Langit Ungu

A Romance by SUGIHLANGIT UNGUMina harus merelakan masa remajanya,
meninggalkan bangku sekolah dan bekerja membantu ibunya membiayai
pengobatan penyakit ayahnya. Di saat yang bersamaan, Kairil cinta sejati
yang telah meninggalkannya selama 5 tahun hadir kembali, namun status
sosial mereka kini berbeda. Mina menjadi pembantu di rumah keluarga
Kairil.Kairil yang terus mendekati Mina, menyebabkan Mina pergi mencari
pekerjaan lain dan menyeberangi pulau. Nasib malang menimpanya, ia dijual
oleh gembong mafia untuk dijadikan muchikari. Langit ungu menjadi saksi
segala derita Mina.A short story MSUGIH’s
idea==00==!!==oOo==!!==00==!!==oOo==!!==00==Langit UnguPada langit yang
selalu menaungiBiru keunguanKe mana pun kupergi selalu melihatnya Walau
malam sekalipunAtau mendung kan merubahnyaDia bukanlah perlambang kesedihan
abadiMelainkan Ia hanya cerminan Bagi setiap jati diri yang tak
menyadariMakna suci akan arti cinta sejati Di atas sebuah kapal Mina
memandangi laut yang terus menderu, biru kehijauan. Cahaya matahari yang
memantul menyilaukan pandangannya. Kepalanya menengadah menghadap langit,
sang surya telah meninggi sejak ia berdiri di buritan, tangan-tangan
halusnya berpegangan pada pagar pembatas. “Ah, hidup ini pahit!”, gumamnya
pelan.Tak seorang pun di sekitarnya yang mengacuhkannya, semua tampak
hiruk-pikuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada sekelompok remaja
perempuan yang tengah asyik bersenda-gurau diiringi satu-dua orang pemuda
di antara mereka yang memetik gitar di ujung geladak kapal. Dari usia
mereka, Mina menerka sepertinya mereka masih berstatus pelajar karena
terdengar olehnya perbincangan membicarakan masalah sekolah. Mina menarik
nafas pelan, ia merasa sedih melihat keasyikan muda-mudi tersebut.
Seharusnya ia pun tengah menikmati hal yang sama. Andai saja ia tak pernah
putus sekolah karena kedua orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya,
mungkin saat ini ia masih dapat merasakan kebahagiaan berkumpul bersama
kawan-kawannya semasa sekolah dulu. Mina menoleh ke sisi lain, tidak jauh
dari tempat ia berdiri beberapa pasang pria-wanita tengah asyik berangkulan
menatap laut. Sesekali mereka saling menatap pasangannya masing-masing
penuh kemesraan. Mina menggigit bibir seraya menundukan kepala. Perlahan
air matanya menetes jatuh mengenai punggung tangannya yang berpegangan pada
besi pagar pembatas. Ia teringat seorang pemuda yang selalu memberikan
perlindungan padanya selama ini. Seorang lelaki yang begitu loyal dan
senantiasa menepati janji-janjinya. Meski Mina memendam perasaan yang
begitu dalam, rasa itu harus kandas dikarenakan ia merasa tak layak
baginya. Mina tak ingin menjatuhkan harkat, derajat, dan martabat putra
majikannya sendiri.“Bunda harap kau bisa memaklumi keadaan ini! Kau lihat
sendiri kan penyakit ayahmu kian hari kian meradang. Sementara bunda tak
punya uang untuk berobat bagaimana mungkin bunda mampu membiayai sekolahmu?
Bisa makan saja sudah bersyukur! Adikmu, Nina, pun mungkin hanya bunda
sekolahkan sampai kelas enam saja. Setelah lulus SD, biar dia bekerja di
toko Wak Umin jadi pelayannya!” Masih terngiang-ngiang di kepala Mina
kalimat bernada sendu yang diucapkan bundanya setahun lalu. Mina memejamkan
matanya membayangkan potongan demi potongan sepenggal kisah hidupnya.
