My Flight to Java Island

image

Akhirnya di sinilah aku berada sekarang, di tanah kelahiranku Bogor. Setelah tujuh tahun lamanya tidak mengunjungi nenek, bibi, paman, dan keluarga besarku lainnya berhasil memecahkan rasa rindu yang membuncah selama ini. Tujuh tahun lamanya aku terkurung kesunyian di Pulau Kalimantan yang sepi sejak kepulangan terakhirku pada 2008. Bagai seorang pertapa di tengah hutan yang menuntut ilmu tinggi. Dan sekalinya aku kembali ke tengah-tengah keramaian, aku bagai orang katrok yang tidak pernah menjamah kota besar. Benar, aku telah menjadi ‘wong ndeso’ yang begitu polosnya mengamati hiruk-pikuk kegiatan orang-orang kota. Bahkan saat aku akan menyebrang jalan raya sekalipun, alamak… “AKU TAKUT MENYEBRANG… PAK POLISI TOLOOOONG DONG!”

 

Perjalananku menuju Pulau Jawa berawal tanggal 1 Maret 2015 silam. Dari Desa Bangun Jaya (rumahku) aku berangkat menaiki travel ke Pangkalan Bun dengan biaya Rp150.000,00. Biaya yang cukup mahal bukan? Padahal kalau kita naik bis dari Pangkalan Bun ke Palangka Raya yang jaraknya mencapai 5 kali lipat jarak yang kutempuh (Bangun Jaya-Pangkalan Bun), ongkosnya hanya Rp100.000,00. Lalu apa yang menyebabkan ongkos travel yang kunaiki begitu mahal? Sampai saat ini akupun belum mengetahuinya dengan pasti. Dugaanku barangkali agar para pengusaha travel di tempatku cepat kaya. Atau mungkin karena tingkat pendapatan penduduk di desaku sudah lumayan tinggi sehingga para pengusaha travel memanfaatkan situasi ini. Well, lanjut ke perjalanan, ternyata tidak ada penumpang lain selain aku. Supir travel sengaja memilih jalan lintas Kotawaringin Lama yang sebenarnya masih belum diaspal dengan tujuan menghemat waktu. Padahal jalan lintas Lamandau jauh lebih baik selain aspalnya mulus, pemandangan sepanjang perjalanan pun sangat indah dan segar. Banyak bukit batu yang tertata sangat rapi dan unik membuat kita ingin berfoto ria di sana. Akh, mari kita lupakan pemandangan indah! Pada malam sebelum keberangkatanku menuju Pangkalan Bun, desaku dilanda hujan. Tidak terlalu deras memang, namun sangat fatal akibatnya. Apa pasal? Jalan lintas Kotawaringin Lama yang kutempuh berhasil menjebakku dalam kemacetan! Waduh… bisa mengantri berjam-jam nih! Karena jalan lintas Kotawaringin Lama belum diaspal, otomatis hujan semalam membuat jalanan menjadi kubangan lumpur yang siap menelan kendaraan-kendaraan yang melintasinya. Antrean panjang kemacetan pun sempat membuatku jenuh. Beruntung, mobil terdepan yang terjebak lumpur (baca : KEPLATER) berhasil diselamatkan nyawanya (emangnya orang?). Begitu kami terbebas dari antrean panjang mobil travel yang kunaiki langsung melesat kencang. Alhamdulillah, aku selamat sampai di Pangkalan Bun.

