Budaya Pus Am

Sebenarnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Sedikit khawatir bila tulisan ini akan menuai kontraversi seperti jambul Khatulistiwanya Syahrini, karena artikel yang akan saya angkat menyangkut adat-istiadat masyarakat luas di daerah tempat tinggal saya. Setelah saya mempertimbangkan lebih lanjut, saya harus menulis artikel ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu hal senantiasa memiliki dua sisi yang bertolak belakang: baik dan buruk, positif dan negatif, menguntungkan dan merugikan.

Masyarakat di daerah barat daya provinsi Kalimantan Tengah mengenal budaya pus-am sejak zaman nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut yang meliputi kabupaten Sukamara, kabupaten Lamandau, dan sebagian kabupaten Kotawaringin Barat. Ada pula masyarakat di wilayah selatan kabupaten Ketapang yang terletak di provinsi Kalimantan Barat. Lalu, apakah yang dimaksud dengan budaya pus am itu?

Lebih tepatnya pus am atau kerap juga dilafalkan pusam dalam aksen cepat, adalah suatu kebiasaan masyarakat di wilayah yang telah saya sebutkan di atas, di mana mereka enggan memedulikan suatu persoalan yang mungkin dianggap penting oleh lawan bicaranya. Secara harfiah pus dapat diartikan ‘biar saja’ dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi masyarakat cenderung mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang berarti ‘masak bodoh’. Masyarakat di perbatasan Kalbar dan Kalteng seringkali melafalkannya, “pus am!” atau “pus am bah!” dengan intonasi meninggi pada kata ‘am’ dan memanjang pada pengucapan kata ‘bah’ menjadi ‘baaah!’ 

Kata ‘am’ dan ‘bah’ itu sendiri tidak memiliki makna yang berarti. Kedua kata tersebut hanya menjadi penghias kalimat, atau penekan kalimat yang mengindikasikan kasar-halusnya suatu pengucapan. Bunyi ucapan tersebut memang tidak nyaman didengar dan terkesan kasar. Akan tetapi kebiasaan mengucapkan kata-kata pus am telah mendarah daging di masyarakat sehingga menjadi tradisi. Saya kerap dibuat jengkel tatkala mendengar seseorang mengatakan pus am kepada saya. Seringnya saya mendengar kata-kata tersebut akhirnya saya menjadi terbiasa dan bersikap sabar ketika menyikapinya. Beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah saya alami dengan budaya pus am antara lain sebagai berikut:

Pertama, waktu itu saya baru menjadi seorang guru di sebuah SMA. Murid-murid saya tidak berpakaian rapi layaknya pelajar. Dan saya menegur mereka, “Tolong dimasukkan pakaiannya ya, supaya kelihatan rapi!” Namun mereka membalas ucapan saya dengan pernyataan, “Pus am, Pak! Apa guna rapi-rapi?” sambil berlalu meninggalkan saya tanpa mengindahkan teguran saya. Melihat hal itu, saya hanya menggeleng-geleng kepala.

Kedua, pernah suatu ketika saya menyuruh salah seorang siswa untuk menjenguk temannya yang beberapa hari tidak masuk sekolah. “Sudah beberapa hari Rafta tidak masuk sekolah, bisakah kamu mampir ke rumahnya sepulang sekolah nanti? Barangkali dia sakit,” pinta saya waktu itu. Tak disangka jawaban murid yang saya mintai tolong itu seperti ini, “Pus am bah! Apa guna juga menjenguk dia? Biar ja amun dia sakit.” Ujarnya dengan nada datar. Mulut saya ternganga mendengar jawaban tersebut. Apakah dia tidak memiliki solidaritas, pikir saya.

Ketiga, saat sedang ujian berlangsung salah seorang siswa tak kunjung mengisi lembar jawabannya. Sementara waktu ujian akan segera habis. Secara kebetulan saya sedang mengawas. Tentu saja begitu saya melihat kejadian itu, saya langsung menegur siswa yang bersangkutan. “Tolong lembar jawabanmu segera diisi, karena waktu ujian sudah mau habis. Maaf, saya tidak bisa memberi perpanjangan waktu untuk itu,” ucap saya dengan hati-hati. Lagi, mata saya harus membelalak lebar mendengar tanggapan si empu kertas. “Alah, pus am bah, Pak! Mau waktunya habiskah, mau diperpanjangkah nggak urus. Biar nggak dapat nilai juga!” 