“Tidak Bunda! Mina rela harus putus sekolah. Mina akan mengikuti permintaan
bunda untuk bekerja menjadi pelayan di rumah Pakcik Leman. Mina janji akan
mengumpulkan uang untuk biaya berobat ayah! Tapi tolong, bunda, Nina jangan
putus sekolah! Cukup Mina saja!” begitulah ikrar Mina pada sang bunda.“Kau
anak baik, Mina! Bunda harap kau bisa menerima keadaan ini dengan hati
lapang ya Nak! Asal engkau ikhlas niscaya tuhan akan membalas dengan
karunia-Nya!” bunda memeluk Mina, putri sulungnya yang pasrah menerima
keadaan. Tidak hanya itu Mina juga pengertian. Ia sungguh berjiwa besar. Ia
teramat menyayangi adik semata wayangnya, Nina.♥♥♥“Engkau tak harus putus
sekolah, Mina! Kau masih bisa bekerja di tempatku siang sepulang sekolah
asal Engkau tak lelah!” suara bijak Makcik Leman, istri Pakcik Leman,
lembut mendayu dalam gendang telingaku.“Kemarilah Engkau, Nak! Jangan duduk
di bawah cem itu! Lama kita tak bersua, cantik nian Engkau, Nak! Moleeek
sangat…” Beliau menarik tanganku untuk duduk sejajar dengannya di
sofa.Tangan kanannya membelai lembut rambutku. Jari-jemarinya sangatlah
lentik untuk ukuran seorang wanita. Tak pernah aku melihat perempuan di
kampung kami selentik jari tangannya. Kebanyakan kaum hawa di kampung kami
harus menjadi buruh kasar seperti menjadi kuli perkebunan sawit, buruh
pabrik pupuk, atau menjadi nelayan dan peternak tambak udang. Menjadi
pelayan toko atau pembantu rumah tangga saja sudah terbilang pekerjaan yang
paling ringan. Tidak pernah kami sempat mengurus diri untuk hal-hal
kecantikan. Setahuku, perawatan untuk dapat tampil seperti Makcik Leman itu
biasa disebut pedicure-manicure, ya sedikit-banyak aku pernah membacanya di
majalah yang kupinjam dari teman sekolahku yang anak dari keluarga berada,
waktu aku masih bersekolah di kota. Perempuan di kampung kami memang masih
sedikit yang dapat menikmati pendidikan yang layak. Banyak penduduk kampung
kami yang hidup dalam kemiskinan, sehingga banyak pula diantara mereka yang
tak mampu membiayai pendidikan sekolah putri mereka hingga ke jenjang yang
lebih tinggi setelah Sekolah Menengah Pertama. Hanya anak laki-laki saja
yang selalu diperjuangkan agar dapat bersekolah lebih tinggi. Kampung kami
seakan tak pernah terjamah oleh suara Kartini di masa penjajahan Belanda
dulu.Berbeda dengan Makcik Leman, majikanku ini, pernah kudengar dari
cerita-cerita orang sekampung, beliau pernah menjadi bunga desa di kampung
kami, tetapi nasib yang sama denganku telah menyebabkannya pergi
meninggalkan kampung kami dan merantau ke Pulau Batam di seberang daratan
kami. Hanya berbekal ijazah SMP beliau bekerja menjual bunga kepada para
turis yang sedang asyik berjemur di tepi pantai. Sampai akhirnya di saat
itulah Makcik Leman bertemu dengan jodohnya, Pakcik Leman, orang yang
menjadi suaminya sekarang. Nama asli Makcik Leman sebenarnya adalah Wanda
Aminah. Nama yang sangat cantik, menurutku. Sesuai dengan fisik yang
dimilikinya, tak heran memang bila beliau pernah menjadi bunga desa di
kampung kami. Sampai saat ini pun meski telah berusia 36 tahun, kulit
wajahnya masih terlihat sangat kencang seperti baru menginjak usia
20-an.“Kairil, kemari Nak! Ingatkah Engkau akan gadis ini?” Makcik Leman
memanggil seorang pemuda yang baru saja melintas di hadapan kami. Dari
panggilannya tadi, aku teringat pemuda itu adalah Kairil…Aah, pikiranku
terbius untuk mengenang masa lalu. Masih terekam dengan indah dalam
mindaku. Karena dialah aku dapat merasakan arti dari cinta pertama. Cinta
yang tak mungkin dapat kulupakan, begitu pula bagi setiap orang. Walau dulu
hanya sebatas cinta monyet, namun bagiku justru itulah makna cinta yang
sejati. Karena cinta pertama adalah cinta yang murni di saat kita tidak
menyadari makna cinta yang sebenarnya.Kairil mengernyitkan kening.
