Melanjutkan Mimpi


Buku pelajaran Bahasa Jepang semasa SMA

Malam ini aku tak bisa tidur karena memikirkan teteh Syahrini yang cantiknya cetar membahana. Tugas mengisi nilai rapor belum selesai. Akh, K13 (Kurikulum 2013, red) ini amat-sangat menyusahkanku. Bagaimana tidak, rapor ini super detail dalam setiap deskripsi mata pelajarannya. Termasuk semua karakter dan kepribadian siswa harus dijabarkan secara terperinci dan mendalam. Bila kita yang pernah mengenyam kurikulum 1994 hanya bisa melihat nilai finalnya saja, maka dalam rapor K13 setiap mata pelajaran dimuat beserta rincian nilai yang pernah diperoleh siswa selama satu semester. Mulai dari nilai pe-er, nilai tugas porto folio, nilai presentasi, nilai praktik menulis, nilai praktik berbicara, nilai praktik membaca, nilai bla-bla-bla dan seterusnya. DETAIL!
Suasana kegelapan gegara mati listrik turut menyelimutiku diiringi kapasitas batrai si lepi yang tinggal beberapa puluh menit lagi. Lelah dengan pekerjaan yang kulakukan, aku pun memutuskan untuk melanjutkannya besok pagi begitu arus listrik kembali mengalir. Sejenak aku termenung mengingat kalau beberapa waktu yang lalu aku telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku begitu bahagia. Dan, aku tergerak untuk menggoreskan sedikit cerita di balik keberhasilanku itu.
Kalau bukan berkat dorongan Mbak Feli yang selalu sabar menyemangatiku. Juga Mas Adi Wibowo yang selalu memanasiku bahwa dirinya sudah tiba di Jepang lebih dulu. Mungkin aku takkan pernah sampai mengunjungi negeri matahari terbit itu. Ya, seperti yang sering kuceritakan pada postingan terdahulu, aku memang sangat menggilai negara asal kartun Naruto. Mm, bukan berarti aku sangat menyukai Naruto ya. Jauh sebelum itu aku sudah begitu mencintai Jepang layaknya suami yang mencintai istri (ehem). Meskipun pada kunjungan kemarin aku tak berhasil menemui Honami Suzuki, aku akan tetap mencintainya.
Dulu, mimpiku adalah berkuliah di Tokyo Daigaku (Tokyo University) dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan mahasiswa seperti yang sering kulihat di dorama-dorama Jepang. Aku mengikuti klub menggambar, klub musik atau klub akting seperti dalam cerita-cerita komik manga. Kemudian aku menikah dengan gadis Jepang yang wajahnya mirip dengan Honami Suzuki atau Aihara Kotoko (tokoh dorama Itazura na Kiss). Kenyataannya, manusia memang hanya bisa berencana. Keputusan tetap di tangan Tuhan. Entah mengapa semua mimpiku itu harus kukubur dalam-dalam sekian belas tahun yang lalu. Jalan hidupku tidak digariskan seperti apa yang kuangan-angankan. Tetapi aku yakin, suatu saat akan tetap ada jalan menuju ke sana. Sekarang, jawabannya telah kutemukan.
Setiap kali membaca manga, aku berpikir kalau orang Jepang memiliki kepribadian yang unik. Di balik watak mereka yang introverted, mereka sangat ekspresif dalam gambar. Goresan-goresan yang mereka tuangkan ke atas kertas memacuku untuk turut berkarya. Cerita yang mereka kisahkan tidak jauh berbeda dengan keseharianku selama ini. Sejak kecil aku sedikit introverted dan tidak begitu supel. Aku cenderung penyendiri dan sering mengurung diri di dalam kamar. Duniaku hanya buku dan televisi. Sampai akhirnya waktu SD aku mengikuti suatu perkumpulan yang anggotanya hanya terdiri dari lima orang. Aku menyebutnya Genk SEDAN (Sugih, Erfan, Dadan, Amar, dan Nico). Andai aku tidak masuk sekolah, apa jadinya nama genk kami? Kami berlima adalah para lelaki yang selalu memperebutkan peringkat kedua di sekolah. Karena bagi kami mendapatkan peringkat pertama adalah hil yang mustahal. FYI, peringkat pertama selalu diduduki oleh anak guru kami-yang berwajah cantik jelita. Kami tak pernah berpikir kalau ‘sang juara’ bisa menempati posisinya karena adanya unsur KKN (Kura-Kura Ninja), sehubungan ibunya adalah seorang guru di sekolah kami. Semua mengakui kalau dia memang sangat intelek dan tak satu pun di antara kami yang berhasil menggeser posisinya hingga kami semua lulus SD. Genk kami pun akhirnya bubar. Kami telah memilih SMP favorit masing-masing.
Memasuki SMP, aku kembali menjadi penyendiri yang hanya gemar menghabiskan waktuku untuk membaca buku. Duniaku hanya sekolah, perpustakaan kota, toko buku, dan tentu saja kamarku. Setiap akhir pekan aku selalu mengunjungi toko buku untuk membeli komik-komik terbaru. Semua serial Detective Conan memenuhi meja belajarku. Usai membaca komik, aku selalu menggurat pensil di atas kertas mengikuti lekuk wajah setiap karakter dalam komik. Aku tahu, aku sangat kesepian. Karena itulah aku berpikir sepertinya kepribadianku tidak jauh berbeda dengan kepribadian orang Jepang. Aku tidak mudah bergaul jika tidak ada yang mengajakku lebih dulu. Aku malu setiap kali harus berbicara di depan banyak orang. Sampai akhirnya, aku berusaha mengubah kepribadianku begitu aku memasuki duniaku yang baru: masa SMA.