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang di daerah tempat tinggal saya memiliki pola pikir yang begitu pendek. Mereka tidak mau memedulikan apa yang orang lain khawatirkan meskipun hal tersebut berkaitan erat hubungannya dengan mereka. 

Kejadian lain yang pernah saya alami, suatu hari saya melihat seorang anak balita kira-kira berusia dua tahun berjalan kaki mengikuti ibunya keluar masuk hutan untuk mencari rebung. Panas matahari begitu terik, bocah itu tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Bocah itu meraung-raung kesakitan sambil terus mengejar sang ibu yang berjalan jauh di depan. Saya tidak tega melihatnya, apalagi kaki si bocah dipenuhi luka parut akibat bergesekan dengan semak berduri dan ranting pepohonan yang tidak bersahabat dengannya. “Aduh Bu, ini anaknya kasihan luka-luka. Ayo saya antar ke puskesmas,” tawar saya seraya menggendong si bocah. Sang ibu dengan sikap acuh tak acuh, hanya menoleh ke arah saya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya jauh ke dalam hutan. “Pus am, Pak! Suruh dia jalan lagi!” teriaknya tiba-tiba dari kejauhan. Ya, saya maklum penduduk lokal memang terbiasa berjalan tanpa alas kaki. Karena itulah mereka memiliki fisik yang sangat kuat. Tapi untuk anak seusia itu? Terlalu dini rasanya. Atau jiwa saya yang terlalu lembut?

Di lain waktu pernah pula seorang teman meminjam beberapa barang milik saya antara lain jam tangan, jaket, dan sepatu. Entah disengaja atau tidak, semua barang yang dipinjam oleh teman saya itu ditinggalkannya di kamar hotel ketika ia berjalan-jalan ke kota dengan kekasihnya. Setelah saya memintanya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, dengan enteng teman saya ini menjawab, “Pus am bah! Ambil aja sendiri ke hotel sana!” Grr… Benar-benar menjengkelkan punya teman seperti itu. 

Ada banyak sekali kejadian berujung pus am yang saya alami. Kebanyakan pus am-pus am itu lebih bermakna ‘Sorry ya, aku nggak peduli’. Sampai akhirnya saya memahami mengapa tradisi pus am telah mendarah daging di masyarakat sejak zaman bahari. Konon dahulu kala di pedalaman pulau Kalimantan pada masa kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, para kompeni tidak pernah sampai ke area pedalaman. Sehingga penduduk di pedalaman tidak terlalu menderita seperti halnya penduduk di kota yang notabene banyak mengalami penyiksaan. Penduduk pedalaman berjiwa bebas. Mereka berperang bukan untuk melawan penjajah, melainkan suku lain yang dianggap musuh oleh suku mereka. Begitu negara Indonesia merdeka dan pulau Kalimantan masuk ke dalam wilayah NKRI, penduduk di pedalaman tidak begitu mengerti makna sebuah kemerdekaan. Mereka kurang menjiwai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila seperti tenggang rasa, toleransi, musyawarah, dan jiwa nasionalisme. Saking kurang memahaminya, pernah saya mengunjungi suatu dusun di pelosok Kalbar pada bulan Agustus untuk melihat perayaan dirgahayu RI di sana. Setibanya di sana saya sangat kaget, karena saya merasa tiba-tiba bukan berada di negara sendiri. Sepertinya saya sudah tersesat ke Republik Polandia. Karena apa? Sang saka merah putih dikibarkan terbalik di setiap halaman rumah para penduduk dusun. Saat saya memberitahu warga bahwa pemasangan bendera di dusun mereka semua terbalik, lagi-lagi warga hanya menanggapi perkataan saya dengan kata, “Pus am!”