“Asminarti Kusuma Dewi, kawan mainmu masa SMP dulu!” Makcik Leman menepuk
pundak putra tunggalnya.Aku dan Kairil mempunyai banyak persamaan. Beberapa
diantaranya kami berdua sama-sama anak tunggal, suka duduk menyendiri
mengkhayalkan sesuatu. Dan… selain itu kami sangat suka memandang langit.
Terlebih saat langit senja. Begitu indah warnanya biru keunguan
melambangkan temaram yang selalu bergelayut di hatiku.Pernah suatu kali aku
menangis, karena dipukuli oleh para gadis yang tidak menyukai kedekatan
hubunganku dengan Kairil. Kairil datang menghiburku dan mengajakku melihat
temaram senja langit yang tampak membiru. Gurat jingga keemasan berkas
sinar matahari turut menemani kebersamaan kami. Pada sisi langit yang lain
aku memandang takjub dan terpana, langit ungu itu tampak lebih indah
dibandingkan langit yang lain. “Sebenarnya warna langit itu apa sih?”
tanyaku polos kala itu, masih dengan suara terisak sisa tangisku.Usiaku
baru menginjak 13 tahun saat aku mulai dekat dengan Kairil.Kairil
menyunggingkan senyuman.“Sepertinya warna asli langit itu, hitam! Lihat
saja, kalau malam tidak ada matahari semuanya tampak gelap kan?” “Lebih
menyedihkan dari warna biru ya?” pungkasnya lagi.Aku hanya mengangguk.“Tapi
mengapa orang menganggap warna biru itu perlambang kesedihan?” aku balik
menegur.Kairil menggeleng.“Dulu aku pernah menanyakannya kepada bunda, tapi
ujar bunda kelak bila aku sudah dewasa, aku akan dapat menjawabnya
sendiri!” Kairil menatap lurus ke arah matahari terbenam.“Hmm.. jadi begitu
ya!” gumamku.“Sudahlah, mungkin biru dapat diumpamakan kesedihan! Tapi
lihatlah, langit yang itu tidak biru bukan? Dia berwarna ungu, jadi anggap
saja kalau langit yang ungu itu adalah simbol kebahagiaan!” Kairil
menggenggam punggung tanganku.Kutatap wajahnya, ia tersenyum, manis sekali.
Waktu itu aku belum menyadari kalau sejak saat itulah aku menyukai seorang
Kairil. Masih terlalu dini rasanya bagi anak berumur 13 tahun sepertiku
untuk merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi tidak dengan teman-temanku,
di usia yang sama denganku mereka sudah bersikap berlebihan terhadap lawan
jenis. Berbeda dengan teman-teman perempuanku di kampung yang masih
bersifat lugu dan malu untuk berkomunikasi dengan lawan jenis. Aku dan
Kairil bersekolah di kota yang tidak jauh letaknya dari kampung kami.
Menurutku, gadis-gadis di kota ini terlalu agresif terhadap lawan jenis.