Tumpukan komik Detective Conan yang masih kusimpan hingga sekarang

Komik manga yang pernah kubuat ketika SMP bergenre  romance-mistery terinspirasi dari Salad Days karya Shinobu Inokuma 
Saat SMA, aku mendirikan sebuah organisasi English Club bersama sekelompok kakak kelas yang memiliki idealisme yang sama denganku. Kami menamai organisasi kami, LIMIT (Lima English Society). Lima merupakan nama sekolah kami, SMA Negeri 5 Bogor. Kami berkeinginan agar anggota perkumpulan kami berhasil mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri. Tak diduga klub bahasa Inggris yang kami bentuk selalu menjadi ‘the most wanted organization’ di sekolah setiap tahunnya. Lebih dari seratus orang mendaftarkan diri setiap tahun ajaran baru dimulai.
Di luar kegiatan LIMIT, aku terdaftar sebagai anggota ‘Siswa Peduli Buku’. Tugasku adalah membantu pustakawan di perpustakaan sekolah setiap hari. Mulai dari mendata anggota perpustakaan yang aktif berkunjung, hingga menata letak buku yang telah dibaca oleh para pengunjung. Hari-hariku mulai dipenuhi warna yang indah. Lucunya sejak memasuki SMA, hidupku berubah drastis. Aku tumbuh menjadi remaja gaul dan melepas image kuper (kurang pergaulan, red) yang melekat dalam diriku semasa SMP. Aku menjadi sangat sibuk dengan berbagai organisasi yang kuikuti. Tak hanya di sekolah, aku juga aktif menjadi pengurus Bogor English Club yang dinaungi oleh RRI Bogor. Ibuku tak pernah menyangka kalau aku memiliki banyak teman dari berbagai rentang usia. Teman-temanku di Bogor English Club, bukan hanya para mahasiswa IPB tetapi juga banyak orang dewasa yang sudah bekerja mapan sebagai manager bank, dosen IPB, penyiar RRI, dokter hewan, dan lain sebagainya. Pernah suatu kali karena keaktifanku di Bogor English Club, Ibu Sjahandari selaku donatur tetap yang kebetulan berprofesi sebagai manager bank terkemuka di Indonesia, memberiku beasiswa sejumlah uang tunai yang akhirnya kubayar SPP sekolah satu semester.
Tawaran untuk membentuk perkumpulan lain juga datang kepadaku. Melihat potensi bahasa Jepang dalam diriku, guru Bahasa Jepang mengajakku untuk mendirikan perkumpulan yang kami namakan ‘Gofun Dake’, artinya ‘Hanya Lima Menit’. Jadi, dalam perkumpulan tersebut kami semua berkumpul untuk bercerita dalam bahasa Jepang di mana masing-masing anggota hanya diberi durasi lima menit setiap menyampaikan cerita. Tidak seperti LIMIT, Gofun Dake memiliki anggota terbatas. Guru kami hanya memilih anak-anak yang pernah tinggal lama di Jepang (terkecuali saya). Anggota Gofun Dake terdiri dari aku, seorang kakak kelas yang bernama Aryo dan adiknya yang bernama Satria, adik-adik kelasku Hana-chan, Putu-kun, Tina-chan, dan Rangga-kun. Kadang kegiatan kami lumayan iseng. Kami semua gemar menggambar manga. Aku dan Puan (Putu-kun) sering menggambar tokoh kartun Crayon Shinchan, Aryo-kun suka sekali menggambar Gundam, Satria-kun suka Doraemon, Rangga-kun suka Samurai X, Tina-chan suka sekali serial cantik Salad Days, dan Hana-chan sangat gemar Cardcaptor Sakura. Wah, kalau sudah menggambar kami semua akan heboh saling mengomentari dan tertawa lepas bersama karena gambar kami lucu-lucu.