Apa saya terus tinggal diam menyikapi orang-orang di sekitar saya untuk melestarikan budaya pus am? Awalnya saya maklum, dan hanya bisa menerima perlakuan yang tidak mengenakkan ini secara sepihak. Seiring bergulirnya waktu akhirnya saya mencoba untuk menentangnya. Tentu saja bukan dengan cara yang ekstrim dan anarkis. Cara saya adalah menempatkan diri saya sebagai bintang drama Korea. Haha… mungkin ini lucu kedengarannya. Silakan Anda baca kembali cerita kejadian-kejadian yang telah saya alami di atas. Bayangkan kalau Anda sedang menyaksikan adegan drama Korea di mana para tokoh-tokohnya sedang cekcok satu sama lain. 

Setiap ada murid yang penampilannya tidak rapi, saya tetap menegur mereka untuk merapikannya tak peduli bila mereka mengatakan pus am kepada saya. Bila mereka tak mengindahkan perkataan saya, maka aksi drama Korea saya adalah menghalangi langkah mereka sebelum mereka berlalu meninggalkan saya. “Hey, biar saya saja yang merapikan pakaian kalian! Orang tua kalian tidak pernah mengajari bagaimana cara berdandan ya? Ayo, sini saya ajarkan sekalian! Penampilan saya sepuluh kali lebih rapi daripada Lee Min Ho. Kalian tahu itu?” Sengit saya seraya bergerak menghampiri mereka.

Setiap kali melihat murid yang tidak peduli terhadap keadaan temannya, saya membujuk mereka dari hati ke hati, “Ayolah, kalian tidak sedang putus cinta kan? Apa kamu tahu kalau dia selama ini sebenarnya sangat perhatian terhadapmu? Kamu pasti tidak tahu kan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan selama ini untukmu? Jadi, saya mohon jenguklah dia di rumahnya. Dia pasti akan sembuh setelah melihat kedatanganmu! Ayo, kita jenguk dia sama-sama!” 

Dan setiap kali saya mendapati teman yang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang mereka pinjam dari saya, maka aksi drama Korea saya selanjutnya adalah: “Bisa tolong tunjukkan kartu identitasmu? Silakan tunggu sebentar, tidak lama lagi polisi akan tiba di sini. Baru saja saya melaporkan kalau ada anggota teroris yang mengidap penyakit demensia di sini.”

Haha… Ini konyol sekali, kan? Mungkin ini terlalu frontal. Akan tetapi memang demikianlah karakteristik penduduk di daerah saya. Karakter mereka tidak berbeda dengan karakter orang Korea dalam drama. Saat seseorang bersikap frontal terhadap kita, maka cara jitu yang bisa mengatasinya adalah membalas tindakan secara frontal kembali. Bukan hanya diam menerimanya begitu saja secara sepihak. Karena itulah mengapa saya bersikap layaknya para aktor Korea.  

Usaha saya selama ini tidak sia-sia. Sebagai seorang guru yang berpacu dengan arus globalisasi, saya harus memiliki sikap kontemporer. Di mana jiwa pendidik yang bersemayam di dalam diri saya tidak harus selamanya ortodoks yang senantiasa mengikuti sikap kharismatis Oemar Bakri, sang guru teladan yang fenomenal itu. Katakan saja saya adalah seorang guru yang sensasional, tetapi justru sikap seperti inilah yang cocok diterapkan dalam mendidik putra-putri generasi muda di daerah saya. Dengan berbagai metode pendekatan sensasional yang saya lakukan terhadap orang-orang di sekeliling saya, pada saat ini budaya pus am telah berbalik memberi kesan yang jauh lebih baik daripada empat belas tahun sebelumnya. 

Ketika seorang teman belum mengembalikan uang yang dipinjamnya, sang pemberi pinjaman berkata: “Pus am bah! Enggak apa-apa, nggak dikembalikan juga. Saya ikhlas kok!” Oh, tidakkah ini sangat dermawan? 

Ketika seorang teman membayarkan makanan yang kita makan, kita bermaksud mengganti biaya yang telah dibayarkannya. Maka teman itu akan berkata, “Nggak usah diganti! Pus am bah, biar saya yang bayar!” 