image

Sebelum berhenti di hotel tempatku bermalam, karena aku akan mengikuti penerbangan keesokan harinya (2 Maret 2015) terlebih dahulu om supir travel (aku biasa memanggilnya Om, biar kelihatan muda terus 😀 ) membawaku ke agen di mana aku telah membooking tiket penerbangan yang akan kunaiki. Aku membooking tiket pesawat Trigana tujuan Cengkareng seharga Rp570.000,00. Tiket ini telah kubooking satu hari sebelumnya (28 Februari 2015). Wow, murah sekali. Bandingkan jika aku harus membeli tiket kapal laut tujuan Semarang, Rp400.000,00! Mana yang akan pembaca pilih? Alasanku memilih pesawat Trigana adalah ingin mencobanya (dasar katrok, kan? 😀 ), berhubung aku sudah cukup sering menaiki pesawat Kalstar dan kebetulan pada saat itu harga tiket Kalstar sedang tinggi Rp1.130.000,00 dengan jadwal penerbangan yang sama. Oke, setelah transaksi pembayaran tiket selesai, aku dan om supir travel melanjutkan perjalanan ke Hotel Abadi tempatku menginap. Just for information biaya menginap di hotel ini berkisar antara Rp165.000,00-Rp200.000,00 permalam dengan fasilitas standar layaknya hotel pada umumnya. Relatif murah kan?

image

Mumpung masih di Pangkalan Bun, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membeli oleh-oleh. Pamanku yang tinggal di Bogor memesan batu permata kecubung yang belum diolah. Heran, mengapa batu permata sedang menjadi trend terutama orang-orang di Pulau Jawa? Tidak sulit bagiku mendapatkan batu kecubung itu, karena daerahku merupakan tempat penghasilnya. Satu kilogram batu kecubung ungu dihargai Rp200.000,00-Rp300.000,00. Sedangkan batu kecubung putih dihargai Rp150.000,00 perkilogramnya. Usai membeli batu, akupun mencari oleh-oleh lainnya untuk nenek. Akhirnya aku mendapatkan beberapa penganan khas Kalimantan Tengah : kerupuk ikan, amplang dengan berbagai rasa ikan (haruan/gabus, tenggiri, dan belida), keripik buah naga, dan chestick rasa ikan. Wah, satu dus penuh hanya berisi oleh-oleh, semoga tidak over bagasi di bandara.

 
image

Sayang cuaca di Pangkalan Bun sedang tidak bersahabat, sehingga membuatku tidak leluasa menikmati tamasya di dalam kota. Sepanjang hari hingga malam aku terpekur di dalam hotel, berselancar di internet via ponsel, sambil menonton televisi. Begitu pagi menjelang aku segera mencari ojek untuk berangkat menuju bandara. Karena penerbanganku tepat pukul 7 pagi. Kali ini aku harus mengocek Rp30.000,00. Sebenarnya sih Rp25.000,00, tapi sisa kembaliannya dibawa kabur oleh tukang ojek (hadeuh, pasti rezeki tukang ojek itu nanti menjadi tidak halal). Segera aku menuju antrian calon penumpang yang sedang memasuki pintu pemeriksaan. Ternyata oh ternyata, sudah seminggu ini pesawat Trigana delay terbang dikarenakan suatu alasan yang tidak diketahui dengan jelas. Ngakunya sih sedang reschedule, tapi entahlah. Beruntung ya bandaranya tidak menjadi sasaran amukan massa seperti kasus Lion Air di Jakarta. Singkat cerita, rupanya aku telah memasuki antrean yang salah. Antrean itu adalah khusus calon penumpang pesawat Kalstar dengan tujuan Semarang. Dan, aku tidak mendapatkan sama sekali calon penumpang pesawat yang sama denganku. Hey… ada apa ini? Apa aku sudah ketinggalan pesawat? Buru-buru aku segera menghampiri loket reservasi Trigana Air. Dan di sana kudapati sekelompok bapak yang sedang komplain kepada petugas ticketing. Mereka menuntut agar mereka dapat terbang pada hari itu juga (2 Maret 2015). Berhubung aku enggan untuk kembali ke hotel, aku turut bergabung dengan kelompok bapak-bapak itu. Dengan sangat memaksa kami meminta agar kami dialihkan ke pesawat lain dengan penerbangan yang terjadwal pada hari itu. Alhasil hanya dalam waktu 30 menit, kami berhasil mendapatkan tiket Kalstar yang akan terbang pada pukul 1 siang. Tentu saja tanpa menambah biaya yang kurang mengingat mahalnya harga tiket Kalstar. Lucky me, akhirnya aku bisa bertemu pramugari-pramugari cantik pesawat Kalstar lagi. Hehehe… 😀