Setiap kali sekolah diliburkan di luar tanggal merah, klub Gofun Dake sering melakukan kunjungan ke kedutaan besar Jepang untuk mencari informasi beasiswa. Kadang juga kami pergi mengunjungi pusat kebudayaan Jepang (The Japan Foundation) hanya untuk menonton film Jepang dan membaca buku-buku bertulisan Kanji. Biasanya kami pergi bersama dengan menaiki kereta. Selain ongkosnya jauh lebih murah, juga dapat menghemat waktu karena tidak macet dan sangat cepat. Kelakuan kami tidak jauh berbeda dengan kebiasaan orang Jepang yang sangat suka jalan kaki. Jadi, setibanya di Jakarta kami semua berjalan kaki mencapai tempat tujuan. Meskipun jauh, kami sama sekali tidak pernah merasa lelah. Kami semua sangat gembira karena melakukannya bersama-sama. Kegiatan lainnya bersama perkumpulan Gofun Dake adalah mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang dan menulis kaligrafi Kanji. Aku benar-benar bangga perkumpulan kami selalu menyabet juara dalam setiap event yang kami ikuti. Aryo-kun, Satrio-kun, dan Puan-kun secara bergiliran menyabet juara pertama lomba pidato hingga ke tingkat nasional di Bandung dan Jakarta. Sementara aku sendiri pernah menyabet juara ketiga dalam lomba menulis Kanji dan Cerdas Cermat Bahasa Jepang tingkat Nasional di SMA Negeri 46 Jakarta.
Rasanya aku senang sekali. Dengan berorganisasi aku telah mengubah kepribadianku dari yang semula introverted menjadi ekstroverted. Sepertinya hidupku mengalir seperti cerita dalam komik. Sayangnya aku tidak berhasil membangun chemistry yang baik dengan semua anggota Gofun Dake. Begitu kami lulus sekolah, perkumpulan kami bubar dengan sendirinya. Tak ada lagi penerus-penerus kami yang melanjutkan perjuangan untuk dapat meraih beasiswa ke Jepang. Atau paling tidak, menjuarai kejuaraan yang pernah kami ikuti sebelumnya. Setelah kami lulus, semua anggota Gofun Dake berhasil menggapai mimpi mereka untuk melanjutkan studi di Tokyo Daigaku. Hanya aku yang belum masuk ke sana. Tetapi seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, aku percaya mimpi untuk ke Jepang itu pasti dapat kuraih meskipun tidak berkuliah di sana.
Sejak mimpiku terkubur sekian belas tahun silam, aku tak pernah lagi menggambar. Aku telah keluar dari dunia komik yang selama ini menjadi duniaku. Cita-citaku untuk menjadi seorang mangaka (manga maker) telah kukubur sejak saat itu. Akan tetapi sekarang, setelah aku berhasil mewujudkan mimpiku ini aku mulai bergerak kembali menggores pensil di atas kertas. Mimpiku akan kulanjutkan.
NB: Liputan jalan-jalan di Jepang akan kurapel setelah perjalanan backpacking ke KorSel usai. Jangan lewatkan ya^^