Dengan demikian dari dua contoh kejadian di atas, perkataan pus am telah mengalami pergeseran makna menjadi: “Sudahlah, biar saja tidak apa-apa!” dengan penekanan yang sangat halus. Itulah pengalaman saya dalam kurun empat belas tahun terakhir mengenai budaya pus am di daerah saya. Tak diduga budaya dalam drama Korea bisa memberikan manfaat dalam kehidupan saya. Percayalah, di mana ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya ya. Salam…

Drama Korea Favoritku : The Royal Family

jisung2lis-ki-tae-youngsoonhohyeon jinhyeonjinjiseongRoyal-Family6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa minggu terakhir ini insomnia yang kualami rasanya semakin akut. Aku baru bisa terlelap tidur setelah hari menjelang pagi dan kembali bangun beberapa jam sesudahnya. Untunglah aku senantiasa ditemani oleh drama-drama Asia kesukaanku di LBS TV dan Haari TV. Salah satu drama yang paling kusukai adalah drama Korea yang berjudul The Royal Family. Meskipun itu adalah drama jadul dan sudah kelewat basi untuk kukupas di sini, namun aku sangat bersemangat untuk menulisnya kembali berhubung banyaknya sinopsis yang tidak sesuai di blog-blog sebelah. Mengapa aku menyukai drama ini? Alasannya karena Jisung! Sejak pertama kali melihat aksinya dalam ALL IN pada awal dekade 2000 silam (ups, jadul banget ya! 😀 ) aku sudah mengagumi aktingnya. Aku bahkan pernah berharap Jisung akan menikah dengan aktris cantik idolaku Song Hye Kyo. Sayang seribu sayang ternyata kisah cinta mereka berdua kandas di tengah jalan. Mereka berdua tidak berjodoh meskipun mereka terlihat seperti pasangan serasi. Tapi it’s ok-lah, aku tetap mengagumi mereka berdua kok! Hehehe…

 

 

Yum Jung Ah as Kim In Sook

Yum Jung Ah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ji Sung as Han Ji Hoon

 

Kim Young Ae as Gong Soon Ho

 

 

Cha Ye Ryun as Jo Hyun Jin

 

Jun Noh Min as Uhm Ki Do

 

Dongho Jo Byung Joon

 

 

 

 

 

 

 

 

The Royal Family mengangkat kisah tentang seorang wanita malang bernama Kim In Sook yang menikahi seorang pria dari keluarga chaebol (bangsawan kaya) pewaris perusahaan JK Group, Gong Dong Ho. Kim In Sook sebenarnya adalah Kim Mary. Ia memanipulasi kematiannya sendiri guna menghindari masalah yang tengah menimpanya. Ternyata Kim In Sook menyimpan masa lalu yang sangat kelam. Kehidupan rumah tangga Kim In Sook bersama Dong Ho tidak berlangsung bahagia. Sebab ibu mertuanya tidak pernah merestui pernikahan mereka dengan alasan Dong Ho selalu mengatakan kepada sang ibu, Gong Soon Ho, bahwa In Sook memiliki karakter yang jauh berbeda dengan sang ibu. Gong Soon Ho yang licik merestui pernikahan putranya dengan cara menipunya melalui surat perjanjian. Dong Ho tidak menyadari kalau surat perjanjian yang ditandatanganinya atas permintaan ibunya berlapis ganda. Ia menandatangani surat pada lapisan kedua yang sebenarnya berisi pernyataan bahwa setelah menikah dengan In Sook, nama Dong Ho dicoret dari daftar pewaris perusahaan.

 