Bahkan Kairil sering menjadi objek sasaran orang yang disukai para gadis
ABG di sekolahku. Entah aura apa yang melekat pada diri Kairil sehingga
dapat memikat perhatian gadis-gadis itu. Setiap hari Kairil hanya dapat
memperlihatkan surat-surat cinta yang diperolehnya, kepadaku. Anehnya,
Kairil menunjukkan semua surat itu dengan wajah yang murung. “Apakah ini
yang dinamakan zaman emansipasi wanita, sehingga perempuan dapat menyatakan
perasaan suka lebih dulu kepada lelaki?” tanyanya bernada sendu.Aku hanya
dapat menatap wajah Kairil terpaku dan membisu.“Entahlah, mungkin mereka
terlalu banyak menonton film dewasa yang berasal dari barat!” jawabku
sekenanya.“Kamu suka film barat?” tanya Kairil.Aku menggeleng.“Mengapa kamu
tidak melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan?” kali ini Kairil
yang menatapku lekat.Tuhan, baru kusadari sepenuhnya makhluk Adam
ciptaan-Mu ini. Kairil memang sungguh tampan, air mukanya memancarkan aura
jiwa seorang kesatria. “Maksudmu?” aku balik bertanya.“Mengapa kamu tidak
membuat surat untukku, Mina?” tanpa kusadari wajah kami saling
berhadapan.Aku menunduk malu. Aku yakin saat ini pasti mukaku sudah merah
merona bak mangga udang yang baru saja matang.“Kau berbeda, Mina! Kau tak
seperti gadis lain! Aku suka kamu!”Gemuruh di hatiku bergetar sangat
dahsyat rasanya menjalar ke seluruh tubuh. Ini adalah kali pertama
seseorang menyatakan perasaan suka padaku. Terlebih aku pun mulai menyadari
bahwa aku juga menyukainya.Di hari lain, masih teringat jelas olehku saat
di mana aku diganggu oleh para berandalan yang berusaha menyentuhku dan
mungkin ingin ‘memperkosaku’, Kairil datang menendang sebuah bola dan tepat
mengenai wajah sang ketua genk berandalan. Begitu melihat siapa yang telah
menamparnya dengan bola, ketua genk berandalan itu pun lari lintang-pukang
seperti orang yang terbirit menuju wc untuk membuang hajat. “Kau anak
Pakcik Leman, kan…” ucap si gendut jelek itu sebelum berlari.Dan sesaat
kemudian, Kairil mendadak murung.“Ada apa?” selidikku.“Aku tak suka orang
takut padaku karena ayahku!” jawabnya lesu.Ia tak nampak bergairah hari
itu.“Sudahlah, anggap saja apa yang diucapkannya tadi bukan mengacu pada
ayahmu! Anggap saja kalau tadi mereka bertanya : ‘Hei, kamu Kairil Anwar
kan, pujangga terkenal si AKU itu! Aah…aku takut ah sama kamu, nanti aku
menjadi SI BINATANG JALANG DARI KUMPULANNYA YANG TERBUANG seperti dalam
puisimu itu!” hiburku dengan aksen dan mimik yang lucu.Hmm.. kelihatannya
usahaku tak membuahkan hasil!“Senyum donk! Kata Nabi, senyum itu ibadah
loh!” wajahnya masih ditekuk dalam.“Mina, aku takut akan hari esok!”
ujarnya tiba-tiba setelah beberapa saat kami saling terdiam.“Mengapa?”
kupandangi wajahnya, di sudut matanya terlihat gumpalan air yang segera
disusut dengan punggung tangannya.“Hari ini adalah hari terakhir bagi kita
untuk dapat melihat langit ungu itu!” telunjuk kanannya menunjuk ke arah
barat.Di arah yang lain terlihat gumpalan awan mendung telah memberikan
pertanda bahwa tidak lama lagi mereka akan segera menjatuhkan rintik-rintik
tetesan air sebagai pengganti air di pelupuk mata yang urung Kairil
teteskan.“Maksudmu?” lidahku mendadak terasa kelu.“Ya, mulai besok ayahku
akan dinas bekerja di Malaysia. Kami sekeluarga harus pindah ke sana, dan
mungkin selama ayah bekerja di sana kami tidak akan balik kampung sampai
tugas ayah benar-benar sudah selesai” jawabnya lirih.“Tak apa Kawan,
bukankah Malaysia itu dekat? Hanya di seberang daratan ini kan?” sahutku
seraya memastikan bahwa kami sama sekali tidak terpisah jauh.“Lima tahun
Mina, aku tidak akan bisa menatap wajahmu! Dan mungkin kelak kita bertemu
kembali kita sudah saling melupakan satu sama lain!” Nafas Kairil
menggebu-gebu.“Selama itukah?” aku berusaha memastikan bahwa tidak ada yang
salah dalam sistem pendengaranku.“Mina, berjanjilah padaku, bila setiap
kali Kau memandang langit, maka Kau akan selalu ingat kepadaku!” tanpa
kusadari kedua tangan Kairil telah memegangi kedua lenganku.Aku memalingkan
muka.Aku bangkit dari posisi dudukku dan berlari meninggalkan Kairil.