Kembali menggambar manga, belum discan untuk diedit di photoshop^^


Wuah, jueleknya muintah ampwun lebih parah dari gambar anak TK. Bwahahaha…

Jangan Takut Untuk Bermimpi

Mimpi adalah sebuah kata yang semu, di mana sesuatu yang kita dambakan, kita harapkan atau kita  angan-angankan dapat terwujud maupun terlupakan begitu saja dengan sendirinya. Banyak orang yang berhasil meraih mimpinya dengan perjuangan yang begitu berat, penuh pengorbanan, bersimbah keringat hingga titik darah penghabisan. Namun ada juga orang yang berhasil meraih mimpinya tanpa segenap usaha maupun upaya. Mereka mendapatkannya begitu saja dengan percuma. Itulah faktor keberuntungan, rejeki yang telah diberikan Tuhan untuk mereka. Lantas, bila kita telah berjuang untuk meraih mimpi yang kita cita-citakan kendati kita gagal mendapatkannya, haruskah kita melupakan mimpi-mimpi tersebut? Dan menguburnya dalam-dalam? Hal terakhir inilah yang telah kualami selama 14 tahun lamanya.

Berawal dari blog-walking yang kulakukan selama berbulan-bulan, terdamparlah aku di beberapa blog yang sangat menginspirasiku dan benar-benar menamparku, mengingatkanku kepada impian di masa lalu yang telah kulupakan (Empat belas tahun, sodara-sodara 😀 bayangkan!). Beberapa blog tersebut antara lain :

Blog pramugalau (baca : Radina Nandakita) yang berkisah tentang pengalamannya sebagai seorang pramugari. Dina (Radina, red) tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang pramugari, ia justru berkeinginan menjadi seorang penulis. Dan melalui blognya itulah  impiannya terwujud. Tulisannya menginspirasi banyak orang yang bercita-cita menjadi pramugari atau Flight Attendant wannabes.

Blognya Mbak Feli at http://www.sifelicity.wordpress.com yang akhir-akhir ini habis kuobrak-abrik saking amazednya daku membaca tulisan-tulisan beliau =)) . Sumpah cerita-cerita beliau kocak habis tentang pengalamannya sebagai ‘imigran terang’  di negara yang nun jauh di kutub utara sana (wuidih, jauh amir Mbak). Apalagi kalau sudah menceritakan banyolan-banyolan yang dilontarkan oleh Mr. T sang hubby (suami) tercinta beliau yang berkebangsaan Norwegia, bikin aku ngakak baca ceritanya. (Ampun digetok sama Mbak Feli, berani nyebut gak berani bayar. Haha…). Tapi aku benar-benar salut karena impian Mbak Feli untuk menginjak tanah Bangsa Viking itu terwujud setelah ngidam lebih dari 20 tahun lamanya. Well-done untuk Mbak Feli (Y)

Blognya Kuma-sensei yang berhasil mengikuti teacher training program di Nara-Jepang selama 6 bulan. Untuk blog ini aku belum banyak menjarah  kisah yang dialami Kuma-sensei, tetapi aku salut dengan perjuangan beliau yang memiliki ideologi sama denganku. Hidup JEPANG!!! Eh…

Empat belas tahun lalu saat aku kelas 3 SMP aku telah menggantungkan mimpiku untuk dapat berkunjung ke Jepang. Entah untuk melanjutkan study di sana, maupun bekerja atau jalan-jalan sebagai turis. Dorama-dorama Jepang telah banyak menginspirasiku dalam banyak hal. Sebenarnya sih aku jatuh cinta sama sosok Honami Suzuki yang pernah memerankan tokoh Rika Akana dalam dorama Tokyo Love Story, hehehe… dorama tersebut pernah booming saat aku kelas 3-4 SD (1996). Waduh melihat kesabaran sosok Rika dalam menghadapi karakter Kenji, pemuda polos yang dicintainya, bikin aku geregetan. Pengen rasanya nonjok muka si Kenji yang bikin Rika menangis dalam hati, membuat Rika selalu patah hati setiap kali mendengar Kenji menyebut nama Minami, gadis lain yang disukainya. Eh, enggak ding entar aku dihajar para penggemarnya Oda Yuji yang jadi pemeran si Kenji lagi 😀 .

image

image

Honami Suzuki, istri idamanku

Bukan hanya Tokyo Love Story yang telah membuatku jatuh cinta kepada Jepang, sejumlah dorama yang lain juga membuatku tergila-gila akan Jepang, sebut saja :

image

Film Oshin yang pernah kutonton saat aku masih 5 tahun (1990) dan waktu itu masih menonton pakai tv hitam-putih di rumah nenek. Filmnya benar-benar menguras air mata. Kebayang nggak sih kerasnya hidup si Oshin yang berjalan menggendong anak di tengah badai salju? Belum lagi perlakuan mertuanya yang kejam terhadapnya, sampai Oshin hanya diberi makan dedak. Hiks, malang benar nasibmu Oshin…

image

Ordinary People tentang Kakei dan Narumi yang terlibat cinta lokasi di kampus bersama genk mereka Asunaru Hakusho. Ah, yang namanya cinta pertama memang sulit dilupakan. Walau Kakei banyak yang suka, namun  Narumi selalu setia menantikan cintanya.

image

Rindu-rindu Aisawa. Wuah, dijamin termehek-mehek nonton film satu ini. Nggak tega lihat anak kecil mengais makanan di tong sampah. Suzu bocah berumur 9 tahun harus tahan banting menghadapi pahit getir perjalanan hidupnya. Ia harus berjuang mencari uang demi membiayai ibunya yang dirawat di rumah sakit. Ia sampai harus mencuri demi menyelamatkan nyawa ibunya, belum lagi perlakuan ayah tirinya yang gemar merampas uang hasil curiannya untuk dipakainya berjudi, main perempuan, dan sebagainya. Suzu diperlakukan semena-mena oleh ayah tirinya tersebut sampai dijual kepada seorang kakek keluarga kaya raya yang sedang mencari cucunya yang hilang dan memiliki banyak kemiripan dengan Suzu.

image

Anchorwoman, lagi-lagi Honami Suzuki. Kali ini Honami menjadi Tamaki Aso-presenter berita tv Channel 2 yang paling top seantero Jepang lalu turun pamornya setelah ia ditinggal mati oleh suaminya, lantas ia pindah ke stasiun tv kabel Niko-niko yang tidak begitu dikenal masyarakat Jepang. Belum lagi secara tiba-tiba putra tunggal mendiang suaminya muncul ke hadapannya untuk pembagian warisan yang belum diatur jelas oleh mendiang suami di saat pamor Aso mulai merosot di tv Channel 2. Kegigihan Aso untuk meraih kembali keberhasilannya benar-benar patut ditiru. Ia berhasil bangkit menjadi the best tv reporter se-Jepang di tengah keterpurukannya. Akting Honami Suzuki dalam dorama ini sekali lagi memukau pemirsanya. I love you Honami Suzuki ❤

image

Itazura na Kiss, tentang gadis bodoh bernama Aihara Kotoko yang mencintai lelaki paling jenius di sekolahnya-Irie Naoki. Sumpah aku salut sama perjuangan si Kotoko yang rajin belajar supaya bisa menjadi siswi yang pintar sekaligus mendapatkan cintanya Naoki yang terkesan dingin padanya. Yang menarik dari Kotoko adalah kupingnya yang caplang, sumpah pengen jewer itu kuping =))

Fighting Girl, beda budaya? Bukan berarti tidak dapat membina persahabatan kan? Begitulah tema dorama yang diperankan si cute Kyoko Fukada yang konon mirip Agnez Mo. Kyoko juga pernah sukses bermain dalam serial Kamisama sebagai pelajar SMA yang mengorbankan kesuciannya demi melihat konser tokoh idola, Sampai-sampai ia terkena HIV AIDS.(ups, yang ini jangan ditiru ya pemirsa).

image

image

image

Onizuka bersama kelas 2-4, biang masalah di sekolah

Great Teacher Onizuka. Errrgh, seandainya di dunia ini karakter para guru seperti Onizuka, mungkin tidak akan banyak murid bandel di sekolah. Akting Oda Yuji sebagai Onizuka benar-benar cool. Walaupun secara fisik tetap lebih ganteng saat memerankan tokoh Kenji dalam Tokyo Love Story. Onizuka adalah seorang mantan preman yang alih profesi menjadi seorang guru. Ini preman habis insyaf kali ya? 😀  Gara-gara menghajar seorang wakil kepala sekolah yang bertindak semena-semena terhadap seorang murid yang bermasalah, kepala sekolah yang sedang menyamar sebagai petugas cleaning service langsung menerima Onizuka begitu saja untuk menjadi guru di sekolah yang dipimpinnya. Sialnya, dewan sekolah yang telah kena hajar Onizuka, balas dendam dengan menempatkannya di sebuah kelas yang dijuluki sebagai kelas neraka, karena kelas tersebut dihuni oleh para siswa dan siswi yang kelewat bandel. Apakah Onizuka gentar menghadapi ulah kenakalan mereka? Siapa sangka Onizuka justru berhasil menaklukkan dan menundukkan mereka berkat usahanya yang pintar mencarikan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi para muridnya. Gak sadar kalau aku menjadi guru karena terinspirasi dorama ini, hehehe… 🙂

Wah, ketahuan deh dorama-lover banget ya sodara-sodara =)) meskipun demikian, banyak sekali pesan moral yang disampaikan dorama-dorama Jepang kepada pemirsanya. Misalnya beberapa dorama seperti Anchorwoman, Great Teacher Onizuka, dan Terms for a Witch menyampaikan pesan moral kepada kita untuk berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Dorama Itazura Na Kiss memberi pesan agar kita selalu berjuang untuk meraih apa yang kita cita-citakan, perjuangkanlah apa yang kita inginkan karena begitu kesempatan itu datang, ia belum tentu datang untuk kedua kalinya. Tidak seperti sinetron Indonesia yang banyak menunjukkan tayangan tidak mendidik dan tidak jelas alur ceritanya.

Tapi selain itu masih ada banyak hal yang membuatku jatuh cinta kepada Jepang, seperti :

Keindahan alamnya yang luar biasa, empat musim yang dialami negeri sakura ini menambah eksotisme negara Jepang. Salju di Sapporo, Gunung Fuji yang menjadi gunung keramat Bangsa Ainu, musim semi yang dipenuhi helaian kelopak bunga sakura, sampai musim gugur yang merah keemasan oleh dedaunan maple.

Teknologinya yang canggih : robot, kereta shinkansen, game, mesin-mesin yang bertengger di pinggir jalan,  sampai sarana transportasinya yang luar biasa modern.

Budayanya yang keren, perpaduan antara budaya tradisional dan gaya barat, seperti Harajuku style. Jepang dapat mempertahankan kebudayaan tradisional di tengah invasi budaya barat yang masuk ke negaranya.

Tulisan Jepang yang unik (walaupun adopsi aksara han zhi milik China). Namun aksara Jepang sangat menarik dengan adanya perpaduan hiragana dan katakana yang membuat karakter tulisan Jepang jadi lebih hidup sebagai kearifan budaya lokal.

Kedisiplinan masyarakat Jepang dengan etos kerja yang tinggi, kesadaran bertanggung jawab, kerja sama dalam kelompok, dan toleransi yang begitu besar terhadap komunitasnya.

Komik (manga) yang jalan ceritanya selalu menarik, penuh fantasi, pesan moral, dan angan-angan yang sangat imajinatif. Aku sangat menyukai komik Detective Conan hingga mengoleksinya sampai jilid ke-56, Salad Days, Dragon Ballz, dan beberapa koleksi lain. Semua kukoleksi sejak bangku SD lho. Di samping itu aku juga gemar menggambar tokoh komik. Sempat tersirat juga ingin menjadi seorang mangaka (komikus), sayangnya ilmu menggambarku sangat terbatas (bilang aja gak punya bakat). Hiks 😦

Bahasa Jepang, walaupun kaku dari segi suku katanya sebenarnya Bahasa Jepang merupakan bahasa yang paling mudah pengucapannya karena pelafalannya kurang lebih masih sama dengan Bahasa Indonesia. Waktu aku pertama kali mempelajari Bahasa Jepang, aku menikmatinya seperti sedang mempelajari ilmu tajwid dalam Al-Quran. Bahasa Jepang memiliki hukum pelafalan bunyi yang mirip dengan ikhfa, idhar, dan idgham dalam ilmu tajwid. Sebagai contohnya nih ya : kata ‘kenka’ yang berarti gempa dibunyikan ‘kengka’, kata ‘shanpo’ yang berarti jalan-jalan dibunyikan ‘syampo’, nah yo apa saja tuh hukum bunyinya?