In Sook yang malang selalu berada di bawah tekanan ibu mertuanya dan dibayang-bayangi oleh masa lalunya selama 18 tahun. Akibatnya ia menderita insomnia karena terlalu sering memikirkan masalahnya. Kehadirannya sama sekali tidak pernah dianggap dalam keluarga JK. In Sook selalu dipanggil ‘K’ oleh seluruh anggota keluarga JK seolah ia tidak memiliki nama. Setelah kecelakaan helikopter yang menewaskan Dong Ho, Gong Soon Ho berusaha menyingkirkan In Sook agar saham yang dimiliki Dong Ho tidak jatuh ke tangan In Sook, menantu yang sangat dibencinya. Di saat itulah Han Ji Hoon hadir menjadi pengacara baru keluarga JK. Ji Hoon sudah sangat lama mengenal In Sook sejak mereka tinggal di panti asuhan. Sebelumnya Ji Hoon pernah difitnah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap seorang gadis bernama Moo Young dan anak laki-laki bernama Hyeon Jeong Jo yang tinggal satu panti asuhan dengannya. Ji Hoon dituduh menjadi tersangka karena di samping mayat Jeong Jo ditemukan boneka beruang miliknya. Sebuah boneka bertulisan nama Willshire yang dijahit oleh In Sook untuknya. Di saat itulah In Sook mengirimkan pengacara untuk membebaskannya, dan bertahun-tahun kemudian Ji Hoon tumbuh dewasa menjadi seorang jaksa dan dia berhasil menyeret pelaku pembunuhan sebenarnya yang tak lain adalah bapak kepala panti, Choi Jae Sik. Ji Hoon pun berhasil memulihkan nama baiknya kembali. Karena merasa berhutang budi kepada In Sook, Ji Hoon bermaksud menjadi pengacara pribadinya dan membantunya mendapatkan hak waris Dong Ho yang selama ini telah dimanipulasi oleh Gong Soon Ho. In Sook bersikeras merebut tahta presiden JK dari Gong Soon Ho demi masa depan putranya yang sedang belajar di Amerika, Jo Byung Joon. Sayangnya para menantu di keluarga JK sangat menentang usahanya. Semua anggota keluarga JK saling berebut tahta kepresidenan perusahaan JK Group. Terutama Dong Jin, anak sulung Gong Soon Ho, dan istrinya yang bernama Im Yoon Seo. Mereka dicoret dari daftar ahli waris gara-gara terlalu banyak skandal yang mereka perbuat. Dong Jin memiliki affair dengan seorang aktris cantik, demikian pula halnya dengan Yoon Seo yang berselingkuh dengan Ohm Ki Do, asisten keluarga JK yang telah mengabdi selama 18 tahun. Belum lagi skandal video porno yang beredar di internet yang diperbuat oleh putri tunggal mereka. Keberadaan Yoon Seo sendiri menjadi ancaman besar bagi In Sook karena ia sangat membenci In Sook dan ingin menjegal langkahnya dalam meraih kursi presiden JK Group. Untunglah In Sook memiliki tangan kanan yang dapat diandalkan, pria setengah baya yang juga terlibat dalam kasus masa lalunya, Ohm Ki Do. Walaupun Ohm Ki Do adalah asisten keluarga JK, akan tetapi sikapnya sangat baik kepada In Sook. Demi In Sook ia rela mati melakukan apapun untuknya.

 

Ji Hoon mendengar kabar bahwa keluarga JK merencanakan konspirasi dengan menganggap In Sook sebagai orang bodoh yang suka berjudi dan mereka berniat mengambil hak asuh Byung Joon dari In Sook. Karena merasa iba kepada In Sook, Ji Hoon memutuskan untuk membantu In Sook dalam meraih kedudukan presiden JK Group. Ji Hoon mulai sadar dengan perasaannya kepada In Sook yang 15 tahun terlampau lebih tua darinya. Baginya In Sook adalah wanita berhati malaikat yang senantiasa melindunginya. Berulang kali Ji Hoon mengajak In Sook pergi meninggalkan JK Group untuk selamanya. Namun In Sook selalu menolak permintaannya. Di tengah percintaan In Sook dan Ji Hoon, secara blak-blakan Jo Hyeon Jin, putri bungsu Gong Soon Ho mengungkapkan perasaannya kepada Ji Hoon. Ia kerap mendatangi Ji Hoon dan memintanya untuk menjauhi In Sook, namun sayang Ji Hoon sudah kepalang cinta mati kepada In Sook.

 