Perlahan gerimis mulai turun, masih terdengar olehku sayup-sayup suara
Kairil di belakangku menyerukan serangkai kalimat,“Mina, bila Engkau
merindukanku tataplah langit di sore hari! Maka aku pun akan merindukanmu!
Walau jarak memisahkan kita sejauh apa pun, walau laut memisahkan kita
sekalipun, tapi kita selalu melihat pada langit yang sama! Dan di sanalah
hati kita saling bertaut!” teriaknya lantang.“Aku yakin hingga kita mati
sekalipun, cinta sejati akan selalu bersama kita dan akan terpatri indah di
surga!” pungkasnya.♥♥♥“Mina…” Kairil hendak memeluk tubuhku.Baru kusadari
aku telah mematung selama beberapa menit di hadapan Kairil setelah lima
tahun tak bertemu. Parasnya semakin tampan membuat gejolak dalam darahku
berdesir.Aku mundur, Kairil terkesima.“Aku merindukanmu Mina!”“Maaf,
sekarang Anda adalah majikan saya!” aku berusaha menghindar.Makcik Leman
geleng-geleng.“Tak apa Mina, peluklah Kairil! Semasa dia masih melajang
sebelum dia nak dinikahkan dengan Puan Hamidah! Jarang loh ada gadis yang
mendapat pelukan anakku yang ganteng ini!” seru Makcik Leman.DEG! Benarkah
itu? Kairil akan menikah? Tapi siapa wanita yang disebutkan oleh Makcik
Leman tadi? Akh, mengapa pikiranku menjadi terngiang akan sumpah yang
pernah diucapkan oleh kairil di hari perpisahan kami?! Sungguhkah cinta
sejati dapat dibawa mati?Kairil menatap dingin pada ibunya. Seolah
menyalahkan pernyataan yang telah dikemukakan oleh sang ibunda. Sebaiknya
aku jangan ambil pusing memikirkan hal ini. Lagipula derajatku kini lebih
rendah daripada keluarganya yang kaya raya ini. Untuk apa aku
memperjuangkan cintaku pada Kairil. Biar saja semua menjadi masa lalu yang
cukup manis bila dikenang suatu saat nanti.♥♥♥“Maafkan Mina, Bunda. Mina
harus pergi menyebrang, agar uang yang Mina kumpulkan untuk berobat ayah
segera mencukupi!”“Tapi Nak, bukankah penghasilan dari pekerjaanmu di
tempat Pakcik Leman itu sudah lumayan mencukupi untuk biaya berobat ayahmu
setiap bulan?” Bunda menyangsikan niatku.“Tidak Bunda, hingga kini ayah tak
kunjung membaik! Mina rasa yang kita perlukan bukanlah biaya berobat jalan!
Melainkan biaya operasi, Bunda!” suaraku menggerung.“Tapi Nak, Engkau belum
pernah pergi jauh dari rumah..” Bunda bersikukuh melarangku.“Bunda, Mina
sudah 18 tahun, sudah cukup dewasa bukan?” pelasku begitu lemah, berharap
Bunda akan memberiku restu atas niatku mencari biaya pengobatan ayah di
pulau seberang.“Ya, sudah, bila itu sudah menjadi tekadmu, Bunda hanya
berpesan agar Engkau dapat menjaga diri baik-baik ya Nak!”Bunda memang
bukanlah tipe ibu yang selalu mempertahankan keinginannya. Terbukti tak
perlu melakukan debat yang panjang, aku berhasil mendapatkan izin untuk
mencari pekerjaan baru di pulau seberang. Ternyata setelah beberapa bulan
aku menjalani untuk dapat melupakan hubungan asmara yang pernah kujalin
bersama Kairil, walau itu cinta monyet sekalipun, aku tetap tak dapat
menghindarinya karena kami tinggal satu atap di rumahnya. Hanya status
derajat saja yang telah membedakan kami berdua. Aku hanya seorang pelayan
di rumah itu, tak pantas bila aku bersanding dengan Kairil. Masyarakat di
kampung kami pasti akan mencemooh keluarganya. Oleh karena itulah aku lebih
baik memutuskan untuk mencari pekerjaan baru agar aku dapat melupakan
Kairil, cinta sejati yang indah dan manis dalam hidupku.Sebelumnya aku
sempat meminta tolong kepada Bang Monang, salah satu penyalur pencari kerja
di kampungku agar aku dapat disalurkan bekerja di kepulauan seberang.
