastructure that support for teaching and learning activities. Anyway pathetic me, going to the toilet there’s no water. Must wait for students who had a first fault to be punished draw water from the well.

Because all children in the primary school never learned English before, I obligated to teach them from zero, began from alphabet. I often called them to come forward to the front of the class to read directly, and they seemed shy to try. Sometimes they laughed when I was  explaining a material or slightly made a joke with them. “Hey kid, why your hairs are like popcorn? Mama selling popcorn then?” My jokes to a frizzy-haired child, with the sound of Batak accent. And suddenly the whole class laughed. The child that I joked with, laughed.The students were never sleepy when I was teaching because they always laughed for my jokes.

Besides working as a teacher at school, I began to open a business tutoring at my aunt’s house. I lived with my aunt. Many students were interested in taking courses with me. Not only for English lessons but also mathematics. Since the first open, the number of students in my course had reached 40 students. Until there was a junior high school student who took a course with me. She often followed me everywhere I went because she had a crush on me. Hihi… ♡♡♡

The funny thing was most of my students outside the school called me ‘Abang’ (elder brother) because of my age’s still young, that time I was 18 years old. But in contrast their parents called me ‘Sir’ or ‘Mr. Sugih’. Feel so old! “Mr. Sugih, Mr. Sugih, where are you going to? Here stopping first! Would you like corn on the cob?” called their parents when I crossed walk in front of their house. That lives in the village, the nature of the hospitality of the villagers still noticeable.

I was grateful to the school where I taught had built a new building. We would have three additional classes so that later no longer shift the morning and afternoon shifts between junior and senior grades. Our school would be in the form of letter L stage. The new building was also made of ironwood boards but the roof made of multiroof.

You know if I was happy living in remote Borneo? Yes, I was happy not to be an unemployed! I was happy even though I just graduated from high school, I had my own business capitalize the brain and intelligence had. At least I could show the rest of my family that I could stand on my feet especially to my mother. I’m not the kind of child who likes to whine and requires parents to comply with any desire. But I was sad. I often thought of my old school comrades, before our separation they told me that they would continue to renowned universities both within and outside the country. While I? I found it to be a prince dreamer who were stranded on the island of Borneo for failing to realize his dreams.

I could not find the windows of science at the local library as often as I did when I was in Bogor. If I wanted to watch TV, I had to turn on the generator. Since there was no electricity in the village where I lived at that time. If I wanted to buy fresh fruits, I could not go shopping to the market, because unfortunately there was no market. In addition, neither public transport like in the city. Living in a remote area of ​​Borneo made me feel constrained as in prison, all completely within the limitations. But I kept trying to convince me. I had to live to help my students. They were budding nation in this country. They needed me to look at the window wider world. Sad indeed, but my heart was much more sad when seeing our school buildings were burned because of lightning. None of the items that we could save in the building. Chairs and tables were all engulfed in the flames. Just lived the new building which became the basis of our hope only to still be able to continue teaching and learning activities. Surely shift between junior and senior classes would continue as usual. I vividly recall the fire that occurred one week before the General Deuteronomy Odd Semester, just two weeks before the tsunami in Aceh occurred. In the fire that burnt our school, I heard a whisper that say to me if I must live for them. For my students!