Suatu hari ketika In Sook berhasil mendapatkan kedudukan yang diinginkannya, datang seorang pemuda bule bernama Johnny Hayward dari Amerika yang mencari keberadaan ibunya dan tak lain adalah Kim Mary. Johnny datang sambil membawa boneka beruang milik ayahnya yang bernama Willshire. Melihat kedatangan Johnny membuat perasaan In Sook tidak tenang. Ia khawatir Johnny akan menjadi penghalang baginya. Setelah In Sook menyembunyikan Johnny dalam ruang kerjanya, Johnny menghilang dari ruangan. Ji Hoon sangat terkejut mendengar kabar dari sahabatnya yang juga seorang jaksa bernama Kang Choong Ki bahwa telah ditemukan sesosok mayat di sebuah taman tidak jauh dari Hotel JK atas nama Johnny Hayward dalam keadaan tertusuk di perutnya, di samping mayat itu pula ditemukan sebuah boneka beruang bertuliskan Willshire yang sama persis dengan milik Ji Hoon. Lantas Ji Hoon pun berusaha menguak kasus tersebut karena menyangkut kasusnya terdahulu. Setelah diusut, akhirnya kasus tersebut mengacu kepada Kim Mary yang tak lain adalah In Sook. Sedikit demi sedikit masa lalu In Sook pun mulai terkuak. Flashback kembali berputar dalam ingatannya menuju peristiwa 18 tahun lalu…

 

Saat berusia 7 tahun Kim Mary ditemukan oleh seorang tentara yang tak lain adalah Ohm Ki Do di stasiun kereta tanpa orang tua. Ohm Ki Do membawanya dan menitipkannya kepada Nyonya Kang Mi Ja. Ia adalah seorang germo yang bekerja di pangkalan militer Amerika Serikat. Oleh Kang Mi Ja, In Sook diserahkan kepada keluarga Tuan Han Ji Eun yang tak lain adalah ayah Ji Hoon bersama istrinya Seo Soon Ae, keluarga kecil ini tinggal bersama Kang Mi Ja di camp militer Amerika Serikat. Saat usia Kim Mary genap 15 tahun, Kang Mi Ja menjadikannya pelacur dan menjual keperawanannya kepada para tentara Amerika di bar tempat para tentara berpesta. Maka terjadilah tawar-menawar antara para tentara Amerika di dalam bar. Seakan-akan Kim Mary adalah barang dagangan yang sedang dilelang. Seorang tentara bernama Willshire telah lama menaruh hati kepada Mary dan berusaha menyelamatkannya dari tentara lain yang bernama Steve, sebab Steve senang memperawani para gadis kemudian membunuhnya. Ternyata setelah Willshire berhasil memenangkan pelelangan atas Mary, Willshire sama sekali tidak menyetubuhi Mary karena ia tahu Mary masih ingin terus bersekolah demi meraih cita-citanya. Tanpa sepengetahuan Willshire diam-diam Steve membawa pergi Mary dan bermaksud memperkosanya. Beruntung Han Ji Eun berhasil menyelamatkannya meski harus mempertaruhkan nyawanya. Ohm Ki Do yang kebetulan melihat hal tersebut segera menghampiri. Pertarungan melawan Steve pun tak terelakkan. Sementara itu Mary dalam keadaan ketakutan memukul kepala Steve dari belakang dengan batu besar hingga membuatnya tewas. Ohm Ki Do membawa pergi Mary dan memalsukan kematian Mary demi menyelamatkannya dari pihak militer yang akan menuntutnya atas kematian Steve. Kematian Han Ji Eun membuat Seo Soon Ae mengalami gangguan kejiwaan. Mary yang memiliki identitas baru sebagai Kim In Sook memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Sedangkan Ji Hoon yang masih kecil dimasukkannya ke dalam panti asuhan.

 

Fakta demi fakta berhasil dikumpulkan oleh Ji Hoon. Akhirnya ia mengetahui bahwa In Sook adalah Mary. Ji Hoon sangat terguncang dan enggan meyakini fakta yang telah didapatnya. Sementara itu Yoon Seo yang mengetahui kelicikan Gong Soon Ho, bersedia diajak bekerja sama dengan In Sook. Ia tidak terima akan kenyataan yang diberitahu oleh In Sook kalau sebenarnya Nyonya Gong Soon Ho diam-diam telah membuat surat wasiat terbaru di mana hanya Jo Hyeon Jin-lah satu-satunya ahli waris yang akan menggantikan kedudukannya sebagai presiden JK Group. Padahal Yoon Seo sudah mengancam sang ibu mertua dengan cara ia akan menuntut cerai kepada Dong Jin. Nyonya Gong memang sangat anti akan perceraian di dalam keluarganya. Maka dari itu ia terpaksa memenuhi tuntutan Yoon Seo untuk menjadikan Dong Jin sebagai pewaris tunggal perusahaannya. Pada kenyataannya Gong Soon Ho yang licik tidak memenuhi permintaan tersebut sepenuh hatinya.