Alhasil hanya dalam beberapa hari Bang Monang mengabariku bahwasanya aku
telah mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Aku akan menjadi penjaja
bunga di pantai kepulauan seberang, aku ingin menjadi seperti Makcik Leman
semasa mudanya dulu. Siapa tahu, kelak aku akan bertemu dengan jodohku yang
sesungguhnya, yang tuhan perkenankan untuk menjadi pendamping hidupku
hingga maut memisahkan kami suatu saat nanti.Akhirnya setelah beberapa jam
perjalanan menumpangi sebuah kapal laut pelayaran nusantara, kami tiba di
pulau seberang. Kedatangan kami disambut oleh seorang lelaki tua berparas
oriental. Bang Monang berbisik-bisik pelan dan tak terdengar olehku. Aneh,
gelagat mereka sungguh mencurigakan! Aku jadi kurang percaya terhadap Bang
Monang. Terlebih setelah aku melihat Bang Monang menerima sebungkus amplop
tebal yang kuperkirakan isi seluruhnya adalah uang. Seketika Bang Monang
tersenyum sumringah. Kemudian ia berpamitan dan pergi begitu saja.Koko
China yang telah menyambut kedatangan kami tadi menarik tanganku untuk ikut
bersamanya. Ia melangkah sangat tergesa-gesa seakan kami akan datang
terlambat menghadiri sebuah acara penting.“Ko, jangan tergesa-gesa dong!
Saya kan bukan robot!” selaku.“Ayo, kita sudah tidak ada waktu! Para tamumu
sudah antri menunggu!” jawabnya dengan aksen pedal tatkala membunyikan kata
‘para’ dan ‘antri’.Mataku membelalak terkejut. Jadi benar dugaanku, Bang
Monang telah menjualku kepada lelaki China ini! Aku pasti akan dijadikannya
pelacur di rumahnya, atau paling tidak menjadi semacam geisha yang menemani
para lelaki hidung belang minum di bar hingga mereka mabuk berat karena
rayuan manis sang geisha. Paling tidak, aku akan dijadikan seorang
muchikari di tempat si koko tua bangka ini, ya aku akan dijadikannya ratu
prostitusi di medan kerjanya! Entah mengapa pikiranku tiba-tiba saja
terbersit bayangan wajah Kairil. Biasanya bila aku sedang dalam kesulitan
seperti ini Kairil akan datang menolongku. Oh Tuhan, kumohon selamatkanlah
aku, batinku lirih…“Apa Ko? Tamu? Memangnya saya kerja apaan? Bukankah
saya ini menjadi pegawai Koko untuk menjualkan bunga dari toko bunga Koko?”