Pangkalan Bun Naik Daun

image

Hallo pembaca, ini adalah tulisan pertamaku di awal tahun 2015. Sebelumnya aku mau mengucapkan selamat tahun baru ya. Semoga apa yang kalian cita-citakan di tahun ini dapat terwujud dengan baik. Walaupun tragedi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 pada akhir tahun lalu sempat menjadi duka lara yang menimpa saudara-saudara kita di Surabaya, namun kita jangan putus mendoakan  mereka (para korban kecelakaan). Semoga tuhan menerima mereka semua di surga. Amin yarabbal alamin. Semenjak daerah  musibah kecelakaan yang menimpa AirAsia QZ8501 berhasil dideteksi, daerah tempat tinggalku, kota MANIS, Pangkalan Bun city, mendadak naik daun. Pasalnya lokasi di mana kecelakaan tersebut terjadi sangat dekat dengan Teluk Kumai, teluk yang menjorok ke daratan Kabupaten Kotawaringin Barat yang beribukota di Pangkalan Bun. Padahal sehari-harinya nama Pangkalan Bun sangat asing di telinga orang Indonesia. Banyak orang Indonesia di luar Kalimantan yang tidak mengetahui di mana letak Pangkalan Bun. Jangankan mendengar nama Pangkalan Bun, mendengar nama Pulau Kalimantan saja teman-temanku di Bogor pada merinding karena kebanyakan dari mereka masih beranggapan kalau daerah Kalimantan itu daerah yang sangat terbelakang, belum maju, dan penduduknya masih primitif. Hmm, belum tahu mereka kalau di tengah hutan zamrud khatulistiwa sini banyak sekali terdapat kota-kota yang cantik dan salah satunya adalah Pangkalan Bun. Semenjak diketahuinya titik jatuh pesawat di perairan Kalimantan, Pangkalan Bun mendadak menjadi sorotan media massa. Puluhan reporter televisi dan koran nasional terjun meliput berita bersama para relawan dan tim penyelamat (BASARNAS). Bahkan Bapak Presiden Jokowi pun menyempatkan diri melakukan kunjungan kerja ke kota yang dijuluki kota manis ini. Walaupun asing di telinga penduduk Indonesia karena namanya yang jarang mencuat ke media massa nasional, akan tetapi sebenarnya nama Pangkalan Bun itu sendiri cukup dikenal luas oleh masyarakat internasional. Lho kok bisa? Sebab banyak sekali turis mancanegara yang berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting yang terdapat di Teluk Kumai, sepanjang tahunnya. Di sana merupakan tempat rehabilitasi dan penangkaran orang utan, fauna langka yang mendapat perlindungan langsung dari WWF. Jadi jangan heran kalau kalian berkunjung ke Pangkalan Bun, kalian akan melihat banyak bule bertebaran keluar masuk hutan mencari orang utan, bahkan berkemah bersama para orang utan, saudara-saudara mereka. Hehehe…  😀

image

Selain itu daerah kami juga khususnya Pangkalan Bun dan Sukamara dikenal sebagai penghasil batu permata kecubung yang sangat indah dan bernilai tinggi. Warna batu kecubung yang sangat eksotik digemari para turis mancanegara yang kebetulan berkunjung ke daerah kami. Terdapat beberapa varian warna antara lain ungu, biru, hitam, merah muda, dan putih tergantung daerah penggaliannya karena warna-warna tersebut juga ditentukan oleh kandungan mineral yang terdapat di dalam tanah. (Sst, tanah di belakang rumahku banyak terdapat batu kecubung lho! Sayangnya, mama malah membuat spiteng di tanah tersebut. Hadeuh…)

Dulu hutan di daerah kami merupakan investor kayu terbesar bagi devisa negara Indonesia. Sayangnya maraknya illegal logging membuat hutan kami menjadi gundul dan perlu sedikitnya 50 tahun lagi agar hutan di daerah kami dapat kembali hijau seperti semula. Jika kalian berperahu atau mengendarai speedboat mengarungi sungai Lamandau rute Pangkalan Bun-Kotawaringin Lama atau terus lanjut hingga Nangabulik, maka di sepanjang perjalanan kalian akan disuguhi pemandangan alam yang bestari. Banyak tanaman bungur di sepanjang tepian sungai dengan bunganya yang berwarna ungu menambah indah panorama seakan kita sedang berekreasi melihat bunga sakura di negara Jepang. Tidak jarang pula kita dapat menemukan burung elang maupun burung enggang (tingang) terbang rendah di atas kepala kita. Dan hingga saat ini aku masih sering menemukannya setiap melakukan perjalanan berspeedboat dari Desa Petarikan menuju Sukamara. Belum lagi semakin naik ke hulu sungai Lamandau arus sungainya semakin deras penuh dengan riam atau jeram. Bagi kalian yang menyukai kegiatan raftling sungai Lamandau recommended banget nih! Tapi hati-hati lho, sebab sungai-sungai di Kalimantan ukurannya gede-gede kaya laut! Plus banyak buayanya juga. (Termasuk buaya darat, hehehe…  😛  )