 

Di luar dugaan Dong Jin berhasil mengetahui tindakan Ohm Ki Do yang selalu membantu In Sook memuluskan rencana yang dijalankannya. Dong Jin menyuruh anak buahnya untuk menculik Ohm Ki Do. Dalam pertarungan berusaha melepaskan diri dari penculikan, Ohm Ki Do terpaksa menjatuhkan diri dari sebuah lantai yang berjalan buntu tepat bersamaan datangnya Ji Hoon yang bermaksud menyelamatkannya dari penculikan Dong Jin. Ohm Ki Do terluka parah dan segera dilarikan ke rumah sakit. Selang beberapa waktu setibanya di rumah sakit, setelah In Sook datang melihat keadaannya Ohm Ki Do menghembuskan napasnya yang terakhir. Sebelum mati ia sempat berpesan kepada Ji Hoon, agar Ji Hoon membela Mary baik dalam keadaan bersalah ataupun tidak atas keterlibatan Mary dalam kasus kematian Johnny Hayward. Jauh hari sebelumnya Ohm Ki Do juga telah mengirim sebuah paket kepada Ji Hoon yang berisi bukti-bukti bahwa Mary atau In Sook tidak bersalah. Akhirnya Ji Hoon memutuskan untuk berhadapan langsung dengan Gong Soon Ho. Dia pula yang membuat Gong Soon Ho kelabakan dengan opsi yang diberikan oleh Ji Hoon kepadanya. Sebab Ji Hoon sendiri pernah difitnah oleh Gong Soon Ho bahwa Ji Hoon yang telah membunuh Johnny Hayward. Boneka beruang Willshire menjadi bukti kuat yang menyudutkan Ji Hoon sebagai tersangka utama kasus tersebut. Hanya berkat usaha In Sook-lah Ji Hoon dapat terbebas dari tuduhan Gong Soon Ho, secara pribadi In Sook menulis surat pernyataan perihal jati dirinya yang sebenarnya dan keterlibatannya dalam kasus kematian Johnny Hayward. Gong Soon Ho sangat kaget membaca surat pengakuan In Sook, namun setelah menemui ibu negara dan membicarakan masalah tersebut, ibu negara yang sangat dekat dengan In Sook melarang keras Gong Soon Ho untuk mempublikasikannya kepada media. Oleh sebab itu setelah Ji Hoon dibebaskan dari tuduhannya, Gong Soon Ho kelabakan menghadapi pilihan yang diberikan oleh Ji Hoon, yaitu : mengumumkan kepada media mengenai perceraian Dong Jin dan Yoon Seo, atau mengakui segala kejahatan yang telah diperbuatnya selama ini dan Dong Jin dijebloskan ke dalam penjara. Atau bilamana tidak bersedia memilih salah satu di antara kedua pilihan tadi Gong Soon Ho diharuskan memilih pilihan terakhir yaitu menyerah kalah kepada In Sook.

 

Pada akhirnya di saat permasalahan semakin kritis In Sook yang bersedia mengikuti perintah Dong Jin untuk bunuh diri terjun dari atas puncak gedung JK Medis demi menyelamatkan nyawa Seo Soon Ae atau ibu kandung Ji Hoon, berhasil diselamatkan oleh Ji Hoon setelah Ji Hoon menggertak Gong Soon Ho untuk segera menghubungi Dong Jin dan menghentikan perbuatannya. Setelah In Sook selamat, Gong Soon Ho mendatangi kediaman In Sook dan menyatakan kekalahannya. Lalu ia mengajak In Sook berjabat tangan sebagai tanda pertikaian di antara mereka telah berakhir. Gong Soon Ho bersedia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepada In Sook. Sekeluarnya Goong Soon Ho dari rumah In Sook, tubuhnya mendadak drop. Ia merasa ajal sedang menjemputnya.

 

Pada hari upacara peresmian In Sook sebagai presiden JK Group yang baru, tiba-tiba saja Ji Hoon mendapat telepon dari Kang Choong Ki yang memberitahunya kalau ia sudah mengetahui siapa Kim Mary yang sebenarnya setelah Choong Ki berhasil mengorek informasi dari Kang Mi Ja. Ternyata Kang Mi Ja yang sempat diamankan oleh Ohm Ki Do ke Macao, terlibat kasus narkoba sehingga ia dipulangkan ke Korea. Sebelum Choong Ki datang, Ji Hoon bertindak lebih dulu untuk mengadili In Sook dan memaksanya mengakui perbuatan yang telah dilakukannya terhadap Johnny Hayward. Dengan sangat ketakutan In Sook pun menceritakan seluruh kejadian yang sebenarnya. Menurut pengakuan In Sook, Johnny memohon kepadanya untuk membunuhnya bila In Sook enggan mengakuinya sebagai anaknya. Johnny menusuk perutnya sendiri dengan sebuah benda kecil berujung runcing di saat ia memeluk In Sook sehingga menyebabkan In Sook panik. In Sook pun merasa bersalah atas insiden tersebut. Setelah Johnny pergi keluar meninggalkan Hotel JK dalam keadaan terluka, ia tidak lantas pergi jauh begitu saja melainkan ia ingin melindungi In Sook dari bahaya yang sedang mengancamnya. Hingga akhirnya Johnny tewas di taman tempat di mana mayatnya ditemukan oleh Choong Ki. Setelah In Sook menceritakan kejadian yang sebenarnya, Ji Hoon menyerahkan sejumlah barang bukti yang pernah dikirimkan oleh Ohm Ki Do sebelum ia mati kepada Choong Ki. Akhirnya In Sook dinyatakan tidak bersalah.

 

Kondisi kesehatan Gong Soon Ho sangat kritis. Ia sempat menyuruh asisten pribadinya untuk menghubungi Kim Richard, guna menyabotase helikopter yang akan ditumpangi In Sook. Namun pada detik-detik menjelang kematiannya ia malah berkata kalau dirinya ingin melihat In Sook karena ia merasa akan masuk neraka bersama-sama dengan In Sook hanya gara-gara In Sook sering mengatakan kepadanya : “Doronglah aku ke dalam jurang! Maka aku akan menarik tanganmu agar kau ikut mati bersamaku! Aku ingin kau yang melakukannya!”

 

Saat In Sook menaiki helikopter untuk memenuhi permintaan Gong Soon Ho yang ingin bertemu dengannya sebelum ajal menjemputnya, entah mengapa Ji Hoon malah ikut naik bersamanya. Lalu dikabarkan oleh media massa bahwa helikopter yang ditumpangi In Sook dan Ji Hoon telah menghilang selama 2 hari dan belum kunjung ditemukan. Kemungkinan helikopter mereka telah jatuh di suatu tempat yang tidak diketahui siapapun. Dan para penumpangnya dinyatakan telah tewas bersamaan dengan jatuhnya pesawat. Seminggu kemudian Hyeon Jin diangkat menjadi presiden JK Group menggantikan In Sook sesuai dengan isi surat wasiat yang dibuat Gong Soon Ho semasa hidupnya. Sementara Seo Soon Ae tinggal di panti asuhan bersama para sahabat Ji Hoon. Saat sedang mengemasi barang-barang Ji Hoon di kopernya, Soon Ae menemukan sepucuk surat yang telah ditulis oleh Ji Hoon sebelum ia pergi bersama In Sook. Dalam surat itu Ji Hoon mengatakan kalau ia sedang berhadapan dengan seekor monster, bila Soon Ae mendengar kabar bahwa dirinya telah mati dimakan monster maka harap jangan percaya pada berita tersebut. Soon Ae percaya pada isi surat itu. Ia menyuruh dua sahabat Ji Hoon untuk segera menikah meskipun tanpa kehadiran Ji Hoon.

 

Nun jauh di langit sana Han Ji Hoon tengah berbahagia bersama Kim In Sook. Setelah sekian lama ia membujuk wanita yang sangat dicintainya itu untuk pergi jauh meninggalkan JK Group akhirnya tercapai. In Sook bersedia ikut bersama Ji Hoon pergi berkeliling dunia dengan helikopter yang mereka naiki. Berdua mereka akan melupakan semuanya. SEKIAN.