tanyaku bertubi-tubi.“Haa…lu orang jangan pura-pura bego lah! Lu sudah oe
beli untuk jadi bunga yang paling indah di toko bunga oe! Yang berjualan
bunga di toko oe Cuma oe seorang!” jawab si Koko bernada kiasan. Kalimat
yang diucapkan olehnya bermakna taksa. Tapi aku sangat paham akan
maksudnya.“Di depan ada polisi pelabuhan, jangan coba-coba untuk kabur dari
oe, jika tidak menurut kepada oe, kamu bisa oe bunuh!” ancamnya kasar
tetapi dengan suara berbisik di telingaku. Tangan si Koko memegang lenganku
teramat kuat, ia sangat ketakutan aku akan melarikan diri darinya.Otakku
terus berpikir bagaimana caranya agar aku dapat lolos dari gembong mafia
ini? Tuhan kumohon tunjukkanlah jalan-Mu, doaku dalam hati.Srrrt…Beberapa
langkah lagi aku akan melewati pagar pembatas penumpang kapal keluar, dan
akan berpapasan dengan beberapa orang berseragam dinas pelabuhan. Apakah
mereka polisi pelabuhan yang dimaksud oleh si Koko? Hmm..Meskipun tangan si
Koko masih bergelayut di lenganku, namun aku tetap nekad untuk berjalan
mendekat ke arah salah seorang petugas polisi pelabuhan itu. “Maaf, permisi
Pak, ayah angkat saya ini menderita penyakit diabetes, beliau sedang ingin
buang air kecil. Bersediakah kiranya Bapak mengantarkan ayah angkat saya
ini ke toilet pria? Kalau saya yang mengantarnya, saya takut para lelaki
dalam toilet pria akan menyiram saya dengan air urine mereka!” aku mencoba
bersiasat kepada seorang petugas.Kedua mata si Koko China mendelik, belum
sempat ia menyangkal perkataan yang telah kulontarkan kepada petugas,
petugas itu sudah lebih dulu menggaet tangannya dan membawanya masuk menuju
sebuah kamar kecil.“Mari Kek, saya antar masuk ke wc!” sahut sang petugas
ramah.Inilah kesempatan bagiku untuk melepaskan diri darinya. Segera
kuhampiri seorang petugas yang lain dan melaporkan perihal si cukong dan
Bang Monang yang baru saja memasuki sebuah kapal yang akan membawanya
kembali pulang ke daratan. Kendati demikian, untunglah berkat laporanku
para petugas pelabuhan itu berhasil meringkus Bang Monang dan si Koko
Chukong bermata sipit itu.Tampaknya benar kata bunda aku harus waspada di
pulau ini. Pulau ini terlalu kejam bagiku. Mungkin akan lebih baik aku
kembali ke daratan dan kembali bekerja pada keluarga Makcik Leman. Aku
yakin beliau masih berkenan menerimaku bekerja di rumahnya. Yah, jikalau
tidak, aku juga masih dapat bekerja menjadi penjaga toko Wak Umin. Semoga
saja penghasilanku nanti bisa mencukupi untuk biaya penyembuhan penyakit
jantung ayah. Akhirnya kuputuskan untuk membeli tiket kapal pulang kembali
ke daratan.♥♥♥Hari telah sore. Langit teduh biru keunguan bagai kain
selendang nan lembut yang biasa meniungi rambut para bidadari. Mina
memicingkan matanya tatkala seberkas sinar menyilaukan matanya. Sekilas
terlihat sebuah pesawat tengah mengudara membelah langit ungu yang
indah.Kembali Mina teringat pada Kairil, lelaki yang selama ini menjadi
cinta sejatinya. Dulu Kairil pernah berkata, anggap saja kalau langit yang
ungu itu adalah simbol kebahagiaan!Lalu Mina pun tersenyum getir walau ia
sendiri sama sekali tidak merasa bahagia, namun ia ingin melakukannya,
tersenyum penuh makna akan langit ungu yang selama ini ia pegang teguh
karena sugesti yang diberikan oleh Kairil.Kebahagiaan yang terus berkecamuk
dalam benaknya selama ini, apakah benar apa yang dikatakan oleh Kairil
bahwa cinta sejati dapat dibawa mati? Pikiran itu terus membuncah dalam
benaknya, seolah tak pernah habis untuk terus direnungkan.Sementara itu di
dalam sebuah pesawat, Kairil tengah menatap kaca jendela. Pemandangan di
luar sangatlah indah. Panorama birunya laut berpadu dengan semburat ungu
langit nan megah. “Di mana Engkau berada, Mina? Mengapa Engkau terus
menghindar dariku?” batin Kairil sedih dan pilu.Ia baru saja menyadari
mengapa orang mengatakan biru sebagai perlambang kesedihan? Selama
bertahun-tahun jawaban atas pertanyaan ini terus ia cari. Baru kini ia
menyadarinya. Mungkin itu lebih ditujukan kepada orang yang sedang
mengalami patah hati. Birunya laut tak dapat ia selamiBirunya puncak gunung
tak kuasa ia dakiBirunya langit tak mampu ia jelajahiApakah setiap orang
yang sedang patah hati senantiasa tak memiliki gairah sehingga ia hanyalah
seorang looser yang tak bisa berbuat apa-apa, sehingga analogi biru sebagai
perlambang kesedihan dikristalisasikan sedemikian rupa?!Kairil menatap
awan-awan yang berarak bagaikan gumpalan kapas nan lembut. Tiba-tiba
pandangannya beralih ke bawah, sebuah kapal di tengah laut menderu begitu
laju. Kairil mendesah menggumamkan satu buah nama: MINA!Andai sang bunda
tidak pernah mendustai Mina bahwa dirinya akan menikah dengan seorang gadis
bernama Hamidah, tentu Mina tidak akan merasa tersakiti hatinya. Dan
terus-menerus menghindar darinya. Padahal sesungguhnya Makcik Leman hanya
berniat menguji kesetiaan cinta Mina kepada Kairil. Apakah Mina gadis yang
tulus memperjuangkan cintanya untuk Kairil? Bagaimanapun sejatinya Mina
masih sangat mencintai Kairil. Tapi rasa kerendah-dirian telah menjadi
pagar pembatas hubungannya dengan Kairil. Kairil terlalu larut dalam
lamunannya, ia nyaris tak mendengar suara seorang pramugari menyiarkan
bahwa pesawat yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin secara
tiba-tiba. Kemungkinan pesawat yang ditumpanginya itu akan jatuh ke laut.
Para awak kabin pesawat berusaha mengamankan para penumpang dan terlebih
dahulu memberikan panduan mengenakan jaket pelampung. Belum selesai Kairil
mengencangkan tali-tali jaket pelampungnya, pesawat berguncang terasa
sangat hebat, posisi pesawat menukik bagaikan burung terbang merendah dan
menangkap mangsanya. Hanya dalam hitungan detik–Kairil yang berhasil
melompat keluar dari pintu darurat bersama para penumpang lainnya,
sebelumnya mereka sempat jatuh berguling-guling dalam pesawat hingga
akhirnya mereka sampai ke mulut pintu—pesawat menabrak kapal laut yang
kebetulan dinaiki oleh Mina.20 menit sebelumnya..Para Anak Buah Kapal
tampak sibuk mengevakuasi para penumpang kapal laut agar turun ke dalam
sekoci, diperkirakan akan terjadi ledakan besar di perairan yang tengah
mereka layari. Mina yang sempat terombang-ambing oleh kegemparan para
penumpang kapal laut berhasil meraih sebuah pelampung dari seorang ABK.
Namun sayang di tengah kegemparan itu, kaki Mina terjepit oleh sebuah benda
berukuran besar dan lumayan berat untuk ukuran seorang wanita. Meski sempat
berteriak meminta tolong, tak ada seorang pun yang menolongnya, semua
tampak panik dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Tuhan masih
mendengarkan doanya yang terakhir: “Lepaskan benda berat dari kaki hamba
ini, Tuhan!” isaknya lirih. Lalu Mina pun melompat terjun ke laut bersamaan
dengan jatuhnya pesawat dari elevasi 45”, pesawat pun meledak
seketika.“Mina, bila Engkau merindukanku tataplah langit di sore hari! Maka
aku pun akan merindukanmu! Walau jarak memisahkan kita sejauh apa pun,
walau laut memisahkan kita sekalipun, tapi kita selalu melihat pada langit
yang sama! Dan di sanalah hati kita saling bertaut!” ucapan Kairil sempat
terngiang-ngiang di telinga Mina, sebelum akhirnya ia menutup matanya
rapat-rapat.Kairil dan Mina, keduanya tenggelam tak terselamatkan. Cinta
yang tak tersampaikan harus bertemu kembali di kehidupan yang lain. Karena
langit ungu hanya menaunginya sesaat.“Selamat malam, kami kabarkan sebuah
pesawat jatuh di wilayah perairan Kepulauan Batam dan menimpa sebuah kapal
yang sedang berlayar dan melintas dari arah yang berlawanan. Hingga saat
ini hanya ditemukan dua orang korban meninggal dunia—seorang pria dan
seorang wanita—keduanya ditemukan dalam keadaan saling berpegangan tangan.
Tim evakuasi tidak berhasil memisahkan kedua jenazah sebagaimana mestinya.
Berita selengkapnya akan kami sajikan sesaat lagi!”###SWITCH OFF###

Published by

Sugih

I'm just an ordinary people

Leave a comment