image

Nah, sebagai satu-satunya kota yang mendapat kehormatan tempat evakuasi para jenazah korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501, ternyata hal ini berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat provinsi Kalimantan Tengah. Terutama wilayah kabupaten Kotawaringin Barat, Lamandau, dan Sukamara dalam sektor perekonomian. Bukan maksud mensyukuri atas musibah yang telah terjadi. Namun dengan dijadikannya Pangkalan Bun sebagai pusat evakuasi korban, banyak penduduk dari luar Pangkalan Bun yang berdatangan ke Bandara Iskandar dan Pantai Kubu. Mereka tidak hanya sekadar ingin melihat jenazah, namun ada juga yang mencoba menyisir pantai berharap mereka dapat turut menemukan jenazah yang mungkin terdampar di pantai layaknya tim BASARNAS yang menemukan korban di laut. Bangsa Indonesia memang bangsa yang memiliki solidaritas tinggi. Walaupun para korban tersebut belum tentu saudara kita, namun kita turut membantu mencari. Hampir seluruh hotel dan penginapan (losmen) di Pangkalan Bun penuh oleh para pendatang dari luar kota termasuk para relawan dari luar negeri meskipun pemerintah telah menyediakan posko khusus untuk mereka. Namun tidak menutup kemungkinan cukup banyak wartawan dan reporter internasional yang turut meliput musibah tersebut. Maka dengan kata lain sejumlah penginapan, rumah makan, dan tempat usaha lainnya mendapat konsumen lebih di atas rata-rata hari biasanya. Itulah mengapa aku menulis bahwa musibah ini berdampak terhadap perekonomian masyarakat di ketiga kabupaten yang telah kusebutkan di atas. Contoh lainnya adalah meningkatnya jumlah pesanan peti jenazah di kabupaten Lamandau seiring bertambahnya jumlah korban yang berhasil dievakuasi oleh tim penyelamat. Sebaliknya para nelayan di pesisir Kotawaringin Barat dan Sukamara mengalami kerugian karena untuk beberapa saat ini masyarakat enggan mengkonsumsi ikan laut bukan dikarenakan adanya kemungkinan bahwa sebagian ikan dari perairan Teluk Kumai telah menggigiti para jenazah pasca kecelakaan. Melainkan sebagai wujud empati masyarakat Kalimantan bahwa kami turut kehilangan saudara kami sesama bangsa Indonesia. Bahkan ketika malam perayaan tahun baru, seluruh masyarakat Pangkalan Bun tidak merayakannya secara besar-besaran. Kami hanya menyelenggarakan doa bersama di Bundaran Pancasila dengan masing-masing orang berbekal sebatang lilin sebagai penerang. Itulah wujud rasa duka cita kami. Meskipun tidak memungkinkan semua korban dapat dievakuasi, mengingat kondisi cuaca di perairan Teluk Kumai tidak menentu. Tidak ada salahnya bagi kita untuk terus berharap dan berdoa. Semoga tim penyelamat berhasil menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Serta semoga saudara-saudara kita yang telah tiada dapat beristirahat dengan tenang dan damai di peristirahatannya yang terakhir.

image

Pangkalan Bun akan tetap dikenang oleh bangsa Indonesia meskipun kalian belum pernah ke sana. Setidaknya kota kami tercinta memang tercetak di dalam peta. Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia.