Melanjutkan Mimpi


Buku pelajaran Bahasa Jepang semasa SMA

Malam ini aku tak bisa tidur karena memikirkan teteh Syahrini yang cantiknya cetar membahana. Tugas mengisi nilai rapor belum selesai. Akh, K13 (Kurikulum 2013, red) ini amat-sangat menyusahkanku. Bagaimana tidak, rapor ini super detail dalam setiap deskripsi mata pelajarannya. Termasuk semua karakter dan kepribadian siswa harus dijabarkan secara terperinci dan mendalam. Bila kita yang pernah mengenyam kurikulum 1994 hanya bisa melihat nilai finalnya saja, maka dalam rapor K13 setiap mata pelajaran dimuat beserta rincian nilai yang pernah diperoleh siswa selama satu semester. Mulai dari nilai pe-er, nilai tugas porto folio, nilai presentasi, nilai praktik menulis, nilai praktik berbicara, nilai praktik membaca, nilai bla-bla-bla dan seterusnya. DETAIL!
Suasana kegelapan gegara mati listrik turut menyelimutiku diiringi kapasitas batrai si lepi yang tinggal beberapa puluh menit lagi. Lelah dengan pekerjaan yang kulakukan, aku pun memutuskan untuk melanjutkannya besok pagi begitu arus listrik kembali mengalir. Sejenak aku termenung mengingat kalau beberapa waktu yang lalu aku telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku begitu bahagia. Dan, aku tergerak untuk menggoreskan sedikit cerita di balik keberhasilanku itu.
Kalau bukan berkat dorongan Mbak Feli yang selalu sabar menyemangatiku. Juga Mas Adi Wibowo yang selalu memanasiku bahwa dirinya sudah tiba di Jepang lebih dulu. Mungkin aku takkan pernah sampai mengunjungi negeri matahari terbit itu. Ya, seperti yang sering kuceritakan pada postingan terdahulu, aku memang sangat menggilai negara asal kartun Naruto. Mm, bukan berarti aku sangat menyukai Naruto ya. Jauh sebelum itu aku sudah begitu mencintai Jepang layaknya suami yang mencintai istri (ehem). Meskipun pada kunjungan kemarin aku tak berhasil menemui Honami Suzuki, aku akan tetap mencintainya.
Dulu, mimpiku adalah berkuliah di Tokyo Daigaku (Tokyo University) dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan mahasiswa seperti yang sering kulihat di dorama-dorama Jepang. Aku mengikuti klub menggambar, klub musik atau klub akting seperti dalam cerita-cerita komik manga. Kemudian aku menikah dengan gadis Jepang yang wajahnya mirip dengan Honami Suzuki atau Aihara Kotoko (tokoh dorama Itazura na Kiss). Kenyataannya, manusia memang hanya bisa berencana. Keputusan tetap di tangan Tuhan. Entah mengapa semua mimpiku itu harus kukubur dalam-dalam sekian belas tahun yang lalu. Jalan hidupku tidak digariskan seperti apa yang kuangan-angankan. Tetapi aku yakin, suatu saat akan tetap ada jalan menuju ke sana. Sekarang, jawabannya telah kutemukan.
Setiap kali membaca manga, aku berpikir kalau orang Jepang memiliki kepribadian yang unik. Di balik watak mereka yang introverted, mereka sangat ekspresif dalam gambar. Goresan-goresan yang mereka tuangkan ke atas kertas memacuku untuk turut berkarya. Cerita yang mereka kisahkan tidak jauh berbeda dengan keseharianku selama ini. Sejak kecil aku sedikit introverted dan tidak begitu supel. Aku cenderung penyendiri dan sering mengurung diri di dalam kamar. Duniaku hanya buku dan televisi. Sampai akhirnya waktu SD aku mengikuti suatu perkumpulan yang anggotanya hanya terdiri dari lima orang. Aku menyebutnya Genk SEDAN (Sugih, Erfan, Dadan, Amar, dan Nico). Andai aku tidak masuk sekolah, apa jadinya nama genk kami? Kami berlima adalah para lelaki yang selalu memperebutkan peringkat kedua di sekolah. Karena bagi kami mendapatkan peringkat pertama adalah hil yang mustahal. FYI, peringkat pertama selalu diduduki oleh anak guru kami-yang berwajah cantik jelita. Kami tak pernah berpikir kalau ‘sang juara’ bisa menempati posisinya karena adanya unsur KKN (Kura-Kura Ninja), sehubungan ibunya adalah seorang guru di sekolah kami. Semua mengakui kalau dia memang sangat intelek dan tak satu pun di antara kami yang berhasil menggeser posisinya hingga kami semua lulus SD. Genk kami pun akhirnya bubar. Kami telah memilih SMP favorit masing-masing.
Memasuki SMP, aku kembali menjadi penyendiri yang hanya gemar menghabiskan waktuku untuk membaca buku. Duniaku hanya sekolah, perpustakaan kota, toko buku, dan tentu saja kamarku. Setiap akhir pekan aku selalu mengunjungi toko buku untuk membeli komik-komik terbaru. Semua serial Detective Conan memenuhi meja belajarku. Usai membaca komik, aku selalu menggurat pensil di atas kertas mengikuti lekuk wajah setiap karakter dalam komik. Aku tahu, aku sangat kesepian. Karena itulah aku berpikir sepertinya kepribadianku tidak jauh berbeda dengan kepribadian orang Jepang. Aku tidak mudah bergaul jika tidak ada yang mengajakku lebih dulu. Aku malu setiap kali harus berbicara di depan banyak orang. Sampai akhirnya, aku berusaha mengubah kepribadianku begitu aku memasuki duniaku yang baru: masa SMA.


Tumpukan komik Detective Conan yang masih kusimpan hingga sekarang

Komik manga yang pernah kubuat ketika SMP bergenre  romance-mistery terinspirasi dari Salad Days karya Shinobu Inokuma 
Saat SMA, aku mendirikan sebuah organisasi English Club bersama sekelompok kakak kelas yang memiliki idealisme yang sama denganku. Kami menamai organisasi kami, LIMIT (Lima English Society). Lima merupakan nama sekolah kami, SMA Negeri 5 Bogor. Kami berkeinginan agar anggota perkumpulan kami berhasil mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri. Tak diduga klub bahasa Inggris yang kami bentuk selalu menjadi ‘the most wanted organization’ di sekolah setiap tahunnya. Lebih dari seratus orang mendaftarkan diri setiap tahun ajaran baru dimulai.
Di luar kegiatan LIMIT, aku terdaftar sebagai anggota ‘Siswa Peduli Buku’. Tugasku adalah membantu pustakawan di perpustakaan sekolah setiap hari. Mulai dari mendata anggota perpustakaan yang aktif berkunjung, hingga menata letak buku yang telah dibaca oleh para pengunjung. Hari-hariku mulai dipenuhi warna yang indah. Lucunya sejak memasuki SMA, hidupku berubah drastis. Aku tumbuh menjadi remaja gaul dan melepas image kuper (kurang pergaulan, red) yang melekat dalam diriku semasa SMP. Aku menjadi sangat sibuk dengan berbagai organisasi yang kuikuti. Tak hanya di sekolah, aku juga aktif menjadi pengurus Bogor English Club yang dinaungi oleh RRI Bogor. Ibuku tak pernah menyangka kalau aku memiliki banyak teman dari berbagai rentang usia. Teman-temanku di Bogor English Club, bukan hanya para mahasiswa IPB tetapi juga banyak orang dewasa yang sudah bekerja mapan sebagai manager bank, dosen IPB, penyiar RRI, dokter hewan, dan lain sebagainya. Pernah suatu kali karena keaktifanku di Bogor English Club, Ibu Sjahandari selaku donatur tetap yang kebetulan berprofesi sebagai manager bank terkemuka di Indonesia, memberiku beasiswa sejumlah uang tunai yang akhirnya kubayar SPP sekolah satu semester.
Tawaran untuk membentuk perkumpulan lain juga datang kepadaku. Melihat potensi bahasa Jepang dalam diriku, guru Bahasa Jepang mengajakku untuk mendirikan perkumpulan yang kami namakan ‘Gofun Dake’, artinya ‘Hanya Lima Menit’. Jadi, dalam perkumpulan tersebut kami semua berkumpul untuk bercerita dalam bahasa Jepang di mana masing-masing anggota hanya diberi durasi lima menit setiap menyampaikan cerita. Tidak seperti LIMIT, Gofun Dake memiliki anggota terbatas. Guru kami hanya memilih anak-anak yang pernah tinggal lama di Jepang (terkecuali saya). Anggota Gofun Dake terdiri dari aku, seorang kakak kelas yang bernama Aryo dan adiknya yang bernama Satria, adik-adik kelasku Hana-chan, Putu-kun, Tina-chan, dan Rangga-kun. Kadang kegiatan kami lumayan iseng. Kami semua gemar menggambar manga. Aku dan Puan (Putu-kun) sering menggambar tokoh kartun Crayon Shinchan, Aryo-kun suka sekali menggambar Gundam, Satria-kun suka Doraemon, Rangga-kun suka Samurai X, Tina-chan suka sekali serial cantik Salad Days, dan Hana-chan sangat gemar Cardcaptor Sakura. Wah, kalau sudah menggambar kami semua akan heboh saling mengomentari dan tertawa lepas bersama karena gambar kami lucu-lucu.
Setiap kali sekolah diliburkan di luar tanggal merah, klub Gofun Dake sering melakukan kunjungan ke kedutaan besar Jepang untuk mencari informasi beasiswa. Kadang juga kami pergi mengunjungi pusat kebudayaan Jepang (The Japan Foundation) hanya untuk menonton film Jepang dan membaca buku-buku bertulisan Kanji. Biasanya kami pergi bersama dengan menaiki kereta. Selain ongkosnya jauh lebih murah, juga dapat menghemat waktu karena tidak macet dan sangat cepat. Kelakuan kami tidak jauh berbeda dengan kebiasaan orang Jepang yang sangat suka jalan kaki. Jadi, setibanya di Jakarta kami semua berjalan kaki mencapai tempat tujuan. Meskipun jauh, kami sama sekali tidak pernah merasa lelah. Kami semua sangat gembira karena melakukannya bersama-sama. Kegiatan lainnya bersama perkumpulan Gofun Dake adalah mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang dan menulis kaligrafi Kanji. Aku benar-benar bangga perkumpulan kami selalu menyabet juara dalam setiap event yang kami ikuti. Aryo-kun, Satrio-kun, dan Puan-kun secara bergiliran menyabet juara pertama lomba pidato hingga ke tingkat nasional di Bandung dan Jakarta. Sementara aku sendiri pernah menyabet juara ketiga dalam lomba menulis Kanji dan Cerdas Cermat Bahasa Jepang tingkat Nasional di SMA Negeri 46 Jakarta.
Rasanya aku senang sekali. Dengan berorganisasi aku telah mengubah kepribadianku dari yang semula introverted menjadi ekstroverted. Sepertinya hidupku mengalir seperti cerita dalam komik. Sayangnya aku tidak berhasil membangun chemistry yang baik dengan semua anggota Gofun Dake. Begitu kami lulus sekolah, perkumpulan kami bubar dengan sendirinya. Tak ada lagi penerus-penerus kami yang melanjutkan perjuangan untuk dapat meraih beasiswa ke Jepang. Atau paling tidak, menjuarai kejuaraan yang pernah kami ikuti sebelumnya. Setelah kami lulus, semua anggota Gofun Dake berhasil menggapai mimpi mereka untuk melanjutkan studi di Tokyo Daigaku. Hanya aku yang belum masuk ke sana. Tetapi seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, aku percaya mimpi untuk ke Jepang itu pasti dapat kuraih meskipun tidak berkuliah di sana.
Sejak mimpiku terkubur sekian belas tahun silam, aku tak pernah lagi menggambar. Aku telah keluar dari dunia komik yang selama ini menjadi duniaku. Cita-citaku untuk menjadi seorang mangaka (manga maker) telah kukubur sejak saat itu. Akan tetapi sekarang, setelah aku berhasil mewujudkan mimpiku ini aku mulai bergerak kembali menggores pensil di atas kertas. Mimpiku akan kulanjutkan.
NB: Liputan jalan-jalan di Jepang akan kurapel setelah perjalanan backpacking ke KorSel usai. Jangan lewatkan ya^^

Kembali menggambar manga, belum discan untuk diedit di photoshop^^


Wuah, jueleknya muintah ampwun lebih parah dari gambar anak TK. Bwahahaha…

Blogger Sombong

image

Sebetulnya aku enggan menulis artikel ini. Bukan maksud untuk menjelek-jelekkan seorang blogger yang kebetulan blognya ku-follow sih. Hanya saja rasa kesal ini daripada kupendam dalam hati dan nanti bisa menimbulkan penyakit dengki, lebih baik kutulis uneg-unegku sendiri di sini dan dibaca oleh para malaikat dan para bidadari yang sedang turun dari langit untuk mandi di bumi. Hehe… 😉 ♡

Okelah, cerita ini berawal dari hobiku yang rutin blogwalking alias gentayangan di kuburannya para blogger (ups ngeri kalee…). Dan dari blogwalking itu juga biasanya aku memfollow blog para blogger yang ramai dikunjungi. Dengan asumsi blog yang ramai dikunjungi merupakan indikasi bahwa si empu blog pasti orang yang aktif menulis. Aku tidak berharap mereka akan memfollow back blogku ini. Karena aku tahu blogku ini hanya sering dikunjungi oleh para silent reader yang pelit sekali memberikan komentarnya di sini. Tapi alhamdulillah dari sekian banyak (lebih dari seratus blogger yang kuikuti) mayoritas senantiasa memberikan respon dan respek terhadap komentar-komentar yang kuberikan di blog mereka.

Suatu ketika saat aku sedang googling beasiswa monbukagakusho (kementrian pendidikan Jepang) terdamparlah aku di sebuah blog mahasiswa jebolan IPB yang konon menurut pengakuannya telah membatalkan untuk menerima beasiswa monbukagakusho karena ia juga telah lolos seleksi beasiswa LPDP Depkeu. Wah ternyata ada juga orang selain aku yang pernah menolak beasiswa monbukagakusho. Oleh karena itulah aku mengajak si pemilik blog untuk berkenalan. Awalnya sih perkenalan kami begitu hangat. Dia ramah dan kelihatannya rendah hati. Lalu mulailah aku rutin mengomentari tulisan-tulisan yang telah dipublishnya. Sebagian komentarku berisi pujian atas kepintarannya yang sangat berpengalaman mendapatkan beasiswa dan perlombaan penelitian mahasiswa se-Asia yang pernah diikutinya. Dan ada pula komentarku yang berisi saran ataupun kritikan atas penggunaan Bahasa Inggris yang dipakainya (mengingat aku sendiri adalah seorang poliglot), tidak salah kan kalau aku mengkritik? Kritikanku gak pake cabe kok. Hehe…  🙂

Ternyata dia balas berkunjung ke blogku. Namun dia tidak meninggalkan komentar apapun di blogku ini. Sudah kubilang kan kalau blogku ini adalah blog para silent reader yang pelit komentar… Kalian pasti bertanya bagaimana bisa aku mengetahui kalau dia balas bertandang kan? Gampang, aku melihatnya di statistik aplikasi wordpress di ponselku. Di sana nama blognya tertera telah mengunjungi blogku.
Nah kembali ke blog si penerima beasiswa LPDP tadi, ternyata belasan komentarku selama satu bulan kemarin tak satupun mendapat atensi darinya. Semua dilewatinya begitu saja. Sementara komentar-komentar lain yang masuk ke blognya (berisi pujian) selalu dibalasnya dan ditanggapinya penuh suka cita. Sampai akhirnya aku mengiriminya email guna menanyakan alasan dia mengapa tidak membalas komentar-komentarku. Isi emailku seperti ini :

Hallo kawan, maaf nih sebelumnya kalau aku kirim email sama kamu. Sudah beberapa bulan ini aku rutin mengunjungi blog kamu dan mengomentari sebagian tulisan kamu. Tentu kamu tahu kan? Cuma seberapa banyak pun aku berkomentar di sana tetapi kamu tidak memberikan reaksi apa-apa selain perkenalan kita di profilmu. Sementara komentar orang lain selalu kamu tanggapi, apa kamu tidak berkenan dengan komentar-komentarku di blogmu?

Oya terima kasih sudah berkunjung ke blogku minggu lalu. Walaupun kamu tidak meninggalkan komentar, tapi jejak nama blogmu terekam di statistik wordpressku.

Good luck buat beasiswanya ya semoga lancar.

Cukup sopan bukan gaya bahasa yang kusampaikan? Tapi ternyata sampai seminggu berlalu emailku tersebut sama sekali tak digubrisnya. Lalu aku memutuskan untuk berkomentar lagi di blognya dan sekali lagi komentarku tak ditanggapinya. Yang ada dia hanya membalasi komentar dari orang lain yang berisi pujian untuknya. Bahkan komentar terakhirku tersebut kutemukan tidak ada lagi di blognya pada keesokan hari. Dengan kata lain dia telah menghapus komentarku itu. Lalu kucoba sekali lagi untuk menulis komentarku di sana untuk terakhir kalinya. Tak lupa kusampaikan permohonan maaf bila memang ada komentarku yang tidak berkenan di hatinya. Alhasil komentar terakhirku itupun dihapusnya lagi setelah 24 jam berlalu. Tidakkah ini sangat keterlaluan? Seandainya dia tidak menyukaiku untuk berkomentar di blognya, alangkah lebih baik jika dia menyampaikan langsung kepadaku bukan? Tidak perlu lewat balas komentar di blognya, melalui email kan juga bisa. Ya, atas dasar itulah akhirnya aku menarik kesimpulan kalau blogger satu ini adalah seorang blogger sombong dan haus pujian. Bagaimanapun kusampaikan doa yang baik untuknya, semoga proses beasiswa study ke luar negeri yang sedang dijalaninya diberi kemudahan oleh Allah swt. Dan semoga aku tidak tertular virus kesombongan darinya. Amin.