 

Menunggu hingga pukul 1 siang memang sangat membosankan. Terlebih Bandara Iskandar Pangkalan Bun sangat minim fasilitas. Jadi aku kurang menikmati suasana di bandara. Untunglah aku bertemu dengan calon penumpang yang mengalami kejadian sama denganku. Sebut saja Mr. X, karena kami tidak saling memperkenalkan diri. Ternyata dia berasal dari Bandung, otomatis kami langsung akrab dan mengobrol menggunakan Bahasa Sunda. Umurnya masih muda (23 tahun) dan cukup good-looking. Dari tiket yang diperolehnya ternyata dia duduk di deret bangku pesawat yang sama denganku. Persis di sebelahku. Waktu yang mempertemukan kami hanya beberapa jam membuat kami sangat akrab. Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku dan menyapaku. Beliau adalah Bapak Leo, tetanggaku. Beliau baru saja tiba dari Semarang. Beliau bercerita kalau sebenarnya beliau seharusnya menaiki pesawat Trigana pada dua hari yang lalu. Namun lagi-lagi terjadi kasus yang sama di Semarang. Penerbangan Trigana terpaksa delay hingga beberapa hari kemudian. Padahal beliau harus terbang pada hari keberangkatan tersebut. Dengan sangat terpaksa beliau turut mengikuti para calon penumpang lainnya di Semarang. Yakni meminta uang mereka kembali dan membeli tiket pesawat lain dengan harga yang relatif lebih mahal. Otomatis Bapak Leo harus menambah biaya Rp300.000,00 untuk membeli tiket pesawat Kalstar yang akan dinaikinya. Kasus yang sama denganku namun berbeda penanggulangan. Dari pengalaman yang baru saja kualami dan kuceritakan kepada Bapak Leo, beliau menarik kesimpulan bahwa pengalaman itu sangat mahal harganya. Pengalamanku dapat dijadikan contoh oleh beliau bila suatu saat beliau mengalami kasus pesawat delay lagi.

 
image

Sedang asyik-asyiknya mengobrol, kami mendengar panggilan di pengeras suara yang meminta para calon penumpang pesawat Kalstar untuk segera memasuki ruang tunggu. Selang setengah jam kemudian pesawat yang kami tunggu tiba tepat pada waktunya. Aku dan teman seperjalanku yang berasal dari Bandung tadi sangat senang melihat pesawat datang. Kami pun sempat berselfie ria sebelum menaiki tangga pesawat. Haha… perhatian kami tersita setelah kami duduk dan mengencangkan sabuk pengaman oleh sejumlah pramugari cantik berpenampilan modis dan beraroma parfum yang sangat wangi. Lima menit kemudian pesawat pun lepas landas. Penerbangan kali ini sangat nyaman karena aku mendapat pengalaman berharga dan teman seperjalanan yang menyenangkan. Hanya dalam 70 menit pesawat pun mengudara. Pulau Jawa, aku kembali!

Published by

Sugih

I'm just an ordinary people

23 thoughts on “My Flight to Java Island”

    1. Iya Ger. Keluarga pada kangen semua sampai nahan saya supaya menginap di rumah mereka lebih lama. Keluarga di Tangerang dan Bogor berebutan saya. Hadeuh.. pusing…

  1. Pengalaman yang tak terlupakan ya Mas :hehe. Tapi beruntung pula, bisa naik pesawat yang lebih baik tanpa harus tambah biaya :)).
    Batu akik memang sedang booming di Jawa ini Mas, harganya bisa melonjak dahsyat banget :)).

    1. Iya Bli, suatu keberuntungan bagi saya waktu itu. Sekarang sudah satu minggu di Pulau Jawa dan sedang dalam perjalanan ke Sumedang untuk menyambangi keluarga bibi saya.

      Oh, di Kalimantan khususnya daerah saya, batu akik kurang trend. Mungkin karena sehari-hari mudah ditemukan jadi sudah terkesan biasa.

      1. Keluarganya Mas Sugih di Jawa semua, ya… jadinya di Kalimantan sendiri ya, Mas?
        Mungkin juga, Mas… :hehe.

      2. Di Jawa banyak keluarga terutama para sesepuh mama : kakek, nenek, dan sebagian adik-adik mama. Pokoknya banyak banget Bli terutama daerah Bogor. Sampe satu kelurahan di kota Bogor Tengah masih terbilang keluarga semua. Belum yang di daerah Bogor Barat kalau lebaran waktu saya kecil, satu rumah emih (neneknya mama) terkumpul lebih dari 300 anggota keluarga. Nggak tahu deh kalau sekarang.

        Keluarga di Kalimantan ada mama dan 5 keluarga adik-adik mama saja. Sekitar 30 anggota keluarga totalnya.

      3. Wihi, banyak sekali, ya.
        Oh, jadi mama ada di Kalimantan… itu lumayan juga banyaknya, Mas.

      4. Iya Bli, kemarin pas silaturrahim ke Bogor Barat, saya ditanya-tanya oleh para sesepuh mama, apa keluarga di Kalimantan ada yang sudah punya anak lagi. Sebab keluarga kami memiliki buku silsilah keluarga. Saya sendiri sampe pusing bacanya, banyak yang belum saya kenal juga saking banyaknya.

        Iya, sudah 5 tahun ini mama tinggal bersama dengan saya.

        Bli sering pulang ke Bali/Lombok?

      5. Hoo… demikian… luas sekali ya keluarganya sampai ada bukunya :hehe.
        Pulang terakhir tahun baruan kemarin, Mas :)).

      6. Saya malah malas bacanya, pusing Bli.

        Wah, enak ya bisa pulang sewaktu-waktu. Kalau saya malah baru sekali ini sejak 7 tahun terakhir.

      7. Benar sekali, beberapa hari kemarin saya jalan-jalan terus bersama nenek. Sambil wisata kuliner juga. Dan saya sudah menikmati bakmi Gondangdia, rasanya memang beda dengan yang dulu Bli. Pas sekali dengan yang pernah Bli tulis 🙂

      8. Oooh :haha. Ya ya, kalau yang itu saya ingat. Saya pikir dibahas di posting tersendiri, ternyata bukan :)).

  2. Happy mudik Pak Guru.
    Itu jalannya off road banget ya, begitu pincang pembangunan di Indonesia😕
    Sistem transportasinya pun aduhai merugikan customer..
    Sedihnya..

    1. Terima kasih Mbak Zee 🙂
      Begitulah keadaan di pelosok Kalimantan saat ini. Tapi jalan yang terdapat dalam foto sebenarnya adalah jalan baru yang belum diresmikan. Di sebelah kiri antrean para pengemudi motor itu terdapat jalan layang dan belum dapat dipakai karena belum diresmikan. Jalan lainnya masih banyak, dan jauh lebih baik daripada jalan tersebut. Hanya saja akses ke Pangkalan Bun lebih cepat melalui jalan offroad itu.

      Pelayanan transportasi di Indonesia masih belum maksimal. Beberapa waktu lalu Maskapai Lion Air didemo para calon penumpang gara-gara kasus delay penerbangan selama 3 hari berturut-turut. Bandara Soetta hancur diamuk massa. Sangat mengenaskan. Beruntung Trigana Air tidak mendapat perlakuan yang sama dari para calon penumpangnya.

      1. Iya Mbak, lebih dari 200 penerbangan tertunda baik di dalam maupun ke luar negeri. Wajar kan para calon penumpang Lion Air akhirnya melakukan tindakan anarkis di bandara.

        Maskapai Trigana sangat beruntung, sudah delay 2 minggu tetapi tidak menjadi sasaran kemarahan para calon penumpang.

Leave a comment