Jadi sejak aku masuk SMA, aku sengaja memilih SMAN 5 Bogor supaya bisa mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang gratis. Wuahahahaha… dan berhasillah aku menjadi student Master of Japanese sejagad SMA. Teman-teman di sekolahku sampai sering menunduk hormat padaku setiap kali berpapasan denganku di koridor sekolah. Pasalnya aku sering mendapat soal ujian khusus yang dibedakan oleh guru Bahasa Jepangku setiap ujian semester tiba, saking pintarnya aku dalam pelajaran Bahasa Jepang (Ehem, bukan maksud mau menyombongkan diri sih). Euis Djuariah-sensei guru Bahasa Jepangku sampai menganggapku anak karena aku rajin mendekati beliau (sst… ini rahasia lho!) oleh beliau aku dimasukkan ke dalam grup Bahasa Jepang binaan beliau, di mana para anggota komunitas tersebut adalah sekelompok anak, putra para atase Indonesia untuk Jepang. Jelas dong mereka sudah pernah pergi ke Jepang. Cuma aku yang belum pernah ke Jepang. Hiks 😦 tapi hebat kan, aku bisa masuk komunitas mereka? (Senyum ala devil n_n). Nama komunitasnya adalah ‘5-fun Dake’, kami berkumpul hanya untuk berbagi cerita dalam Bahasa Jepang dengan durasi masing-masing 5 menit. Dari informasi-informasi yang diberikan oleh para anggota komunitas inilah akhirnya aku mengenal pusat kebudayaan Jepang (The Japan Foundation) dan Kedutaan Besar Jepang. Lalu aku sering berkunjung ke sana untuk meminjam buku di perpustakaan lembaga-lembaga tersebut sekalian mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai beasiswa kuliah di Jepang : MONBUKAGAKUSHO.

Ya, beasiswa tersebut telah aku incar sejak aku kelas 1 SMA. Mati-matian aku berjuang agar bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Pokoknya aku harus bisa ke Jepang. Titik. Ups, sebentar, ceritanya belum habis masih pake koma lagi ya (hihihi…), semoga pembaca tidak ngantuk. Untuk itu aku sampai mengikuti Ujian Kemampuan Berbahasa Jepang (JLPT/Noryoku Shiken), yang mana Euis-sensei menyuruhku untuk mengikuti level 3 (level sedang) tanpa memulai dari level terendah (waktu itu level 4 masih level terendah) terlebih dahulu. Beberapa hari menjelang ujian, aku belajar  siang-malam pakai Sistem Kebut Semalam, supaya bisa lulus dan mendapat sertifikat N3. Walhasil pada hari ‘H’-nya ujian berlangsung, hidungku meler dipenuhi lendir yang sukses membuatku tidak bisa konsentrasi mengerjakan soal. Akhirnya beberapa bulan kemudian sertifikat N3 pun diantar ke sekolah, dan Euis-sensei menunjukkannya padaku dengan ekspresi wajah yang ditekuk. Dalam sertifikat tersebut tertulis  jelas namaku telah FAILED mengikuti Noryoku Shiken Level 3. Hebat kan sodara-sodara 😀

Padahal kampus impianku Todai (Tokyo Daigaku aka University of Tokyo) telah lama kudambakan. Aku ingin berkuliah di sana mengambil program sosiologi (humaniora), atau fakultas yang berkaitan dengan profesi reporter, pembaca berita, ataupun peramal cuaca (karena kecintaanku terhadap Tamaki Aso aka Honami Suzuki). Aku terus berusaha agar beasiswa monbukagakusho itu berhasil kugenggam. Saat aku lulus SMA, seleksi nilai rapor dan NEM-ku lolos. Yippee… Aku dipanggil oleh pihak kedutaan untuk mengikuti tes tertulis : Sejarah, Matematika, dan Ekonomi yang mana kesemuanya dicetak dalam Bahasa Inggris. Lagi-lagi aku lolos. Namun aku menghadapi tantangan, ibuku tidak meridhai kepergianku ke Jepang. Alasannya adalah ibuku tidak mau aku menjadi anak yang durhaka. Aneh? Dalam surat perjanjian antara pemerintah Jepang dengan calon penerima beasiswanya terdapat butir yang menyatakan, “Pemerintah Jepang tidak menanggung biaya kepulangan mahasiswa ke tanah airnya selama mahasiswa tersebut masih menjalani study,” dengan kata lain seumpama terjadi sesuatu hal terhadap keluargaku di Indonesia misalnya sakit atau meninggal dunia, aku tidak dapat pulang untuk melihat mereka. Terkecuali aku punya ongkos sendiri. Dan berhubung keluargaku tidak mampu, tentu aku tidak bisa pulang dengan ongkos sendiri. Pada akhirnya aku menggugurkan beasiswa yang sebenarnya sudah di depan mataku kala itu. Betapa bodohnya aku, bukan?

Alasan lain mama melarangku ke Jepang adalah karena aku satu-satunya tumpuan harapan mama untuk menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai seorang janda, mama merasa sudah tidak produktif untuk bekerja (41 tahun). Aku sangat diharapkannya untuk bisa membiayai dua orang adikku yang masih sangat kecil. Padahal waktu itu aku bertekad, sebagian dari uang beasiswaku akan kukirimkan untuk mama seumpama aku berhasil dikirim ke Jepang, dan aku juga akan mencoba bekerja part time di Jepang demi membantu mama. Namun mama tetap tidak mengizinkanku pergi.

Aku benar-benar kecewa pada mama yang melarang keras untuk mengambil beasiswa tersebut. Sampai lalu kuputuskan untuk hijrah ke Pulau Kalimantan tempat di mana aku berada sekarang, mengucilkan diri selama sepuluh tahun lamanya karena perasaan malu kepada teman-temanku di Bogor yang berhasil melanjutkan study ke universitas-universitas ternama di negeri ini. Aku malu tidak dapat melanjutkan study ke perguruan tinggi dikarenakan tidak memiliki biaya. Lantas di Pulau Kalimantan inilah akhirnya aku mencoba mencari kerja dengan berbekal hanya selembar ijazah SMA. Di tanah ini pula aku mengalami jatuh bangun mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menata masa depanku, hingga akhirnya impian-impianku tentang Jepang menjadi sirna. Impianku untuk berkunjung ke sana terlupakan begitu saja seiring berjalannya waktu yang tengah mengantarku menuju masa depan dengan selembar ijazah sarjana yang telah kuperoleh dari UT.

Sekarang setelah 10 tahun berlalu tugasku membantu keluarga sedikit-banyak berkurang, adikku yang pertama telah berhasil mewujudkan impiannya, terbang melanglang buana mengunjungi pelbagai pelosok negeri, sebagai seorang pramugari. Tentu saja dia telah menjadi kebanggaan mama. Dan kini mama lebih bergantung padanya. Dulu akupun pernah mendambakan pekerjaan tersebut (pramugara). Namun aku tak pernah mendapat dukungan dari mama. Alhasil aku hanya bisa menjadi seorang penerus Oemar Bakri di tanah pedalaman ini. Miris rasanya segala apa yang kucita-citakan hanya mendapat cibiran. Tapi setidaknya aku telah menunjukkan kepada mama bahwa aku telah tumbuh menjadi anak yang mandiri, aku mampu berdiri dengan kakiku sendiri. Sekarang sudah saatnya aku bebas mewujudkan mimpi-mimpiku yang dulu terkubur, bukan?

Hingga pada suatu hari, saat aku mengomentari blog seorang teman : Mas Adi Wibowo. Yang kukenal melalui Blog MyOpera. Tidak kusangka komentarku tentang Bahasa Jepang di blognya telah menginspirasi (atau lebih tepatnya memotivasi) beliau untuk meraih impiannya bekerja di Jepang. Pertemanan kami lalu merambah ke media sosial lainnya : Facebook, WordPress, dan BBM. Tak dinyana beliau berhasil meraih impiannya tersebut. Dan kini sudah berada di Jepang setelah menjalani perjuangan yang begitu panjang. Tinggal aku yang belum berhasil mewujudkan impianku. Sekarang malah beliau yang terus gantian menyemangatiku  agar aku dapat segera menyusulnya. Walau dulu mimpiku ini sempat ditentang oleh mama, salahkah bila sekarang aku masih terus bermimpi agar segera terbang ke sana? Walau bukan untuk menemui Honami Suzuki, maupun berkuliah di Todai dengan jurusan jurnalistik dan sosiologi. Aku ingin ke sana untuk menimba ilmu-ilmu lain yang belum kuketahui dan ingin kugali. Membaca tulisan para blogger yang namanya kucantumkan di atas, hatiku telah mantap mengatakan : “YA, MENGAPA HARUS TAKUT UNTUK BERMIMPI?”